​​​​​​​Kedutaan Besar Asing Tunduk pada Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Landmark Decisions MA 2017

​​​​​​​Kedutaan Besar Asing Tunduk pada Hukum Ketenagakerjaan Indonesia

Perjanjian kerja antara perwakilan negara asing dengan tenaga kerja lokal tidak terkait fungsi diplomatik sehingga tidak berlaku kekebalan diplomatik.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Biasanya perkara perselisihan hubungan industrial terjadi antara pekerja dengan manajemen perusahaan. Tapi, tidak melulu begitu, karena sudah beberapa kali perselisihan ketenagakerjaan terjadi antara pekerja dengan perwakilan negara asing. Salah satunya perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) antara Kedutaan Besar (Kedubes) Brazil di Jakarta melawan Luis Pereira. Putusan itu menjadi salah satu yang masuk Landmark Decisions Mahkamah Agung (MA) Tahun 2017.

 

Pada putusan tingkat pertama, majelis Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, menghukum kedutaan besar Brazil di Jakarta membayar kompensasi PHK dan upah proses yang totalnya mencapai Rp485 juta. Majelis hakim menyimpulkan berdasarkan perjanjian kerja, kedua pihak telah menyepakati penerapan hukum Indonesia. Oleh karenanya Kedubes harus tunduk pada hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.

 

Tidak puas terhadap putusan itu pihak Kedubes Brazil mengajukan kasasi. Dalam permohonan kasasi pihak Kedubes tetap berpegang pada Konvensi Wina yang telah diadopsi melalui UU No. 1 Tahun 1982, antara lain mengutip kekebalan hukum yang dimiliki kedutaan besar terhadap pidana dan perdata di negara penerima.

 

Dalam putusan kasasi bernomor 376 K/Pdt.Sus-PHI/2013, majelis berpendapat Kedubes Brazil selaku pemberi kerja, telah mempekerjakan Luis Pereira selama 6 tahun kemudian melakukan PHK tanpa ada kesalahan. Untuk itu majelis menilai Luis Pereira berhak menerima kompensasi PHK sebagaimana telah dipertimbangkan majelis PHI Jakarta.

 

Hukumonline.com

 

Dari penelusuran hukumonline beberapa tahun sebelum putusan itu, pernah ada perkara serupa diputus PHI Medan. Perkaranya melibatkan pekerja lokal bernama Indra Taufiq Djafar melawan konsulat Amerika Serikat (AS) di Medan dan Kedubes AS di Jakarta. Sebagaimana tertulis dalam putusan bernomor  673 K/Pdt.Sus/2012, PHI Medan telah memutus perkara itu pada 26 April 2016 yang intinya perkara tidak dapat diterima.

 

Dalam pertimbangan hukum, majelis kasasi menyebut pendapat PHI Medan yang menyatakan gugatan Indra Taufiq tidak dapat diterima karena PHI tidak berwenang untuk mengadili adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Gugatan yang diajukan Indra Taufiq mengenai PHK yang terjadi di wilayah hukum Indonesia, maka demi hukum yang berlaku adalah hukum di Indonesia yakni UU Ketenagakerjaan. Lewat pertimbangan itu majelis kasasi membatalkan putusan PHI Medan dan mengabulkan kasasi Indra Taufiq.

 

Setelah itu PHI Jakarta pernah mengadili perselisihan PHK antara pekerja lokal dengan Kedubes India dan Kedubes Suriname yang intinya pihak Kedubes dihukum untuk membayar kompensasi PHK.

 

Baca:

 

Untuk Kedubes Suriname perkaranya berlanjut sampai tingkat kasasi, dalam pertimbangan putusan bernomor 696 K/Pdt.Sus-PHI/2016 majelis menyebut Kedubes bukan pengusaha, tapi berdasarkan Agreement Employement yang disepakati antara Kedubes Suriname dengan pekerja lokal yang bersangkutan maka Kedubes posisinya sebagai pemberi kerja.

 

Menurut majelis kasasi hal itu memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam hubungan antara kedua pihak tersebut ada unsur pekerjaan, perintah dan upah sebagaimana karakteristik hubungan kerja dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan. Putusan itu menghukum Kedubes Suriname membayar kompensasi PHK.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Hadi Subhan, mengatakan secara letterlijk Kedubes tidak masuk dalam UU Ketenagakerjaan. Regulasi itu hanya berlaku untuk perusahaan, badan usaha, dan badan sosial. Tapi jika UU Ketenagakerjaan tidak menyentuh Kedubes maka tidak ada perlindungan hukum bagi pekerja lokal yang bekerja di institusi perwakilan asing tersebut. Padahal hanya ada 2 regulasi yang mengatur tentang ketenagakerjaan di Indonesia yakni untuk kepegawaian di instansi pemerintah dan pekerja di sektor swasta.

 

Putusan MA dalam perkara yang melibatkan Kedubes Brazil itu menurut Subhan sebuah terobosan atau diskresi hakim untuk memberi keadilan bagi pekerja lokal yang bertugas di Kedubes asing di wilayah Indonesia. Selaras itu dia menyebut Mahkamah Agung telah menerbitkan edaran yang menjelaskan PHI juga menangani perkara perselisihan ketenagakerjaan yang ada di Kedubes asing.

 

Menurut Subhan melalui ketentuan tersebut Kedubes asing yang mempekerjakan pekerja lokal harus mematuhi UU Ketenagakerjaan. Jika Kedubes asing tidak mau mengikuti aturan UU Ketenagakerjaan, maka harus mempekerjakan pekerja asing, tidak boleh pekerja lokal. “Jadi para pekerja lokal punya kepastian dalam perjanjian kerja yang mereka sepakati harus mengikuti hukum yang berlaku di Indonesia,” katanya ketika dihubungi, Kamis (8/3).

 

Baca juga:

 

Senada, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menjelaskan ketika mempekerjakan tenaga kerja, posisi Kedubes tidak dalam kapasitas negara sebagai subyek hukum internasional (publik) tapi perdata. Oleh karena itu posisi Kedubes dan pekerja sejajar sehingga mereka bisa menjalin kontrak kerja. “Ketika terjadi perselisihan, Kedubes tidak bisa menghindar bila perkaranya dibawa ke PHI. Ini karena Kedubes tidak dalam posisi sebagai subyek hukum publik,” paparnya.

 

Menurut Hikmahanto yang terjadi di luar negeri juga seperti itu. Misalnya, ada Kedubes Indonesia di sebuah negara di Eropa digugat oleh pekerja lokal. Dalam menghadapi perkara itu Kedubes Indonesia tidak bisa menggunakan kekebalan diplomatiknya pada lembaga peradilan setempat.

 

Kekebalan diplomatik itu bisa digunakan sepanjang Kedubes menjalankan misi diplomatiknya. Tapi dalam konteks perdata kekebalan diplomatik kedubes itu dikesampingkan oleh pengadilan yang ada di wilayah tersebut. “Sebagai subyek hukum publik dalam hukum internasional disebut iure imperii. Sementara dalam kapasitas subyek hukum perdata disebut iure gestionis,” urainya.

Tags:

Berita Terkait