Kejaksaan Persilakan Publik Kawal Sidang Penyiraman Novel
Berita

Kejaksaan Persilakan Publik Kawal Sidang Penyiraman Novel

Tim advokasi Novel sebut ada 9 kejanggalan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Foto sidang perdana kasus penyiraman Novel Baswedan. Foto: RES
Foto sidang perdana kasus penyiraman Novel Baswedan. Foto: RES

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono mengatakan perbedaan pandangan mengenai proses persidangan, terutama pembuktian, antara para pihak adalah sesuatu yang wajar. Penuntut umum membuat surat dakwaan berdasarkan hasil penyidikan Polri yang sudah memenuhi syarat formal dan material. Karena itu, Hari mempersilakan masyarakat bersama-sama mengawal dan mengawasi proses persidangan dua terdakwa yang diduga melakukan penyiraman terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan.

“Oleh karena persidangan terbuka untuk umum maka kita ikuti saja perkembangan dan hasilnya jika nanti ditemukan fakta yang terungkap di persidangan terkait adanya pelaku lain yang anda sebut ‘Aktor Intelektual’ maka hal tersebut dapat dijadikan bukti baru dan hal itu merupakan kewenangan hakim yang menyidangkan,” ujar Hari kepada hukumonline.

Saat ditanya mengenai adanya dugaan barang bukti yang dihilangkan, Hari menyebut ada risiko hukum bagi pelaku. “Maaf saya tidak tahu barang bukti apa yang dihilangkan? Kalau benar barang itu statusnya suidah menjadi barang bukti menurut hukum tentu ada resikonya bagi yang menghilangkannya,” jelas Hari.

Pernyataan Hari itu untuk menanggapi pernyataan Tim Advokasi Novel Baswedan. Tim menilai proses persidangan masih jauh dari harapan publik karena ada sejumlah kejanggalan, apalagi untuk mengungkap aktor intelektual penyiraman itu. Sejak awal Tim turut memantau jalannya persidangan dan melihat 9 kejanggalan. Anggota Tim Advokasi Arif Maulana menyampaikan 9 kejanggalan itu.

Pertama, dakwaan jaksa dianggap sebagai ‘skenario’ menutup terungkapnya aktor Intelektual dan malah menghukum ringan pelaku. Dalam dakwaan, penuntut umum menunjukkan bahwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan hanya dinilai sebagai tindak pidana penganiayaan biasa yang tidak ada kaitannya dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi dan teror sistematis pelemahan KPK yang selama ini terus diterima oleh para penyidik KPK.

Dakwaan tersebut sangat bertentangan dengan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Polri untuk kasus Novel Baswedan yang menemukan bahwa motif penyiraman air keras terhadap Novel yang berkaitan dengan kasuskasus korupsi besar yang ditanganinya. Menurut Tim, dalam dakwaan tidak terdapat fakta atau informasi siapa yang menyuruh melakukan tindak pidana penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Tim menduga penuntut umum satu skenario dengan penyidik kepolisian, proses hukum hanya sampai pelaku lapangan.

(Baca juga: Beda Pandang Jaksa dan Kuasa Hukum Novel tentang Dakwaan Penyiraman Air Keras).

Kedua, penuntut umum terlihat tidak menjadi representasi negara yang mewakili kepentingan korban, namun malah membela kepentingan para terdakwa. Temuan ini sudah jauh-jauh hari disampaikan saat agenda persidangan memasuki pembacaan surat dakwaan. Dalam berkas penuntut umum hanya mendakwa dua penyiram wajah Novel dengan pasal penganiyaan biasa. Padahal perbuatan pelaku dapat mengancam nyawa Novel.

Selain itu, dalam dakwaan disebutkan air yang digunakan untuk menyiram wajah Novel berasal dari aki, padahal cairan itu adalah air keras yang menyebabkan Novel kehilangan penglihatannya. Dalam persidangan yang dihadiri Novel, pertanyaan jaksa terlihat tidak memiliki arah yang jelas. Anehnya, meski telah disebut saksi korban, nama dan informasi penting mengenai kemungkinan keterlibatan aktor lain, jaksa tidak menggali lebih lanjut.

Ketiga, tim menilai majelis hakim pasif dan tidak objektif mencari kebenaran materiil dengan tidak menggali rangkaian peristiwa secara utuh. Padahal dalam proses pidana, hakim harus aktif mencari kebenaran, khususnya mencari kebenaran fakta sebelum penyerangan terjadi untuk membuktikan bahwa serangan dilakukan secara sistematis, terorganisir, tidak hanya melibatkan pelaku pada saat penyerangan terjadi. Hal ini dibuktikan dalam persidangan pemeriksaan Novel, hakim cenderung terbatas menggali fakta dengan pertanyaan-pertanyaan.

