Pemeriksaan poligraf atau alat pendeteksi kebohongan merupakan sebuah mesin yang merekam perubahan fisiologis seseorang berupa detak jantung, tekanan darah, pernapasan, dan kulit yang apabila terdeteksi berbohong maka detak jantung akan meningkat, tekanan darah naik, ritme pernapasan berubah, dan bulir keringat meningkat.
Perubahan fisiologis tersebut, dapat diukur melalui sinyal sensor yang terpasang di berbagai bagian tubuh dan ditampilkan dalam bentuk grafik tinta pena atau secara virtual dari perangkat komputer.
Pemeriksaan poligraf dalam pembuktian pidana di Indonesia dapat ditemukan melalui beberapa putusan hakim. Di samping putusan pengadilan, poligraf diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Indonesia (Perkap) No.10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara RI.
Baca Juga:
- Alasan Restorative Justice Tidak Bisa Dilaksanakan Dalam Kasus Kekerasan Seksual
- Mengenal Restorative Justice
Peraturan Kapolri tersebut mendudukan pemeriksaan poligraf dalam pembuktian pidana yang merupakan salah satu jenis barang bukti yang dapat diperiksa di laboratorium forensik, serta mengatur syarat formal dan teknis pemeriksaannya terhadap tersangka atau saksi.
Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHPidana menyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Pasal tersebut menyatakan bahwa alat bukti terdiri dari lima alat bukti, sehingga bukti lain yang tidak disebutkan tidak dibenarkan.
Namun, seiring berkembangnya teknologi dan informatika, bukti-bukti lain dapat digunakan sebagai alat bukti yang digunakan oleh penyidik yang salah satunya adalah mesin poligraf atau alat pendeteksi kebohongan.