Kekosongan Hukum Pilkada, Rugikan Parpol
Berita

Kekosongan Hukum Pilkada, Rugikan Parpol

Perlu dicarikan formulasi agar tidak terjadi kekosongan hukum.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Prof Saldi Isra. Foto: Sgp
Prof Saldi Isra. Foto: Sgp
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat, Saldi Isra mengatakan terjadinya kekosongan hukum terkait dengan aturan Pilkada akan merugikan partai politik (parpol). Kekosongan hukum itu dapat terjadi jika Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan gubernur, Bupati, dan Wali Kota ditolak DPR. 

“Kondisi itu merugikan partai politik karena tidak mengajukan kadernya untuk maju sebagai kepala daerah baik langsung maupun melalui DPRD. Kalau Perppu itu ditolak maka konsekuensinya lebih besar, dan kalau diterima lebih aman untuk mengisi kemungkinan kekosongan hukum,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, beberapa waktu lalu. 

Awal Oktober lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhyono menerbitkan dua perppu, yakni Perppu 1/2014 dan Perppu 2/2014. Keberadaan Perppu 1/2014 mencabut UU No. 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang mengatur tentang Pilkada melalui DPRD. 

Saldi berpendapat kekosongan hukum jika Perppu ditolak memungkinkan partai politik tak dapat mengajukan kadernya maju dalam perhelatan Pemilihan Kepala Daerah mendatang. Apalagi, pada 2015 dijadwalkan akan terdapat perhelatan Pemilihan Kepala Daerah yang jumlahnya cukup banyak. Dikatakan Saldi, kerugian partai politik tidak dapat mengajukan kadernya memungkinkan pemerintahan Jokowi dapat menunjuk pejabat pelaksana tugas kepala daerah.

Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional A Hanafi Rais mengatakan pandangan pakar hukum tata negara terkait dengan Perppu terbelah menjadi dua. Namun keduanya sama dominan. Pertama, jika Peppu ditolak maka UU Pilkada pun tidak berfungsi sehingga terjadi kekosongan hukum. Kedua, kata Hanafi, sebagian kalangan mengatakan jika Perppu ditolak maka UU Pilkada otomatis dapat berlaku.

“Menyelesaikan dua tafsir ini bisa panjang sehingga perlu keputusan otoritatif dari lembaga yang otoritatif,” ujarnya.

Soal merugikan partai politik, kata Hanafi, maka perlu dicarikan formulasi agar tidak terjadi kekosongan hukum. Sejatinya, pemerintah dan DPR harus sudah mempersiapkan strategi menghadapi Pilkada pada 2015 yang akan digelar di berbagai daerah. Menyikapi hal itulah, perlu adanya aturan Pilkada. Dengan begitu, kader partai politik dapat melenggang ke perhelatan Pilkada.

Anggota Fraksi Hanura, Saleh Husin mengatakan sedari awal fraksinya kekeuh agar Pilkada digelar langsung. Menurutnya, Pilkada langsung merupakan harga yang tak dapat ditawar-tawar, meskipun mayoritas anggota dewan menghendaki Pilkada melalui DPRD. “Prinsip itu akan kita pertahankan Pilkada langsung, dan hak rakyat itu betul-betul tidak dirampas. Itu prinsip utama kita. Jadi hak rakyat tetap diberikan tidak diambil, dan Pilkada secara lagsung,” ujarnya. 

Mantan anggota Komisi V DPR periode 2009-2014 itu lebih jauh mengatakan soal kemungkinan parpol tak dapat mengajukan kadernya dalam Pilkada jika terjadi kekosongan hukum, maka perlu dicarikan solusi secara ketatanegaraan. Ia enggan berandai-andai kemungkinan kerugian bagi partai politik jika terjadi kekosongan hukum.

Dikatakan Saleh, fraksi partai belum mendapat surat dari presiden terkait dengan pembahasan Perppu. Menurutnya, jika memang akan dilakukan pembahasan Perppu, pimpinan DPR akan mengundang pimpinan fraksi untuk melakukan rapat konsultasi. “Kalau  kita tidak lihat Perppu, sulit untuk memberikan pandangan terkait Perppunya seperti apa dari presiden,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait