Kejagung Minta Fatwa MA Soal Grasi Terpidana Mati
Berita

Kejagung Minta Fatwa MA Soal Grasi Terpidana Mati

Tujuannya agar ada kepastian hukum.

Fathan Qorib/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Kejaksaan Agung (Kejagung) secepatnya akan meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) soal kepastian batasan grasi bagi terpidana mati karena selama ini telah menghambat pelaksanaan eksekusi mati Jilid IV. "Nanti minta fatwa ke MA dan Mahkamah Konstitusi agar ada kepastian hukum," kata Jaksa Agung HM Prasetyo di Jakarta, sebagaimana dikutip dari Antara, Jumat (18/8).
Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya menyatakan jangka waktu pengajuan grasi dapat dilakukan kapan saja, dalam putusan uji materi Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang Grasi (UU Grasi). Uji materi ini menghapus Pasal 7 ayat (2) UU Grasi yang menyatakan, pengajuan grasi dapat dilakukan paling lama satu tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Menurut Prasetyo, putusan MK tersebut telah menghambat pelaksanaan eksekusi mati, mengingat tidak ada kepastian hukum soal grasi. Akibatnya, terpidana mati dapat mengajukan grasi kapan saja sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. "Harus gantung terus (permohonan grasi), sedangkan terpidana memainkannya dengan mengulur waktu pengajuan grasi," ucapnya.
Atas dasar itu pula, Kejagung meminta fatwa MA terkait dengan batasan waktu pengajuan grasi. "Kita kirim ke MA meminta kepastiannya, batasan grasi. Kan satu tahun dihapuskan," ujarnya.

(Baca: Eksekusi Mati Jilid IV Terhambat Putusan MK)
Pengamat Hukum Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra menjelaskan, tidak ada alasan atau hambatan bagi Kejaksaan Agung untuk tidak melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba. Hal ini mengingat kondisi Indonesia sudah darurat narkoba. "Secara yuridis menurut saya tidak ada alasan atau hambatan untuk tidak dilaksanakan hukuman mati jilid 4," imbuhnya.
Menurut dia, tugas peradilan sudah tuntas sehingga saatnya Kejaksaan Agung mengeksekusi agar tampak kepastian hukum sekaligus sikap dan kewibawaan pemerintah bahwa pemerintah terus melawan serta perang terhadap bisnis narkoba. Ia mengatakan, eksekusi mati dapat dilakukan asalkan telah ada vonis yang berkekuatan hukum tetap, dan terpidana telah menggunakan semua perlindungan hukum, termasuk grasi.
Bisnis narkoba sendiri adalah salah satu model penjajahan baru dan menghancurkan suatu bangsa. Mental generasi bangsa yang potensial akan rusak akibat peredaran bebas dan konsumsi narkoba. (Baca Juga: Penilaian Hukuman Mati dan Penolakan Grasi Harus Jelas)
"Tugas pemerintah melindungi segenap tumpah darah warganya dan menjamin kesehatan sehingga setiap orang atau kelompok yang mengganggu tujuan bangsa Indonesia harus dilawan dan menjadi musuh bersama dalam hal ini para pebisnis narkoba," katanya.
Melihat kenyataannya saat ini, lanjut Azmi, terpidana mati narkoba jilid 4 harus dieksekusi segera sebagai wujud sikap negara yang konsisten melawan peredaran narkoba yang semakin massif. Hal ini juga menunjukkan bahwa pemerintah hadir melindungi kepentingan yang lebih luas dari masyarakatnya.
Sebelumnya, MK dalam putusan No. 107/PUU-XIII/2015 menghapus berlakunya Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi terkait pembatasan waktu pengajuan grasi ke presiden. Artinya, MK “membebaskan” terpidana mengajukan permohonan grasi kapan saja. Putusan ini mengubah aturan sebelumnya, pengajuan grasi dilakukan paling lambat setahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
Pemohon perkara ini adalah Su’ud Rusli, terpidana mati kasus pembunuhan Dirut PT Asaba Budyharto Angsono. Su’ud menganggap Pasal 7 ayat (2) UU Grasi menciderai rasa keadilan karena pengajuan grasi lebih dari setahun sejak putusan inkracht dianggap daluwarsa. Pasalnya, pengajuan grasi Su’ud pada 2014 pernah ditolak Presiden Joko Widodo pada 31 Agustus 2015 yang baru diterima pada 8 Oktober 2015.
Pemohon menilai hak pengajuan grasi merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Karena itu, hak pengajuan grasi kepada presiden sebagai kepala negara ini seharusnya tidak boleh dibatasi jangka waktunya karena bertentangan dengan prinsip keadilan (sense of justice) yang dijamin UUD 1945.
Namun terkait dengan uji materi Pasal 2 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang memohonkan Su’ud Rusli dan Boyamin Saiman, MK secara bulat menolaknya. Intinya, MK menganggap aturan permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali ini tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 32/PUU-XIV/2016. 
Sebelumnya, Para Pemohon menilai Pasal 2 ayat (3) UU Grasi menghalangi hak konstitusionalnya ketika akan mengajukan permohonan grasi kedua kalinya kepada presiden. Pemohon merasa Pasal 2 ayat (3) UU Grasi tidak dapat memberikan pembelaan maksimal akibat adanya aturan pembatasan pengajuan grasi yang hanya satu kali.
Tags:

Berita Terkait