Kebijakan Penurunan PPh Badan Harus Dikaji Lebih Dalam
Berita

Kebijakan Penurunan PPh Badan Harus Dikaji Lebih Dalam

Yang lebih penting dari daya saing ekonomi adalah kepastian hukum di sektor perpajakan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Kebijakan Penurunan PPh Badan Harus Dikaji Lebih Dalam
Hukumonline

Era tarif pajak dunia sudah dimulai. Trend penurunan tarif pajak sudah mulai dilakukan di beberapa negara. Misalnya saja, Thailand yang saat ini tarif pajak korporasi adalah 20%, Polandia yang menetapkan tarif pajak PPh badan sebesar 19%, Albania dan Latvia sebesar 15%, bahkan Hungaria hanya menetapkan tarif pajak korporasinya sebesar 9%. Jika di rata-rata, tarif pajak PPh badan di dunia berada pada kisaran 21,4%.

 

Jika merujuk kepada UU No. 36 Tahun 2008 mengenai PPh, tarif pajak yang dikenakan terhadap WP Badan adalah sebesar 25 persen. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah meminta pemerintah untuk menurunkan PPh badan menjadi 17%. Alasannya untuk menjaga daya saing ekonomi Indonesia dengan negara-negara lain. Bagaimana seharusnya pemerintah merespons hal ini?

 

Pengamat Perpajakan, Darussalam menyampaikan penurunan tarif PPh memang sudah menjadi tren dunia. Namun dalam kasus sektor perpajakan di Indonesia, penurunan tariff pajak khususnya PPh badan harus dikaji lebih mendalam. Pasalnya, penurunan tarif PPh harus dibarengi dengan penambahan basis pajak.

 

“Dalam jangka pendek, penurunan tarif PPh dapat dibenarkan sepanjang dapat dikompensasi dengan penambahan basis pajak lainnya baik dalam hal subjek pajak maupun objek pajak. Juga harus memperhatikan rata-rata tarif PPh di kawasan ASEAN,” katanya kepada hukumonline, Rabu (23/1).

 

Menurut Darussalam, penurunan tarif PPh badan bisa saja dilakukan permanen dengan syarat dilakukan secara bertahap. Tetapi ia mengingatkan bahwa faktor tarif pajak bukan hal utama dalam penentuan tempat investasi global. Hal yang jauh lebih penting adalah masalah kepastian hukum pajak itu sendiri.

 

Sementara itu, Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo menilai bahwa perdebatan soal 'tax ratio' dan penurunan tarif pajak bukanlah persoalan yang rumit. Pemerintahan Jokowi memang sudah menjanjikan penurunan tarif PPh Badan pasca-tax amnesty dan ini tengah dikaji melalui revisi UU PPh. Tetapi tetap dengan pertimbangan, harus disertai dengan perluasan basis pajak dan keterbukaan informasi keuangan.

 

Penurunan tarif hanya mungkin dilakukan jika basis pajak dan kepatuhan sudah meningkat. Data 2018 menunjukkan perbaikan itu. Penerimaan tumbuh 15% saat pertumbuhan ekonomi stagnan. Namun penurunan tarif dengan alasan karena kompetisi, dinilai Yustinus tidak begitu relevan.

 

Hal tersebut dikarenakan tarif PPh Indonesia masih cukup kompetitif di kawasan. Terutama untuk PPh Orang Pribadi, tarif tertinggi kita 30%, Vietnam, Thailand, Filipina 37%, China 45%, Korsel 42%. Utk PPh Badan kita 25%, lebih tinggi dibanding Singapore, Kamboja, Thailand, dan rata-rata OECD 23,9%.

 

(Baca Juga: Pokok-Pokok Pengaturan Perlakuan Perpajakan E-Commerce)

 

Yustinus menyangkal bahwa tarif pajak tinggi akan berdampak pada modal yang tinggi dan rakyat menjadi malas. Namun hal tersebut tidak terbukti di Eropa Utara. Beberapa negara Eropa Utara (Skandinavia). Tarif PPh Orang Pribadi Swedia 61%, Denmark 58%, Finlandia 51%. Eropa lain misalnya Prancis 45%, Jerman 47%, Turki 35%. Di negara-negara ini terbukti bahwa tarif pajak tinggi, tax ratio tinggi dan menghasilkan produktivitas tinggi. Hal ini disebabkan karena revenue dan spending-nya berkualitas. Pemerintahannya komitmen pada hak warga negara.

 

“Maka jangan gegabah mau menurunkan tarif tanpa paham konteks. Kalau mau 'race to the bottom', dalam sikon seperti ini kita akan kalah. Pajak jebol, APBN defisit, investasi dan pertumbuhan enggak bakal naik. Maka motifnya jangan itu. Perbaiki sistem perpajakan secara komprehensif,” kata Yustinus.

 

Maka, lanjut Yustinus, pasca tax amnesty Indonesia memiliki UU No 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang- Undang. Semua informasi keuangan dalam dan luar negeri akan diperoleh oleh Direktorat Jenderal Pajak. Harapannya, agar penarikan pajak bisa lebih fair untuk WP yang sudah patuh, dan terus melakukan penagihan pajak terhadap yang belum patuh.

“Ini sudah dimulai bertahap, dengan lebih dari 100 negara. Untuk dalam negeri semua Lembaga Jasa Keuangan tak terkecuali. Maka ada perubahan perilaku, bukan kucing-kucinganan lagi, tapi budaya baru di era transparansi. Patuh? Bisa aja, cuma Pemerintah harus fair, sasar yang nakal, apresiasi yg patuh,” tegasnya.

 

Sebagai kelanjutan, kini DJP tengah membangun sistem IT yang handal, yakni core tax system. Melalui Perpres No.40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan, DJP mendapatkan pengadaan sistem IT yang canggih dengan prosedur khusus, agar efisien dan efektif.

 

“Untuk menjamin fairness, biar yang diperiksa hanya yang berisiko tinggi (nakal), maka Dirjen Pajak keluarkan SE-15/2018. Pemeriksaan perlu perencananan yg baik, harus objektif dan reasonable, tak boleh subyektif tebang pilih. Ada supervisi dan kontrol. Cukup bagus kan? Lugasnya, kita kini memasuki era baru perpajakan, yang dicirikan transparan, fair, simpel. Memang perbaikan belum sempurna, masih ada kekurangan, namun cukup menjanjikan. Ada di jalur yang benar. Apalagi kalau Single Identity Number (SIN) sudah jadi,” pungkasnya.

 

Selain itu, pemerintah juga harus memperbaiki regulasi. Revisi UU KUP, UU PPh, dan UU PPN, dan UU PDRD yang semoga segera menyusul. Aturan teknis juga harus diinventarisasi untuk harmonisasi dan sinkronisasi.

 

Tags:

Berita Terkait