Kekalahan BP Migas Berkontrak Bukan Kekalahan Negara
Berita

Kekalahan BP Migas Berkontrak Bukan Kekalahan Negara

Keberadaan BP Migas penting untuk memitigasi tanggung jawab negara ketika terjadi gugatan ganti rugi.

ASh
Bacaan 2 Menit

Sedangkan ahli dari pemerintah lainnya, Erman Rajagukguk, menyampaikan UU Migas tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang perlu dilakukan ialah meneliti kembali kontrak kerjasama, menguntungkan Indonesia atau tidak. Menurut Erman, kalau kontrak tidak benar, semisal masalah cost recovery, bisa dilakukan penyempurnaan. “UU Migas sudah baik, yang perlu diteliti kontrak kerja samanya menguntuk kita atau tidak. Kekhawatiran saya mengapa tidak negara yang turun tangan, bisa merugikan negara beserta asetnya. Karena itu, pihak BP Migas lah yang berkontrak, bukan negara," jelasnya.

Permohonan ini diajukan 32 tokoh dan 10 ormas keagamaan. Para pemohon antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua MUI Amidhan, mantan Ketua PB NU Achmad Hasyim Muzadi, mantan Menakertrans Fahmi Idris, dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Prof Komaruddin Hidayat.

Dari kelompok ormas ada Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad Al-Islamiyah, Persaudaraan Muslim Indonesia. Mereka memohon pengujian Pasal 1 angka 19, Pasal 1 angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, dan Pasal 44 UU Migas.

Mereka menilai UU Migas berdampak sistemik terhadap kehidupan rakyat dan dapat merugikan keuangan negara. Sebab, UU Migas membuka liberalisasi pengelolaan migas yang sangat didominasi perusahaan asing hingga 89 persen yang fokus pada upaya pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Misalnya, mekanisme kontrak kerjasama seperti diatur Pasal 1 angka (19) UU Migas sangat merendahkan martabat negara ini karena BP Migas atas nama negara berkontrak dengan korporasi atau korporasi swasta selalu menunjuk arbitrase internasional jika terjadi sengketa. Akibatnya, jika negara kalah dalam sengketa ini berarti juga kekalahan seluruh rakyat Indonesia.

Menurutnya, konsep BP Migas selaku kuasa pertambangan seperti diatur Pasal 4 ayat (3) jo Pasal 44 UU Migas menjadi kabur karena tidak memiliki komisaris/pengawas dan bukan operator badan usaha. Karena itu, Pemohon menilai kesepuluh pasal itu bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.

Tags: