Kecerdasan Buatan dalam Lanskap Hukum Indonesia
Utama

Kecerdasan Buatan dalam Lanskap Hukum Indonesia

Meski belum diatur dalam level UU, Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang mengatur AI, seperti SE Menkominfo No. 9/2023 dan Panduan Kode Etik AI yang diluncurkan OJK bersama 4 asosiasi Fintech Indonesia. Namun, hal yang perlu disadari bahwa AI memiliki keunggulan dan kelemahan.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Akademisi Taylor’s University Dr. Sia Chin Chin dalam Konferensi Internasional bertajuk ‘The AI Revolution In Corporate Law: Embracing Tech, Protecting Rights’, Kamis (11/7/2024).
Akademisi Taylor’s University Dr. Sia Chin Chin dalam Konferensi Internasional bertajuk ‘The AI Revolution In Corporate Law: Embracing Tech, Protecting Rights’, Kamis (11/7/2024).

Dalam beberapa tahun terakhir dunia terus diramaikan dengan perkembangan teknologi yang sedemikian pesat hingga melahirkan istilah Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan. Penggunaan AI ini berdampak terhadap berbagai sektor, tak terkecuali bidang hukum.

“Sistem yang paling banyak digunakan saat ini dikenal sebagai Large Language Models (LLM) dan Natural Language Processing (NLP). Sementara itu, ada juga fitur lain yang umum digunakan dalam kontrak dan transaksi perusahaan, yaitu Virtual Assitants,” ujar Akademisi Taylor’s University Dr. Sia Chin Chin dalam Konferensi Internasional bertajuk “The AI Revolution In Corporate Law: Embracing Tech, Protecting Rights” yang diselenggarakan STIH IBLAM secara daring, Kamis (11/7/2024).

Hukumonline.com

Suasana Konferensi Internasional bertajuk “The AI Revolution In Corporate Law: Embracing Tech, Protecting Rights” yang diselenggarakan STIH IBLAM secara daring. 

Baca Juga:

Sebagai contoh aplikasi LLM dan NLP dapat dilihat pada ChatGPT, Chatbot Layanan Klien, program penerjemahan bahasa, peningkatan pemahaman, dan layanan kepada klien melalui pelengkapan otomatis permintaan pencarian, hingga penyaringan resume untuk rekrutmen kandidat potensial perusahaan.

Sedangkan untuk Virtual Assistant, misalnya dalam riset hukum, peninjauan dokumen, dan contract drafting and briefs. “Tentu saja kita semua tahu tidak semua dokumen bisa dilakukan (melalui bantuan AI saja), tetapi harus dipantau oleh manusia juga. Khususnya dari Counsel yang berpengalaman,” kata dia.

Namun demikian, ada beberapa implikasi etis dari penggunaan AI dalam transaksi perusahaan yang perlu diperhatikan. Seperti privasi dan kerahasiaan; transparansi; mengurangi bias; persetujuan berdasarkan informasi; serta kompetensi profesional. Ia secara khusus menekankan pentingnya profesional hukum memiliki kompetensi dan pemahaman tinggi dalam menavigasi AI sebagai alat dengan memenuhi standar etik.

“Di Indonesia, belum lama mendirikan KORIKA. Komite ini (diantaranya) bertugas mengawasi pengembangan kebijakan terkait AI dan berfokus pada beberapa area utama. Seperti penggunaan AI yang etis, perlindungan data, dan promosi AI itu sendiri. Menurut saya, pendekatan Indonesia itu unik,” ungkap Akademisi STIH IBLAM sekaligus Spesialis Litigasi dan Penyelesaian Sengketa, Robby Tejamukti Kusuma, dalam kesempatan yang sama.

Hukumonline.com

Akademisi STIH IBLAM Robby Tejamukti Kusuma.

Ia menyoroti beberapa regulasi Indonesia yang menjadi catatannya termasuk Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika No. 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial, dan Panduan Kode Etik Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) yang Bertanggung Jawab dan Terpercaya di Industri Teknologi Finansial yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama empat asosiasi Fintech di Indonesia. 

Dalam praktiknya, ia menuturkan perangkat AI sebenarnya dapat bermanfaat dan dimanfaatkan dalam ragam aksi korporasi. Misalnya, untuk mengidentifikasi risiko hukum, memastikan kepatuhan, dan mengelola audit hukum atau due diligence. AI memiliki keunggulan tersendiri yang tidak dapat diabaikan, seperti efisiensi dan penghematan biaya, akurasi dan konsistensi, hingga integrasi data.

"Kelemahan AI masih ada. Pertama, sistem AI hanya memproses atau menghasilkan data jika data tersebut berkualitas baik, akurat, dan tidak bias. Kedua, privasi data (kerahasiaan data), yang menjadi perhatian besar, bahkan di tingkat internasional seperti Uni Eropa (UE) dan Inggris. Sebab, AI menangani data sensitif seperti laporan keuangan, informasi pribadi, strategi bisnis, dan sebagainya. Terakhir, nilai dan makna kemanusiaan adalah hal yang tidak dapat ditemukan dalam tools AI,” terang Robby.

Hukumonline.com

Ketua Yayasan STIH IBLAM Rahmat Dwi Putranto.

Sebelumnya, Ketua Yayasan STIH IBLAM Rahmat Dwi Putranto dalam sambutannya, mengatakan “Kita bisa menciptakan masa depan yang lebih baik antara hukum dan teknologi AI. Terima kasih atas kerja samanya, semoga kita bisa terus melanjutkan ini di masa mendatang. Semoga diskusinya berjalan lancar dan akan menghasilkan ide-ide yang luar biasa untuk diciptakan di masa mendatang.”

Tags:

Berita Terkait