Keempat, para terdakwa pelaku kejahatan yang merupakan anggota Polri aktif mendapatkan bantuan hukum dan didampingi tim penasihat hukum dari Polri. Padahal menurut Tim, kejahatan yang disangkakan kepada dua orang terdakwa itu mencoreng nama Institusi kepolisian dan tentu bertentangan dengan tugas dan kewajiban Polisi dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu menurut Tim akan menjadi pertanyaan tersendiri ketika para terdakwa justru didampingi oleh kuasa hukum dari Polri.

Tim Advokasi Novel berpandangan pembelaan oleh Institusi Kepolisian tentu akan menghambat proses hukum untuk membongkar kasus ini yang diduga melibatkan anggotanya dan juga petinggi kepolisian. Diduga ada konflik kepentingan yang nyata yang akan menutup peluang membongkar kasus ini secara terang benderang dan menangkap pelaku sebenarnya, bukan hanya pelaku lapangan tetapi juga otak pelaku kejahatan.

(Lihat juga: Dua Pelaku Penyiram Air Keras ke Novel Baswedan Jalani Sidang Perdana).

Kelima, adanya dugaan manipulasi barang bukti di persidangan. Alasannya pada agenda pemeriksaan saksi korban beberapa waktu lalu, ada CCTV yang dianggap penting tapi malah dihiraukan penyidik serta adanya dugaan intimidasi terhadap sejumlah saksi.  Tak hanya itu, sidik jari pun tidak mampu diindentifikasi kepolisian pada gelas dan botol yang dijadikan alat untuk melakukan penyiraman terhadap Novel.

Selain itu, dalam persidangan Kamis, 30 April 2020 yang lalu ditemukan keanehan dalam barang bukti baju yang dikenakan Novel Baswedan pada saat penyerangan air keras. Baju yang pada saat kejadian utuh, dalam persidangan ditunjukkan hakim dalam kondisi terpotong sebagian dibagian depan. Diduga bagian yang hilang terdapat bekas dampak air keras.

Keenam, penuntut dianggap mengaburkan fakta air keras yang digunakan untuk penyiraman meski dampak penyerangan telah nyata mengakibatkan Novel Baswedan kehilangan penglihatan. Penuntut dinilai justru mengarahkan dakwaan bahwa air yang mengakibatkan kebutaan Novel Baswedan bukan air keras. Bahkan dalam persidangan penasehat hukum terdakwa sempat menanyakan terkait benar atau tidak kebutaan yang dialami oleh Novel baswedan.

“Ini tentu upaya pengaburan fakta. Komnas HAM pada tanggal 21 Desember 2018 lalu juga sudah merilis hasil temuan terhadap kasus Novel Baswedan yang menegaskan bahwa data dari Kepolisian dan dokumen medis memang membenarkan bahwa Penyidik KPK itu disiram air keras. Jadi tudingan yang menyebutkan bahwa kejadian tersebut merupakan rekayasa merupakan pernyataan yang sesat dan sama sekali tidak berdasar,” terang Arif.

Ketujuh, kasus kriminalisasi Novel kembali diangkat untuk mengaburkan fokus pengungkapan kasus penyerangan Novel dan KPK secara keseluruhan. Selama proses peradilan berjalan Tim Advokasi menilai ada pergerakan yang diinstruksikan oknum tertentu untuk kembali memojokkan Novel dalam kasus pencurian sarang burung wallet di Bengkulu. Padahal sudah berulang kali ditegaskan berdasarkan temuan Ombudsman tahun 2015 bahwa terdapat rekayasa dan manipulasi pada tudingan kasus tersebut. Jadi, jelas isu tersebut menjadi tidak relevan dan terlihat hanya ingin mengalihkan perhatian untuk mengaburkan fakta penyerangan terhadap Novel.

Kedelapan, Tim Advokasi menduga ada alat bukti yang dihilangkan, yakni keterangan saksi dalam berkas persidangan. Baru diketahui dari penuntut umum bahwa ada saksi kunci penyerangan Novel Baswedan yang telah memberikan keterangan kepada Kepolisian, Komnas HAM, dan TGPF bentukan Polri. Diduga BAP tidak dilampirkan dalam berkas pemeriksaan persidangan. Selain itu, saksi-saksi penting dan relevan dari pihak korban yang tidak dihadirkan JPU.

Kesembilan, dalam pemeriksaan saksi korban di Pengadilan 30 April 2020, ruang pengadilan dipenuhi aparat kepolisian dan orang-orang yang diduga dikoordinasikan untuk menguasai ruang persidangan. Alhasil, warga, media yang meliput,  dan anggota Tim Advokasi tidak dapat menggunakan fasilitas bangku pengunjung untuk memantau proses persidangan.

Tags:

Berita Terkait