Kebijakan Pembangunan Pemerintah Dikritik
Berita

Kebijakan Pembangunan Pemerintah Dikritik

Dinilai belum melakukan pendekatan HAM dalam menggulirkan kebijakan pembangunan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Kebijakan Pembangunan Pemerintah Dikritik
Hukumonline
Koalisi organisasi masyarakat sipil -KontraS, HuMa, Walhi dan Sawit Watch--  mendukung rekomendasi yang diterbitkan Komisi HAM PBB bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) untuk Indonesia. Dalam rekomendasi yang diterbitkan 26 Mei 2014 itu PBB menilai pemerintah Indonesia belum melakukan pendekatan HAM dalam rangka menjalankan pembangunan.

Koodinator KontraS, Haris Azhar, rekomendasi PBB berkaitan dengan Kovenan Ekosob yang telah diratifikasi Indonesia lewat UU No. 11 Tahun 2005. "Jadi kewajiban hukum untuk dilaksanakan di Indonesia," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (30/5).

Komite Ekosob PBB meminta pemerintah meninjau ulang regulasi dan praktek di sektor pertambangan dan perkebunan. Pemerintah harus menjamin bantuan hukum kepada masyarakat selama konsultasi proyek-proyek ekstraktif yang mempengaruhi masyarakat dan sumber daya alam (SDA). Pemerintah juga harus memastikan perjanjian lisensi tunduk pada pemantauan HAM dan dampak lingkungan selama pelaksanaan proyek-proyek ekstraktif. Menjamin bantuan hukum untuk masyarakat, menyelidiki semua tuduhan pelanggaran perjanjian lisensi dan mencabut izin bagi yang bermasalah.

Komite Ekosob PBB meminta pemerintah terlibat dalam dialog intensif dengan para pembela HAM. Selaras hal tersebut Haris menyebut pemerintah dituntut aktif melindungi pembela HAM dari tindak kekerasan, intimidasi dan pelecehan. “Setiap tahun ada puluhan pemimpin, tokoh komunitas dan pembela HAM yang rentan mendapat tindak kekerasan,” ucapnya.

Hal paling penting dari rekomendasi Komite Ekosob PBB itu menurut Haris adalah mendesak pemerintah meninjau ulang kebijakan kepemilikan tanah. Oleh karenanya Komite mendesak pemerintah untuk mengadopsi kebijakan pertanahan yang menetapkan lembaga yang bertugas melakukan pengawasan penyelesaian sengketa tanah. Guna mendorong penyelesaian sengketa yang mempertimbangkan kenyataan bahwa sertifikat tanah tidak selalu tersedia. Menurutnya, rekomendasi itu selaras dengan usulan yang telah lama disuarakan organisasi masyarakat sipil agar dibentuk lembaga yang fokus mengurusi sengketa agraria.

Haris menyebut Komite Ekosob PBB meminta pemerintah menyelaraskan peraturan terkait penggusuran paksa dengan standar internasional, termasuk memastikan penggusuran sebagai pilihan terakhir. Itu pun harus disertai kompensasi.

Mengenai perlindungan terhadap masyarakat adat Haris mengatakan Komite meminta pemerintah mendefenisikan masyarakat hukum adat dan menentukan prinsip identifikasi diri. Termasuk kemungkinan mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat. Menjamin hak mutlak mereka untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan menggunakan tanah serta sumber daya adat mereka. Kemudian, menjamin ketersediaan informasi terkait segala keputusan yang akan mempengaruhi mereka.

Rekomendasi itu menurut Haris juga mengkritik Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sebab, kebijakan pemerintah itu membuka pintu lebar korporasi bidang perkebunan dan tambang untuk masuk ke Indonesia. Padahal, Komite mencatat dampak ekstraktif industri itu memicu terjadinya pelanggaran HAM. KontraS mencatat tahun 2012 ada 117 kekerasan terkait SDA, dan HuMa melansir ada 315 kesatuan masyarakat adat yang dirampas tanahnya. “Kalau dalam HAM, itu namanya pemusnahan kelompok adat secara perlahan lewat praktik bisnis,” urainya.

Peneliti Perkumpulan untuk Pembaharuan hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Widyanto, menilai rekomendasi Komite Ekosob PBB itu memberikan sedikit harapan dalam mendorong pemenuhan Ekosob di Indonesia. Sebab, selama ini pemerintah dinilai tidak melibatkan masyarakat dalam melaksanakan kebijakan terkait pertanahan. Misalnya, Kementerian Kehutanan tidak mengajak masyarakat untuk menentukan daerah yang masuk dalam peta kawasan hutan.

Kebijakan sepihak itu menurut pria yang disapa Wiwid itu mengakibatkan masyarakat terpinggirkan. Padahal, masyarakat adat telah memanfaatkan tanah itu turun-temurun, namun pemerintah mengklaim daerah itu masuk kawasan hutan milik negara. “Akibatnya banyak kriminalisasi dan pemiskinan sistematis,” ujarnya.

Walau melihat kelemahan dalam rekomendasi itu karena Komite Ekosob tidak mengkaji lebih dalam masalah kedaulatan pangan di Indonesia karena konversi lahan tapi Wiwid berharap rekomendasi itu dapat terlaksana. Oleh karenanya ia mengingatkan kepada masyarakat untuk mengawal rekomendasi tersebut agar terimplementasi dengan baik.

Deputi Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, mengingatkan rekomendasi Komite Ekosob hampir serupa dengan Komite HAM PBB lainnya. Seperti Komite Anti Diskriminasi dan Rasial yang menyatakan masalah yang menimpa masyarakat adat di Indonesia belum tuntas. Oleh karenanya jika pemerintah mau dipandang bermartabat dalam pergaulan internasional maka rekomendasi Komite itu harus dilaksanakan.

Selain masalah kepemilikan tanah pria yang disapa Rambo itu menilai penting untuk mencermati persoalan ketimpangan. Sebab, jika ketimpangan dimasyarakat itu tidak diatasi maka konflik di bidang pertanahan akan muncul terus-menerus. Sebagaimana rekomendasi Komite ia mendesak pemerintah segera membentuk lembaga yang khusus menangani sengketa lahan. “Komisi (lembaga) itu harus ada untuk mengerem ketimpangan kepemilikan lahan,” paparnya.

Direktur Eksekutif Walhi, Abetnego Tarigan, mengaku khawatir apakah pemerintah akan melaksanakan rekomendasi itu atau tidak. Pasalnya, selama ini pemerintah cenderung mengabaikan rekomendasi yang diterbitkan PBB. Apalagi, ia menilai tidak ada hal baru dalam rekomendasi yang dikeluarkan Komite Ekosob. Sebab, selama ini organisasi masyarakat sipil sudah mendorong pemerintah untuk melaksanakan berbagai hal seperti yang tercantum dalam rekomendasi Komite tersebut.

Abetnego juga mengkritik PBB karena dinilai lemah ketika berhadapan dengan korporasi. Tapi ketika menghadapi rezim pemerintahan tertentu PBB bisa bertindak keras. Tapi yang penting ke depan bagaimana cara agar rekomendasi Komite dapat terimplementasi dengan baik. Jika pemerintahan saat ini tidak mampu melaksanakannya masyarakat dapat mendorongnya pada periode pemerintahan selanjutnya. “Penting bagi kita bagaimana rekomendasi komite itu dijalankan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait