Kebijakan Pangan Nasional Masih Dikritik
Berita

Kebijakan Pangan Nasional Masih Dikritik

“Yang diuntungkan adalah importir. Ini permainan pelaku kartel itu.”

FNH/RFQ/FAT
Bacaan 2 Menit
Kebijakan Pangan Nasional Masih Dikritik
Hukumonline

Persoalan pangan nampaknya akan terus berlanjut. Setelah publik dipusingkan akan kelangkaan dan kenaikan daging sapi dan kedelai, kali ini giliran bawang merah dan bawang putih yang mengalami nasib serupa. Sejak sepekan, masyarakat diresahkan dengan naiknya harga komoditi pangan ini, bawang putih mencapai harga Rp70.500 per kilogram sementara bawang merah di angka Rp40.000 per kilogram.

Kondisi ini pun dikritisi oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Krisis daging sapi dan bawang merah membuktikan kebijakan pangan nasional yang amburadul. Hal ini harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah, terutama Presiden SBY untuk segera mengambil tindakan yang tepat, guna mengatasi permasalahan pangan nasional baik untuk produksi lokal maupun impor.

Deputi Gubernur Indonesia, Perry Warjiyo, juga mengakui kondisi perekonomian saat ini sangat bergantung pada tindakan cepat pemerintah. Bank Indonesia telah mencermati kenaikan harga pangan terhadap inflasi. Penyebabnya bukan pada inflasi, tetapi akibat terganggunya pasokan bahan-bahan pangan. Karena itu, regulasi pangan lebih perlu mendapat perhatian. Terutama berkaitan dengan impor.

Carut marut kebijakan pangan nasional baik impor maupun produksi lokal tak akan bisa diselesaikan tanpa  tindakan nyata pemerintah. “Perlu ada tindakan Presiden kepada Kementan, Kemendag, Kemenperin, Kemenko Perekonomian dan wajar jika Presiden kita melihat Kementerian tersebut saling lempar tanggung jawab,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog Natsir Mansyur, dalam rilis yang diterima hukumonline, Jumat (15/3).

Natsir berpendapat, carut marut kebijakan pangan ini tak lepas dari ego sektoral antar empat Kementerian yang berwenang. Sebelum krisis pangan ini terjadi, Natsir mengaku Kadin telah mengingatkan kemungkinan kondisi ini akan terjadi kepada empat Kementerian tersebut. Sayangnya, kata Natsir, tak ada yang merespon dengan tindakan nyata.

Buktinya, beberapa masalah yang selalu disampaikan oleh dunia usaha kepada pemerintah selalu terulang kembali tiap tahunnya. Contohnya saja, Indonesia selalu mengalami krisis gula, kedelai, jagung, garam, bawang, beras, danging dan sebagainya.

Permasalahan yang berulang ini, kata Natsir, adalah akibat pemerintah pusat yang masih mempertahankan sentralisasi kebijakan pangan nasional. Pihaknya juga menilai tak jarang timbulnya konspirasi diantara Kementerian-Kementerian terkait.

“Kita sering berhadapan dengan empat Kementerian itu yang berkonspirasi atau bersekongkol membuat regulasi tanpa dibicarakan dengan dunia usaha Kadin, tiba-tiba sudah ada kebijakan dikeluarkan. Begitu ribut baru Pemerintah panik,” ungkapnya.

Model kebijakan ini dinilai cenderung hanya mempertahankan kepentingan tertentu atau bahkan kepentingan kartel atau pejabat pemerintah. Pasalnya, tak jarang pejabat pemerintah juga bertindak sebagai pengusaha dan hal ini sangat disayangkan.

Agar hal ini tak lagi berulang tiap tahun, Ia meminta DPR sebagai lembaga legislatif perlu memberikan hukuman kepada setiap Kementerian yang terkait dengan mengurangi anggaran, jika tak becus mengurusi pangan. Belum lagi disparitas harga pangan yang tingi antara daerah perbatasan dan daerah lainnya belum juga terpecahkan oleh pemerintah.

Berangkat dari persoalan ini, Natsir meminta pemerintah untuk menyerahkan pengaturan kebutuhan impor pangan kepada daerah masing-masing. Pasalnya, Kementerian terkesan tak peduli atas persoalan pangan dengan saling melempar tanggung jawab.

Wakil Ketua Komisi IV DPR, Firman Soebagyo menilai pemerintah tak memiliki strategi jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Buktinya saban tahun selalu saja ada cerita kenaikan harga bahan pangan. “Pemerintah harus konsolidasi lintas sektor tentang kebutuhan bahan pokok strategis,” kata Firman.

Sebagai komoditi pangan yang menjadi pimadona ibu rumah tangga, kenaikan harga bawang yang melambung tinggi membuat para iu rumah tangga panik. Persoalannya, kata Firman, tingginya kebutuhan bawang merah tidak dibarengi ketersediaan stok yang memadai. Situasi ini lantas dimanfaatkan para importir bawang untuk mengendalikan stok bawang merah.

Kebijakan impor yang tidak jelas dari pemerintah juga menjadi pemicu dalam menciptakan carut-marut harga bawang di pasaran. Hal tersebut terbukti dengan kebjakan pemerintah yang memberikan kemudahan kepada para importir dengan membebaskan bea masuk. Alasannya, kebijakan tersebut guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Yang diuntungkan adalah importir. Ini permainan pelaku kartel itu,” ujarnya.

Sayangnya, ketika kebutuhan bawang merah dalam negeri tak mampu terpenuhi pemerintah tak mampu mencari solusi terbaik. Sebaliknya, lanjut Firman, hanya sibuk mencari alasan agar tidak disalahkan. Pemerintah berdalih keterbatasan stok bawang merah negeri terjadi karena lahan tanam bawang semakin berkurang. Selain itu pemerintah juga berdalih impor bawang lebih rasional karena ongkos distribusi dari daerah ke pusat jauh lebih mahal ketimbang impor.

Dalih keterbatasan lahan dan ongkos distribusi seharusnya bukan jadi masalah. Toh, Pemerintah punya instrumen UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian. UU ini, kata Firman, memungkinkan Pemerintah mengambil tindakan terhadap pemerintah daerah yang lalau melindungi lahan produktif. “Artinya kalau ada Pemda yang membiarkan alih fungsi lahan bisa ditindak,” ujarnya.

Berdasarkan data yang dimiliki Firman, alih fungsi lahan pangan terus meningkat tiap tahunnya. Pada 2011, misalnya, alih fungsi lahan pangan ke fungsi lain berkisar 100 ribu hektare. Sedangkan pada 2012 angka tersebut meningkat menjadi 120 ribu hektare. “Artinya ada pembiaran,” kata Firman.

Untuk itu, pemerintah diminta harus segera menerapkan aturan-aturan yang berpihak pada petani. Pemerintah juga perlu memperbaiki sistem distribusi dengan cara memberikan subsidi transportasi.

Tags:

Berita Terkait