Kejaksaan Kawal Penggunaan Dana Desa
Terbaru

Kejaksaan Kawal Penggunaan Dana Desa

Melalui program Jaga Desa dengan jaksa masuk desa diharapkan mengurangi praktik mafia tanah di tingkat desa. Persoalan mafia tanah dimulai dari rusaknya sistem administrasi buku tanah di pemerintahan desa. Kejaksaan tetap mengedepankan upaya preventif.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Foto: CR-27
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Foto: CR-27

“Jangan sampai aparatur desa dijadikan objek pemeriksaan apalagi hingga berulang tahun’.  Pernyataan itu keluar dari bibir Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sebagai tindaklanjut dari Program Presiden Joko Widodo dalam membangun desa. Pelaksanaan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa memang harus dikawal. Termasuk penggunaan dana desa dalam menjalankan berbagai program di masing-masing desa. Itu sebabnya diperlukan pengawalan agar tidak menyimpang dari peruntukannya.

Jaksa Agung menegaskan, jajaran jaksa mesti hadir di tengah-tengah masyarakat  serta dapat bermanfaat  mengasistensi aparatur desa dalam mengeksekusi program pemberadayaan ekonomi kerakyatan. Dia tak menginginkan lantaran ketidaktahuan aparatur desa malah terperosok masuk bui.

“Oleh karenanya berikan mereka  materi-materi terkait pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dana desa, sehingga terhindar dari perkara koruptif,” ujarnya melalui keterangannya, Senin (20/2/2023).

Baca juga:

Burhanuddin meminta program ‘Jaga Desa’ melalui jaksa masuk desa berjalan sesuai harapan. Jaksa masuk desa menjadi ikon keberadaan jaksa di tengah masyarakat, sehingga diharapkan berdampak dalam mengurangi praktik mafia tanah di tingkat desa. Maklum, persoalan mafia tanah dimulai dari rusaknya sistem administrasi buku tanah di pemerintahan desa.

Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara (Jamdatun) Periode 2011-2014 itu mengatakan, membangun kesadaran hukum di tingkat desa dan pemerintahan desa tak cukup melalui program ‘Jaga Desa’ semata. Tapi, perlu peran serta satuan kerja (satker) di daerah  dengan harapan dapat menggali isu-isu hukum yang berkembang di desa.

Nah hasilnya, dapat menjadi bahan penyuluhan hukum di desa, termasuk melakukan pembenahan dan perbaikan tentang tata kelola pertanggungjawaban keuangan desa yang lebih sederhana, mudah dimengerti dan diimplementasikan di lapangan. Khusus penanganan laporan pengaduan desa terkait dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan desa, Burhanuddin menekankan agar mengedepankan upaya preventif atau pencegahan sebagai perwujudan asas ultimum remedium atau pemidanaan sebagai upaya terakhir.

Sementara dalam penanganan laporan atau pengadan dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan desa agar dilaksanakan dengan melakukan koordinasi antara Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH). “Tanpa saling menegasikan atau mengesampingkan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing,” ujarnya.

Kejaksaan sebagai APH telah menandatangani nota kesepahaman antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Polri tentang Koordinasi APIP dan APH Dalam Penanganan Laporan atau Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Tujuan,  memberi kepastian terhadap cara koordinasi APIP dan APH dengan tanpa mengesampingkan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.

Terpisah, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mengatakan, pengaturan desa sebagaimana diatur dalam UU 6/2014 perlu dilakukan perbaikan. Dorongan agar UU 6/2014 direvisi terus menguat dari para perangkat desa. Sementara DPR dan pemerintah pun mengamini permintaan tersebut.

Bamsoet, begitu biasa disapa mengingatkan agar revisi UU 6/2014  harus menyentuh aspek fundamental dan menjawab kebutuhan masyarakat, serta mampu mengakomodir kemajuan desa yang sudah sedemikian pesatnya. Demikian pula terkait pengelolaan dana desa yang melibatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kemendagri dan Kementerian Desa, harus diatur dalam mekanisme yang mengedepankan prinsip efisiensi dan efektivitas, tanpa melupakan akuntabilitas.

Dia menilai, sejumlah aspek lain yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama, seperti peningkatan kapasitas kepala desa dan aparatur desa. Termasuk implementasi otonomi desa yang baik sehingga tidak ‘mengamputasi’ sebagian kewenangan desa. Serta penyelenggaraan pemerintahan desa yang bersih dan bertanggungjawab.

“Ini penting, karena berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2022, kasus terkait pengelolaan keuangan desa masuk dalam daftar tiga besar korupsi terbanyak di Indonesia, dengan jumlah 601 kasus korupsi yang melibatkan 686 tersangka berasal dari aparatur desa,” pungkas politisi Partai Golkar itu.

Tags:

Berita Terkait