Kejagung Siap Hadapi Praperadilan Karyawan Chevron
Berita

Kejagung Siap Hadapi Praperadilan Karyawan Chevron

Penahanan dianggap tidak sah karena tidak didasarkan alat bukti yang cukup. Penyidik belum dapat menunjukan kerugian negara.

Nov
Bacaan 2 Menit
Kejagung siap hadapi praperadilan karyawan Chevron. Foto: Sgp
Kejagung siap hadapi praperadilan karyawan Chevron. Foto: Sgp

Empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) hingga kini masih mendekam dalam rumah tahanan. Penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanankeempat tersangka. Mereka pun akhirnya mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Keempat tersangka itu adalah Manajer Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS) Endah Rumbiyanti, Team Leader SLN Kabupaten Duri Widodo, Team Leader SLS Migas Kukuh, dan General Manager SLS Operation Bachtiar Abdul Fatah. Mereka mendaftarkan permohonan praperadilan melalui pengacaranya, Suar Sanubari.

Pengacara dari Kantor Hukum Lubis, Santosa & Maramis ini mengatakan, permohonan praperadilan atas nama tersangka Bachtiar Abdul Fatah dan Endah Rumbiyanti didaftarkan pada Rabu, 31 Oktober 2012, sedangkan praperadilan atas nama Widodo dan Kukuh didaftarkan pada Kamis, 1 November 2012.

Praperadilan diajukan karena penahanan dianggap tidak sah. Suar beralasan, penahanan keempat tersangka tidak memenuhi syarat subyektif. Tidak ada indikasi keempat kliennya akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatanserupa. Selama penyidikan berlangsung, keempat tersangka selalu kooperatif.

“Setiap ada panggilan selalu datang. Setiap kali ada dokumen yang diminta selalu memberikan. Chevron sudah memberikan jaminan, bahkan sampai tingkat Managing Director. Perusahaan juga sudah bersedia untuk membayar uang jaminan kalau seandainya memang diperlukan, tapi tidak digubris,” kata Suar kepada hukumonline, Rabu (31/10).

Namun, alasan yang paling mendasar adalah penyidik tidak memiliki alat bukti yang cukup untuk melakukan penahanan. Suar mengungkapkan, setiap kali pihaknya menanyakan penghitungan kerugian negara, penyidik tidak dapat menunjukan. Padahal, keempat tersangka diduga melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara.

“Dugaannya kan korupsi yang menyebabkan kerugian negara, sementara penghitungan kerugian negara sendiri belum ada. Sampai saat ini, kami belum diperlihatkan kerugian negaranya. Nah, berarti, istilahnya klien kami bisa dibilang dikriminalisasi. Penyidik bahkan tidak memiliki bukti permulaan yang cukup,” ujarnya.

Dengan demikian, sah atau tidaknya penahanan keempat tersangka akan diuji di pengadilan. Suar berpendapat, keempat kliennya memiliki hak untuk mempertanyakan landasan hukum penahanan mereka, termasuk bukti-bukti yang mendukung tuduhan penyidik Kejaksaan Agung. Mereka berharap kasus ini dapat segera diselesaikan.

Terhadap praperadilan yang diajukan keempat tersangka, Wakil Jaksa Agung mempersilakan. “Ya itu hak mereka, silakan saja. Kejaksaan atau penyidik sebagai lembaga yang melakukan penahanan, pasti akan mempertanggungjawabkan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” tuturnya.

Penyidik telah menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus korupsi proyek bioremediasi CPI. Selain menahan empat tersangka di atas, penyidik juga menahan dua tersangka lain, Direktur Utama PT Sumigita Jaya (SJ) Herlan dan Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) Ricksy Prematuri sejak 26 September 2012.

Sementara, satu tersangka lain, General Manager SLN Operation CPI Alexiat Tirtawidjaja, belum ditahan, bahkan diperiksa karena sedang menunggu suaminya yang sakit di Amerika Serikat. Walau begitu, penyidik tetap akan melimpahkan kasus ini ke penuntutan. Keyakinan penyidik bertambah setelah menemukan dokumen terkait cost recovery di kantor CPI.

Selain dokumen cost recovery, penyidik telah mengantongi sejumlah alat bukti lain, termasuk hasil uji laboratorium yang menyatakan tanah bioremediasi CPI positif tercemar limbah. Akibat perbuatan para tersangka, negara diduga mengalami kerugian hingga AS$23,361 juta atau sekitar Rp200 miliar.

Tags: