Kebijakan Pemerintah Dominan Picu Persaingan Usaha Tidak Sehat
Terbaru

Kebijakan Pemerintah Dominan Picu Persaingan Usaha Tidak Sehat

KPPU meminta civitas persaingan usaha untuk turut meninjau regulasi, baik yang diterbitkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih. Foto: RES
Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih. Foto: RES

Kisruh minyak goreng hingga saat ini masih terus bergulir. Sejumlah pihak berupaya mengusut problematika minyak goreng di dalam negeri, mulai dari Kejaksaan Agung yang sudah menetapkan tiga orang tersangka, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang terus mencari bukti dugaan terjadinya kartel, dan berbagai kebijakan dari pemerintah untuk menstabilkan harga. Terbaru pemerintah memutuskan untuk menyetop ekspor Crude Palm Oil (CPO) untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.

Pada Februari lalu, KPPU menyampaikan bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan pihaknya, menunjukkan sinyal-sinyal terkait kesalahan kebijakan Pemerintah atau terdapat perilaku anti persaingan oleh pelaku usaha yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng.

Selain adanya dugaan pelanggaran atas UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, nyatanya KPPU juga melakukan analisis terhadap regulasi. Temuannya, terdapat beberapa regulasi yang dinilai menjadi pemicu dan berpotensi terjadinya polemik minyak goreng.

Baca:

Tiga regulasi dimaksud adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.21 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Berusaha Perkebunan yang mempengaruhi persaingan usaha di industri minyak goreng, Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No.46 Tahun 2019 tentang Pemberlakukan Standar Nasional Indonesia Minyak Goreng Sawit Secara Wajib, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan.

Persoalan regulasi di kisruh minyak goreng hanya satu contoh regulasi yang memicu persaingan usaha tidak sehat. Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih menyebut bahwa kebijakan pemerintah dominan menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Dalam proses penelitian perkara di KPPU, kata Guntur, tim investigasi turut meninjau regulasi dan faktanya kerap ditemukan regulasi yang memicu persaingan usaha tidak sehat.

“Soal kebijakan ini sering luput di persaingan usaha adalah penciptaan persaingan usaha tidak sehat dominan di regulasi, ada beberapa hal kami terlibat di regulasi dan ada potensi satu regulasi menyebabkan persaingan tidak sehat bagi pelaku usaha lain,” kata Guntur dalam sebuah webinar, Kamis (12/5).

Saat melakukan analisis kebijakan, lanjut Guntur, beberapa kebijakan tidak jelas. Bahkan KPPU menemukan draf regulasi terkait kepentingan pasar BUMN di mana BUMN tertentu dikecualikan dari pajak. Selain itu dia juga menyayangkan adanya regulasi yang tidak mengandung pasal sanksi. Salah satu contohnya adalah kebijakan kewajiban DMO sebesar 20 persen di mana tak ada sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar aturan.

“Kalau mengurusi regulasi itu ibadah lebih besar dari pada mengurus perkara. Terkait regulasi migor ada kewajiban DMO 20 persen tapi gada sanksi. Untuk yang menjalankan dan tidak menjalankan juga sama,”

Guntur mengakui jauh sebelum terjadinya kisruh minyak goreng, pada tahun 2011 KPPU sempat mengirimkan pertimbangan terhadap salah satu regulasi dari kementerian pertanian yang membatasi pelaku usaha pengelolaan sawit. Dalam kebijakan tersebut, perusahaan penghasil CPO harus perusahaan perkebunan dan menimbulkan integrasi vertikal. Kebijakan tersebut membuat persaingan di industri minyak goreng menjadi tidak sehat karena adanya integrasi vertikal.

Untuk itu Guntur meminta civitas persaingan usaha untuk turut meninjau regulasi, baik yang diterbitkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Ekonom Faisal Basri sepakat dengan KPPU.  Menurutnya terjadi degradasi persaingan usaha karena kebijakan. Untuk kasus minyak goreng misalnya. Faisal menilai kelangkaan minyak goreng salah satunya disebabkan kebijakan pemerintah yang membedakan harga penjualan CPO untuk biodiesel dan untuk minyak goreng.

“Kenapa minyak goreng langka? karena ada dua kebijakan, untuk biodiesel harganya beda, dan lebih mahal CPO luar negeri. Kalau dijual dalam negeri harga lebih rendah 30 persen daripada internasional, kecuali untuk CPO yang akan di jual ke biodiesel harganya lebih mahal. Jadi saya kurangi saja alokasi untuk minyak goreng. Sekarang CPO sebagian besar dipakai untuk biodiesel. Biang keroknya pemerintah,” ungkap Faisal pada acara yang sama.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Udin Silalahi, menambahkan bahwa KPPU harus tetap menjaga pasar terbuka untuk menjaga persaingan usaha tetap sehat. Untuk mencegah terjadinya kebijakan yang berdampak buruk terhadap persaingan usaha, dia menilai KPPU harus dilibatkan dalam penyusunan kebijakan. Kebijakan negara yang terlalu mengintervensi pasar menjadi musuh utama dalam persaingan usaha.

“Pemikiran saya ke depan adalah bagaimana caranya KPPU ini bisa ikut dalam menyusun kebijakan. Katakanlah ada kebijakan yang mendistorsi pasar, tidak mendukung persaingan, apabila satu kebijakan dikeluarkan tapi satu sisi merugikan pengusaha lain. Ini kerugian kalau pemerintah terlalu mengintervensi pasar, musuh persaingan usaha yang utama adalah negara. Jadi bagaimana KPPU bisa melakukan review terhadap kebijakan sebelum kebijakan itu dikeluarkan, dia (KPPU) memberi masukan. Tapi ini tidak gampang karena ego sektoral, ini hanya mendorong supaya stakeholder sama-sama membangun persaingan usaha yang sehat,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait