Kebijakan Sektor Keuangan 2014 yang Menuai Kritik
Refleksi 2014

Kebijakan Sektor Keuangan 2014 yang Menuai Kritik

Bahkan ada yang sampai diuji ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

FAT
Bacaan 2 Menit
Gedung OJK. Foto: RES
Gedung OJK. Foto: RES
Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebabkan pergeseran dalam pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan di Indonesia. Untuk mendukung hal tersebut, para regulator pun membuat  kebijakan baru atau mengubah kebijakan lama sebagai pondasi sebelum dilakukannya pengawasan.

Meski begitu, tak seluruh kebijakan (beleid) yang lahir dapat diterima sejumlah pihak. Sepanjang tahun 2014, hukumonline mencatat terdapat sejumlah beleid yang masih menyumbang keluhan hingga kritikan dari kalangan terkait, khususnya pelaku industri jasa keuangan.

Tak tanggung-tanggung, ada beleid yang sampai diuji ke Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebut saja PP No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK. Hampir seluruh pelaku usaha jasa keuangan yang terkena pungutan, ramai-ramai mempersoalkan aturan tersebut melalui uji materi. Namun, ada juga pihak yang hanya mengeluhkan terbitnya aturan tersebut.

Berikut adalah kebijakan-kebijakan yang diterbitkan para regulator yang kemudian dikeluhkan hingga menuai kritik pedas dari sejumlah kalangan.

1.    Surat Edaran OJK Nomor 06/D.05/2-13.
Walaupun ditandatangani pada 31 Desember 2013, SE OJK ini dimaksudkan untuk tahun 2014. SE ini adalah tentang Penetapan Tarif Premi serta Ketentuan Biaya Akuisisi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor dan Harta Benda (Properti) serta Jenis Risiko Khusus Meliputi Banjir, Gempa Bumi, Letusan Gunung Berapi dan Tsunami Tahun 2014.

OJK menilai, penetapan batas atas dan batas bawah tarif premi asuransi dalam SE ini bertujuan untuk mencegah persaingan tak sehat antar perusahaan asuransi. Namun, hal sebaliknya diutarakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi menemukan bahwa hampir seluruh perusahaan asuransi menetapkan tarif preminya pada batas bawah, sehingga memicu persaingan usaha yang tak sehat.

2.    PP No. 11 Tahun 2014.
PP ini disebut juga dengan PP tentang Pungutan oleh OJK. Dalam PP ini seluruh pelaku usaha sektor jasa keuangan diwajibkan membayar iuran. Bukan hanya industri yang terkena pungutan, profesi penunjang pun tak luput dari kewajiban ini.

Otomatis, sejumlah kalangan yang terkena pungutan ramai-ramai memohonkan uji materi PP ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan mengenai pungutan juga dilayangkan pihak lain ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akibat banyaknya pihak yang merasa keberatan dengan adanya pungutan, OJK pun meminta Pemerintah melalui Kementerian Keuangan untuk merevisi PP tersebut.

3.    PBI No. 16/8/PBI/2014.
PBI ini merupakan Perubahan Atas PBI No. 11/12/1PBI/2009 tentang Uang Elektronik atau Electronic Money (E-Money). Meskipun kritikan tak gencar seperti dua beleid sebelumnya, aturan ini lebih mengetatkan kerjasama dalam penyelenggaraan kegiatan E-Money. Dalam aturan ini, terdapat larangan kerjasama ekslusif dalam penyelenggaraan kegiatan E-Money.

Salah satu pihak yang mengeluhkan adanya aturan ini adalah perusahaan telekomunikasi (telko). Keluhan lebih berkaitan dengan keterbatasan infrastruktur yang ada selama ini.

4.    SE OJK Nomor 1/SEOJK.07/2014 dan SE OJK Nomor 2/SEOJK.07/2014.
SE OJK Nomor 1/SEOJK.07/2014 tentang Pelaksanaan Edukasi dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan Kepada Konsumen atau Masyarakat, serta SE OJK Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

Kedua SE ini mewajibkan perusahaan jasa keuangan untuk memiliki program edukasi yang masuk ke dalam rencana bisnis mereka. Serta, memiliki layanan jasa pengaduan dari konsumen, mulai mekanisme hingga sumber daya manusia yang menangani layanan tersebut. Tak tanggung-tanggung, dalam ketentuan ini terdapat jangka waktu penyelesaian pengaduan yang wajib dilakukan paling lambat 20 hari kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan.

5.    Surat Edaran BI No. 15/40/DKMP.
SE ini  mengatur tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Yang Melakukan Pemberian Kredit Atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit Atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. SE ini merupakan perubahan dari SE yang lama.

Perubahan aturan ini lebih kepada nilai LTV dan FTV yang dicover oleh perbankan. Misalnya, kredit rumah pertama membutuhkan down payment sebesar 30 persen. Kebijakan ini dinilai masih terlalu memberatkan bagi masyarakat menengah ke bawah. Akibat adanya aturan ini, rencana untuk memperkecil kekurangan perumahan (backlog) dirasa tak akan terjadi.
Tags:

Berita Terkait