Kejagung Beri Masukan untuk RUU Advokat
Utama

Kejagung Beri Masukan untuk RUU Advokat

Mulai dari bantuan hukum sampai pencegahan konflik kepentingan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP

Pembahasan RUU Advokat masih bergulir di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Kali ini, Panja RUU Advokat meminta masukan dari Kejagung. Dalam pemaparannya, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Burhanuddin, menyampaikan sejumlah masukan terkait penyelerasan dengan UU Bantuan Hukum, ketentuan sanksi dan konflik kepentingan.

Terkait bantuan hukum, Burhanuddin mengusulkan Pasal 7 ayat (1) huruf a RUU Advokat disisipkan kata ‘ekonomi’ atau ‘finansial’. Pasal tersebut awalnya berbunyi Advokat wajib memberikan perlakuan yang sama terhadap klien tanpa membedakan perlakuan berdasarkan jenis kelamin, suku, agama, ras, antargolongan, politik, keturunan atau latar belakang sosial dan budaya.

Praktiknya nanti Burhanuddin berharap advokat memberi perlakuan yang sama kepada pencari keadilan khususnya yang berlatar belakang ekonomi lemah. Dia mengingatkan, masukan itu selaras dengan Pasal 1 angka 13 dan Pasal 7 ayat (1) huruf c RUU Advokat, dimana advokat memberi jasa hukum cuma-cuma kepada orang tak mampu.

Untuk menyempurnakan usulan tersebut, Burhanuddin mengatakan ada istilah yang perlu diselaraskan yaitu ’bantuan hukum‘ dalam UU Bantuan Hukum dan ’jasa hukum secara cuma-cuma‘ sebagaimana RUU Advokat.

Burhanuddin berharap, RUU Advokat menggunakan istilah yang digunakan UU Bantuan Hukum. "Dari rumusan kedua istilah tersebut, terlihat mengandung maksud yang sama, sehingga menurut kami akan lebih baik dibakukan saja," kata dia di ruang sidang Baleg DPR, Selasa (12/2).

Tentang sanksi, Burhanuddin melihat dalam Pasal 13 dan 14 RUU Advokat hanya mengatur pemberhentian tetap profesi advokat. Namun, dia mengusulkan agar diatur pula pemberhentian sementara advokat. Misalnya, ketika advokat atau saudara dekatnya diangkat menjadi pejabat negara. Hal itu diusulkan agar tak terjadi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.

Sayangnya, RUU Advokat, kata Burhanuddin, hanya melarang advokat menjalankan profesinya bila diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana Pasal 8 ayat (1) huruf c RUU Advokat. "Jadi (RUU Advokat,-red) hanya larangan rangkap jabatan bagi advokat, tidak bagi keluarganya," ujarnya.

Lebih lanjut, mengulas konflik kepentingan yang berpotensi terjadi dalam profesi advokat, Burhanuddin menyoroti hal tersebut luput dalam RUU Advokat. Misalnya, ada keluarga advokat yang bersangkutan menjabat sebagai aparat penegak hukum dan kebetulan menangani perkara yang dibela si advokat.

Dalam RUU Advokat tak diatur apakah advokat yang bersangkutan masih boleh menangani perkara tersebut atau tidak. Apakah harus menyerahkan perkaranya kepada advokat lain, itu juga tak diatur. Oleh karena itu, Burhanuddin menyebut Kejagung mengusulkan hal tersebut perlu diatur dan dibarengi sanksi, seperti sanksi administratif dari organisasi advokat. "Bila perlu disertai dengan sanksi pidana," tuturnya.

Mengenai kode etik dan wadah advokat, Burhanuddin menjelaskan dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat hal itu sudah diatur. Sehingga terdapat wadah tunggal untuk advokat. Namun, melihat perkembangan zaman, dia mengakui jumlah organisasi advokat, lebih dari satu.

Sayangnya, ketika ditanya soal harapan Kejagung terhadap jumlah organisasi advokat, dia menolak menjawab. Hal serupa juga terjadi ketika ditanya soal mekanisme pengawasan advokat. "Saya tidak mau masuk ke situ," tukasnya.

Dalam pembahasan itu, Pimpinan Panja, Achmad Dimyati Natakusumah, mengatakan Kejagung diperlukan masukannya atas RUU Advokat. Pasalnya, Kejagung dinilai sebagai salah satu pihak yang penting dan banyak bersentuhan dengan advokat.

Dalam membahas RUU Adokat, Dimyati menegaskan DPR telah mengundang berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya dari tiga entitas yaitu jaksa, hakim dan advokat. “Untuk memberi masukan terhadap RUU Advokat,” ucapnya.

Sementara, anggota Baleg dari Fraksi Gerindra, Martin Hutabarat, menekankan agar RUU Advokat sejalan dengan harapan masyarakat kepada advokat sebagai bagian dari penegak hukum. Karena, dari pantauannya selama ini, masyarakat terusik oleh sikap sebagian advokat yang membela habis-habisan kliennya yang tersangkut kasus korupsi.

Padahal, Martin melanjutkan, masyarakat mengetahui bahwa kliennya itu telah melakukan tindakan yang salah dan melanggar hukum. “Tanggung jawab kita (DPR dan Kejagung,-red) harus bisa merespon kedongkolan masyarakat melihat tingkah laku sebagian advokat yang mempertontonkan bahwa bagi dia (sebagian advokat,-red) yang hitam itu adalah putih, yang sangat beda dengan nilai keadilan masyarakat,” katanya.

Sedangkan, anggota Baleg dari FPKS, Indra, mengusulkan agar Kejagung punya definisi dan kejelasan dalam mengartikan posisi advokat sebagai penegak hukum. Sehingga, ketika RUU Advokat disahkan, advokat punya posisi tawar dalam bertugas mendampingi klien. Menurutnya, selama ini advokat tak jarang posisinya cenderung lemah ketika melakukan pendampingan. Ujungnya, ketika mendampingi klien yang disidik, advokat hanya sebagai pendengar.

Lemahnya posisi advokat menurut Indra juga terjadi dalam hal mendapatkan berkas administratif yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya. Seperti meminta BAP, sepanjang pengetahuannya, seorang advokat dapat mendapat berkas itu atau tidak tergantung dari kedekatannya dengan aparat yang bersangkutan.

Menurutnya, jika dimungkinan penguatan posisi tawar itu perlu masuk dalam RUU Advokat dan diatur instrumen yang diperlukan. Baginya hal itu sejalan dengan posisi advokat sebagai bagian penegak hukum. “Dalam rangka checks and balances dalam aparat penegak hukum,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait