Kegagalan UU KIA Merespons Perubahan Sosial
Kolom

Kegagalan UU KIA Merespons Perubahan Sosial

UU KIA seperti gagal memanfaatkan peluang untuk merombak norma-norma sosial dan mempromosikan pengaturan gender yang lebih adil dan progresif di Indonesia.

Bacaan 5 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Pada 2 Juli 2024, Undang-Undang No. 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) telah disahkan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan bahwa pengesahan UU KIA ingin mendorong peran suami atau ayah dalam memastikan istri dan anak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi, termasuk meringankan beban ibu. Hal ini menjadi kontradiktif dengan fakta bahwa adanya penurunan angka durasi cuti ayah yang cukup drastis dari 40 hari—sebagaimana telah banyak dikampanyekan—menjadi dua hari. Alasan mengapa terjadi penurunan ini juga tidak dipaparkan secara terbuka dan tidak tercermin dalam naskah akademis versi akhir yang masih mengatur selama 40 hari.

Baca juga:

Perkembangan industrialisasi secara global telah membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai pranata sosial, termasuk keluarga. Pesatnya pertumbuhan ekonomi telah menuntut rekonsiliasi antara tuntutan pekerjaan dan keluarga. Menanggapi ini, beberapa negara menyadari bahwa dibutuhkan suatu hukum dan kebijakan yang bertujuan untuk mendukung dan melindungi hak serta kebutuhan keluarga (Yew Lee 1985, Foley 1983).

Salah satu komponen yang menjadi krusial dalam konteks kebijakan keluarga adalah hak cuti dari pekerjaan. Kebijakan cuti ayah sendiri menjadi isu yang mulai marak dibahas di masyarakat. Kebijakan ini telah diterapkan di beberapa negara maju, dan terbukti membuat para ayah menjadi lebih aktif terlibat dalam pengasuhan anak, serta turut mendorong partisipasi perempuan di tempat kerja (Shiu 2021, Widdis 2021).

Cuti Ayah di Indonesia

Kebijakan cuti ayah pertama kali diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia di tahun 2003, yakni ketika Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) diterbitkan. Hak cuti ayah diberikan hanya sebanyak dua hari. Pengaturan tersebut termasuk salah satu yang terendah di Asia, bahkan di dunia. Bandingkan saja dengan beberapa negara tetangga terdekat seperti Malaysia (7 hari), Filipina (7 hari), Singapura (14 hari), bahkan India (15 hari). Padahal, perubahan sosial juga banyak terjadi dalam tatanan masyarakat Indonesia. Faktor seperti urbanisasi, pendidikan yang lebih tinggi, dan partisipasi perempuan di pasar kerja telah mengubah pandangan tradisional masyarakat terhadap banyak hal.

Salah satunya adalah pergeseran dalam budaya keluarga dari yang sebelumnya lebih melibatkan keluarga besar, seperti yang terlihat dalam masyarakat tradisional, menjadi fokus pada keluarga inti. Dalam masyarakat tradisional, keluarga besar seringkali memainkan peran penting dalam pengasuhan anak. Ada banyak anggota keluarga yang terlibat dalam mendidik dan merawat anak-anak. Namun, urbanisasi membawa perubahan signifikan dalam pola hidup, mobilitas geografis, dan tekanan ekonomi. Semakin banyak keluarga rantau yang tinggal jauh dari anggota keluarga besar mereka dan bergantung pada keluarga inti, termasuk dalam peran pengasuhan anak. Meskipun keluarga besar masih berperan penting dalam beberapa kasus, urbanisasi telah mengubah dinamika tradisional dalam pengasuhan anak menjadi lebih fokus pada keluarga inti yang lebih kecil.

Tidak hanya itu saja, pergeseran juga terjadi pada peran gender. Perempuan urban semakin mengambil peran di luar rumah dan menjadi pencari nafkah bagi keluarga. Meskipun tantangan dan stigma akan peran gender tradisional masih ada, perubahan seharusnya menciptakan peluang bagi masyarakat urban untuk membangun hubungan yang lebih setara dalam rumah tangga. Perubahan positif dalam pembagian tugas dan tanggung jawab juga harus didorong berdasarkan kemampuan dan pilihan individu, bukan sekadar berdasarkan jenis kelamin.

Berbicara soal jumlah hari, International Labor Organization (ILO) memang tidak memberikan standar secara khusus soal berapa jumlah hari untuk cuti ayah yang sebaiknya diatur. Namun demikian, Resolusi International Labour Conference tahun 2009 tentang kesetaraan gender mengakui bahwa langkah-langkah rekonsiliasi pekerjaan keluarga tidak hanya menyangkut perempuan, tetapi juga laki-laki.

Berbagai langkah baru—seperti pemberian cuti ayah dan/atau cuti orang tua—telah berhasil mengizinkan ayah yang bekerja untuk lebih terlibat dalam pembagian tanggung jawab keluarga. Oleh karena itu, resolusi ini menyerukan kepada pemerintah untuk mengembangkan kebijakan yang memungkinkan pembagian tanggung jawab yang lebih setara antara pekerjaan dan keluarga bagi perempuan dan laki-laki. Kebijakan tersebut harus mencakup antara lain cuti ayah dan/atau cuti orang tua dengan insentif untuk mendorong laki-laki mengambil cuti tersebut.

Merespons Perubahan Sosial

Sebagai orang tua, para ayah di Indonesia juga penting untuk terlibat dalam pengasuhan dan membangun kelekatan dengan anak-anak mereka pada hari-hari kehidupan. Sayangnya, kebutuhan ini tidak tercermin dalam UU KIA yang telah disahkan. Nafas patriarki pada undang-undang tersebut masih menitikberatkan fokus dan perhatian hanya pada ibu sejak awal-awal kehamilan dan kelahiran. Padahal, persiapan menjadi orang tua juga dibutuhkan untuk ayah dengan melibatkan perannya secara seimbang sejak hari-hari awal kehidupan.

Penelitian di Amerika Serikat oleh Jane C. Murphy di tahun 2005 menyorot bahwa perubahan sosial telah terjadi ketika ada pergeseran makna tradisional keluarga. Sebelumnya terdiri atas ayah dan ibu yang menikah kemudian memiliki anak, kemudianberkembang menjadi anak yang lahir dari laki-laki dan perempuan yang tidak menikah, sampai dengan ayah dan ibu yang telah melalui perceraian.

Kondisi itu sayangnya tidak tertangkap oleh hukum. Pengaruhnya adalah banyaknya anak-anak di rumah tangga Amerika Serikat yang dibesarkan hanya oleh ibunya. Padahal, kerangka hukum memiliki potensi untuk mempengaruhi peran ayah dan persepsi tanggung jawab mereka dalam keluarga. Murphy pada akhirnya mendorong evaluasi dan reformasi kebijakan yang terkait dengan ayah, dukungan anak, dan kesejahteraan. Kebijakan harus memastikan bahwa mereka sejalan dengan kepentingan terbaik anak-anak dan keluarga.

Begitu pula dalam konteks UU KIA. Sebagai sebuah kebijakan legislatif, seharusnya undang-undang tersebut memperhatikan dua tolak ukur yang terpenting. Pertama, gagasan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh undang-undang ini yakni berupa cita-cita yang ingin diterapkan dalam masyarakat. Gagasan ini dapat tercermin misalnya dalam pekerjaan persiapan, diskusi parlemen, atau mukadimah undang-undang. Kedua, perubahan sosial apa yang ingin dicapai melalui pembentukan undang-undang tersebut. Jika yang ingin dicapai adalah kesetaraan gender serta pembentukan generasi unggul menuju Indonesia Emas 2045, apakah hal tersebut dapat dicapai dengan memangkas keterlibatan ayah dalam pengasuhan di hari-hari awal kehidupan?

Penulis beranggapan bahwa UU KIA seperti gagal memanfaatkan peluang untuk merombak norma-norma sosial dan mempromosikan pengaturan gender yang lebih adil dan progresif di Indonesia. Baik ibu maupun ayah harusnya memiliki pemberdayaan dan keterlibatan yang setara dalam mengasuh anak-anak mereka. Artikel ini mengakui bahwa kebutuhan akan cuti ayah sangat bergantung pada konteks, tidak hanya antarnegara tetapi juga di dalam keluarga.

Konteks budaya Timur di Indonesia didukung oleh keluarga besar yang memainkan peran penting dalam pengasuhan anak. Ibu dianggap sudah cukup memiliki support system. Hal ini berbeda dari kecenderungan menuju struktur keluarga inti dan nilai-nilai individualistik yang diamati di banyak masyarakat Barat. Namun, terlepas dari perbedaan budaya ini, Indonesia seharusnya memiliki kebijakan cuti ayah yang lebih akomodatif di level perundang-undangan nasional. Mungkin tidak serta merta langsung seperti di negara-negara Skandinavia atau bahkan durasi 40 hari yang diusulkan sebelumnya, tetapi jelas lebih dari dua hari.

Tulisan ini juga menyadari bahwa kebutuhan terhadap cuti ayah sendiri sangat rentan dengan subjektifitas dan bervariasi dalam konteks yang berbeda, tidak hanya dalam konteks negara tetapi juga keluarga. Namun, hal ini tidak mengubah fakta bahwa sebagian besar ayah pekerja yang menjadi responden tetap menginginkan adanya kebijakan cuti ayah yang lebih akomodatif bagi mereka.

*)Yvonne Kezia D. Nafi, S.H., LL.M. adalah Dosen bidang studi Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan FHUI.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait