Kekerasan Berulang, Presiden Diminta Evaluasi Polri
Berita

Kekerasan Berulang, Presiden Diminta Evaluasi Polri

Kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap massa demonstrasi seolah menjadi “standar operasional prosedur” (SOP) karena terus terjadi berulang kali. Karena itu, kekerasan yang diduga dilakukan oknum aparat kepolisian harus diproses baik secara etik maupun pidana.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Demonstrasi mahasiswa menolak RKUHP dan RUU KPK, Selasa (24/9), di depan Gedung DPR RI berakhir ricuh
Demonstrasi mahasiswa menolak RKUHP dan RUU KPK, Selasa (24/9), di depan Gedung DPR RI berakhir ricuh

Demonstrasi masyarakat sipil yang didominasi kalangan mahasiswa yang terjadi di berbagai daerah umumnya berakhir ricuh. Bahkan terjadi berbagai macam bentuk kekerasan yang menimpa bukan saja massa demonstrasi, tapi juga menyasar jurnalis yang tengah melakukan tugas peliputan.

 

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mencatat hampir 100 mahasiswa yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Sebagian dari mereka berada di rumah sakit (RS) karena mengalami luka yang diduga kuat karena tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian.

 

Asfin mengingatkan konstitusi menjamin hak setiap orang untuk menyatakan pendapat di muka umum secara damai, misalnya melalui demonstrasi. UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum melarang siapapun yang  menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Bahkan, ada ancaman pidana bagi yang melakukan penghalangan dengan menggunakan kekerasan.

 

“Ini bukan kali pertama aparat kepolisian melakukan kekerasan terhadap massa demonstrasi, pola ini terus berulang dalam menangani demonstrasi, misalnya saat Mayday. Seluruh aparat yang diduga melakukan kekerasan harus diproses secara pidana,” kata Asfin usai memberikan keterangan pers di Jakarta, Rabu (25/9/2019). Baca Juga: Akhirnya DPR Tunda Pengesahan Empat RUU Ini

 

Mengingat kekerasan yang diduga dilakukan aparat ini terjadi berulang, Asfin meminta Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi Polri dan Kapolri. Harus ditelusuri apa yang diajarkan Polri terhadap anggotanya dalam menangani aksi demonstrasi. Berulangnya kekerasan ini seolah ada “SOP” yang bertentangan dengan hukum, sehingga aparat di lapangan melakukan kekerasan terhadap demonstran.

 

Asfin menegaskan seharusnya aparat kepolisian menjalankan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Peraturan itu memuat berbagai macam hak yang harus diperhatikan (dihormati) anggota Polri dalam menjalankan tugasnya, antara lain hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan hak untuk mengeluarkan pendapat di muka umum.

 

Menurut Asfin, tanpa tindakan hukum yang tegas terhadap aparat yang melakukan kekerasan, maka kekerasan itu bisa dipastikan akan terus berulang. Asfin melihat selama ini belum ada penegakan hukum yang tegas terhadap aparat yang melakukan kekerasan di lapangan. Sekalipun ada, aparat tersebut hanya diproses etik dan masyarakat sipil tidak dapat mengetahui sejauh mana tindak lanjutnya.

 

Selain itu, Asfin pun mendesak Komnas HAM untuk membentuk tim guna menelusuri terjadinya dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani aksi demonstrasi mahasiswa yang terjadi di berbagai wilayah. “Komnas HAM patut mencari demonstran yang sampai saat ini belum diketahui keberadannya dan harus mencermati kenapa peristiwa ini terus terjadi berulang kali,” pintanya.

 

Manajer Kampanye Amnesty Internasional Indonesia Puri Kencana Putri mengingatkan Perkap No.16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa mengatur sejumlah tahapan yang harus dilakukan aparat kepolisian dalam pengendalian massa demonstrasi. Misalnya, dalam situasi tertib/hijau, aparat kepolisian melakukan negosiasi dengan koordinator lapangan massa demonstrasi untuk menampung dan menyampaikan aspirasi.

 

Jika situasi meningkat dari tertib/hijau ke tidak tertib/kuning, dilakukan lapis ganti dengan pasukan pengendalian massa (dalmas) lanjut. Dalam situasi ini, aparat yang bertindak sebagai negosiator, menurut Puri harus tetap melakukan negosiasi dengan koordinator lapangan semaksimal mungkin. Apabila situasi meningkat, aparat dalmas lanjut diganti detasemen penanggulangan huru-hara brimob.

 

Tapi, dalam menangani demonstrasi mahasiswa di depan gedung DPR/MPR kemarin, Puri melihat tahapan itu tidak dilakukan aparat kepolisian. Setelah negosiasi gagal aparat langsung menembakan gas air mata dan mengerahkan mobil water canon. Berbeda dengan penanganan demonstrasi yang dilakukan 21-23 Mei 2019 di depan kantor Bawaslu dimana aparat terus melakukan upaya persuasif terhadap massa demonstran.

 

“Aparat tidak terlihat mengambil langkah persuasif yang maksimal dalam menangani demonstrasi mahasiswa di depan gedung DPR/MPR,” ujarnya.  

 

Ketua Umum KASBI Nining Elitos menyayangkan tindakan aparat kepolisian yang represif terhadap massa demonstran. Dalam aksi unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR sedikitnya 6 orang buruh anggota KASBI menjadi korban. Salah satunya, terkena selongsong peluru gas air mata. Bahkan, Nining sempat mengalami mual dan muntah terkena gas air mata yang ditembakan petugas ke arah demonstran.

 

“Ini aksi unjuk rasa besar dan terjadi di sejumlah daerah, pemerintah, DPR harus sadar rakyat marah terhadap kebijakan dan sejumlah RUU/UU kontroversial,” kata dia.

 

Nining mengungkapkan bukan kali ini saja buruh jadi korban kekerasan aparat kepolisian. Dalam unjuk rasa, 16 Agustus 2019 di Jakarta, aparat melakukan penangkapan terhadap buruh dan mahasiswa, mereka melarang massa yang menuju gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasi.

 

Ketua bidang advokasi AJI Indonesia Joni Aswira mencatat lebih dari 5 jurnalis yang mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian. Bahkan, ada jurnalis TV yang mobil operasionalnya dirusak sekelompok massa di kawasan Senayan, Jakarta. “Kami mendorong agar kasus kekerasan ini diproses secara hukum,” ujarnya.

 

Kewenangan berlebihan

Terpisah, komisioner Komnas HAM M Choirul Anam mengatakan sejak awal lembaganya mendesak aparat kepolisian untuk menghentikan kekerasan dan penggunaan kewenangan yang berlebihan dalam menghadapi demonstrasi. Komnas HAM mendapat rekaman sejumlah video yang menunjukan kekerasan tersebut. Tindakan berlebihan yang dilakukan aparat tidak hanya melahirkan pelanggaran HAM, tapi juga mengancam aksi damai itu sendiri.

 

Anam melihat aparat kepolisian sudah bertindak cukup baik dalam menangani demonstrasi 21-24 Mei 2019 di depan gedung Bawaslu di Jakarta. Praktik itu harus diterapkan dalam menangani demonstrasi lainnya. Untuk menindak penggunaan kewenangan yang berlebihan, Anam meminta Divisi Propam Kepolisian menggelar investigasi. Langkah ini penting untuk memastikan semua tindakan yang berlawanan dengan pedoman penanganan aksi demontrasi akan ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.

 

“Sudah ada Komisioner Komnas HAM yang turun ke lapangan. Antara lain menyambangi sejumlah RS yang menangani korban seperti RS Pelni dan RS Pusat Pertamina di Jakarta,” kata Anam ketika dihubungi, Rabu (25/9/2019).

Tags:

Berita Terkait