Kedudukan Hukum Secara Perdata Pembeli Barang Curian
Kolom Hukum J. Satrio

Kedudukan Hukum Secara Perdata Pembeli Barang Curian

Tempat di mana dan dari siapa ia membeli, punya pengaruh terhadap kedudukkan hukum si pembeli barang curian.

RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio
J. Satrio

Dari judul di atas bisa kita simpulkan, bahwa benda curian itu sekarang sudah berada dalam tangan seorang pembeli. Pihak yang mempertanyakan kedudukan hukum pembeli barang curian  --seperti judul di atas-- mestinya adalah si pembeli barang curian, yang ingin tahu posisinya terhadap barang yang ada padanya.

 

Jadi, kita hendak mencari jawab atas pertanyaan: Bagaimana kedudukan hukum secara perdata pembeli barang --yang dibeli olehnya-- kalau ternyata barang itu adalah barang dari hasil curian?

 

Dari pertanyaan di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa dasar penguasaan si pembeli atas barang yang berasal dari curian itu adalah perjanjian jual beli.

 

Untuk memudahkan pembicaraan, kita sebut saja orang yang sekarang menguasai benda curian itu adalah C dan benda curian itu kita sebut saja benda X. Kita coba gambarkan kedudukan para pihak sebagai berikut;

 

A adalah pemilik benda X, yang dicuri dan oleh B (pencuri), dan oleh B benda X telah dijual kepada C. Benda X selanjutnya ada dalam tangan C.

 

Pertama-tama kita perlu pertanyakan, C membeli membeli benda X di mana atau dari siapa?

 

Perhatikan baik-baik, kita tidak hanya menanyakan benda X dibeli “dari siapa”, tetapi juga dibeli “di mana”.

 

Mengapa? Karena tempat di mana dan dari siapa ia membeli, punya pengaruh terhadap kedudukkan hukum si pembeli barang curian.

 

Hal itu bisa kita lihat dari ketentuan Pasal 1977 ayat (2) BW yang mengatakan:

“Namun demikian, siapa yang kehilangan atau kecurian sesuatu barang, di dalam jangka waktu tiga tahun, terhitung sejak hari hilangnya atau dicurinya barang itu, dapatlah ia menuntut kembali barangnya yang hilang atau dicuri itu sebagai miliknya, dari siapa yang dalam tangannya ia ketemukan barang-nya, dengan tak mengurangi hak si yang tersebut belakangan ini untuk minta ganti rugi kepada orang dari siapa ia memperoleh barangnya, lagi pula dengan tak mengurangi ketentuan dalam Pasal 582”.

 

Beberapa unsur yang menarik perhatian kita adalah, bahwa di sini diatur; tentang barang yang dicuri atau hilang; tentang hak menuntut kembali (revindikasi) dari si pemilik barang yang hilang atau  dicuri; revindikasi dari orang yang menguasai benda yang bersangkutan; waktu hak revindikasi dilancarkan; dengan memperhatikan Pasal 582 BW.

 

Dari ketentuan di atas bisa kita simpulkan, bahwa penyerahan dari orang yang menemukan benda milik orang lain atau penyerahan dari yang mencuri barang milik orang lain --paling tidak dalam waktu 3 tahun-- tidak bisa menjadikan orang yang menerima penyerahan benda yang diserahkan sebagai pemilik, karena dalam 3 tahun sewaktu-waktu benda itu bisa direvindikasi oleh pemilik yang sebenarnya, tanpa pemegang berhak atas uang tebusan, kecuali benda itu dibeli dari tempat-tempat yang disebutkan dalam Pasal 582 BW.

 

Bagaimana kalau barang yang ditemukan merupakan benda bergerak tidak atas nama dan orang yang menemukan barang itu (si penemu barang) kemudian berubah pikiran dan mengambil sikap atau bertindak sebagai seorang bezitter? Bukankah orang yang menerima penyerahan dari seorang bezitter, asal yang bersangkutan iktikadnya baik, menjadi pemilik dari barang yang diserahkan kepadanya (berdasarkan fungsi materiil dari bezit, Pasal 1977 ayat 1 BW)?

 

Tentunya harus dijawab dulu pertanyaan, apakah orang yang menemukan barang bisa menjadi bezitter atas barang itu?

 

Kalau kita mengacu kepada Pasal 1977 ayat (2) BW, maka penemu barang yang hilang --paling tidak dalam waktu 3 tahun sejak barang itu hilang-- tidak pernah bisa menjadikan orang lain, pemilik dari benda yang ia temukan melalui suatu penyerahan. Kalau ia jujur dan berniat untuk mengembalikan barang itu, maka dia untuk sementara berkedudukan sebagai detentor, orang yang memegang suatu benda untuk orang lain. Ia akan berkedudukan seperti itu sampai pemiliknya ketemu atau kalau kemudian ia mempunyai niat untuk memilikinya, maka ia menjadi “pencuri”, karena ia mau memiliki barang milik orang lain, tanpa persetujuan pemiliknya. Kalau ia sebagai penemu yang jujur ataupun kalau ia sebagai penemu yang tidak jujur, mengoperkan benda yang bersangkutan. kepada orang lain, tetap saja --paling tidak dalam waktu 3 tahun-- yang menerima penyerahan tidak bisa menjadi pemilik dari benda itu.

 

Mengapa? Karena Pasal 1977 ayat (2) BW mengatakannya, bahwa dalam waktu 3 tahun setelah barang itu hilang atau dicuri, pemilik mempunyai hak revindikasi atas barang itu.

 

Bagaimana kalau telah lewat 3 tahun? Setelah lewat 3 tahun, tetap saja si penemu dan si pencuri tidak menjadi pemilik dari benda yang dicuri.

 

Bukankah tidak ada undang-undang yang mengatakan, bahwa barang yang hilang atau dicuri itu, setelah lewat 3 tahun menjadi milik si penemu atau si pencuri? Kiranya adalah sangat tidak adil, kalau setelah 3 tahun, pencuri jadi pemilik benda yang ia curi.

 

Bahkan setelah 20 tahun dipegang, ia tidak bisa menjadi pemilik atas dasar kedaluwarsa yang acquisitive

 

Karena untuk memperoleh hak milik atas dasar daluwarsa disyaratkan adanya iktikad baik, padahal penemu dan pencuri --terhadap benda yang ia temukan atau curi-- iktikadnya buruk, karena ia tahu, barang itu bukan miliknya (baca Pasal 1963 BW).

 

Pencuri --terhadap benda yang ia curi-- posisi hukumnya kurang lebih adalah sama dengan penemu terhadap barang yang ia temukan.

 

J. Satrio

Tags:

Berita Terkait