Kebijakan Menaikkan BBM Bersubsidi Dinilai Tidak di Waktu yang Tepat
Terbaru

Kebijakan Menaikkan BBM Bersubsidi Dinilai Tidak di Waktu yang Tepat

Alih-alih melakukan pembatasan dengan menyasar pengguna solar misalnya yang selama ini dinikmati industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar tapi cara pemerintah justru mengambil langkah naikkan harga BBM subsidi. Kenaikan harga dinilai merupakan mekanisme yang paling tidak kreatif.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Pemerintah akhirnya secara resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar serta Pertamax terhitung Sabtu, (3/9). Untuk jenis Pertalite harga ecer naik menjadi Rp10.000 per liter, Solar dijual dengan harga Rp5.000 menjadi Rp6.800, sementara Pertamax naik menjadi Rp14.500 dari harga jual sebelumnya Rp12.500 per liter.

Merespons kebijakan tersebut, pengamat ekonomi INDEF Bima Yudhistira menyampaikan bahwa kenaikan harga BBM subsidi dilakukan diwaktu yang tidak tepat, terutama jenis Pertalite. Dia menilai masyarakat belum siap menghadapi kenaikan harga Pertalite menjadi 10.000 per liter.

“Dampaknya Indonesia bisa terancam stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja. BBM bukan sekedar harga energi dan spesifik biaya transportasi kendaraan pribadi yang naik, tapi juga ke hampir semua sektor terdampak. Misalnya harga pengiriman bahan pangan akan naik disaat yang bersamaan pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk,” kata Bima, Minggu (4/9).

Baca Juga:

Selain itu kenaikan BBM akan berdampak pada kenaikan bahan makanan. Sebelum BBM bersubsidi naik, inflasi bahan makanan masih tercatat tinggi pada bulan Agustus yakni 8,55% year on year, sehingga adanya kenaikan BBM akan turut menggeret kenaikan bahan makanan lebih tinggi.

Diperkirakan inflasi pangan kembali menyentuh dobel digit atau diatas 10% per tahun pada September ini. Sementara inflasi umum diperkirakan menembus di level 7-7,5% hingga akhir tahun dan memicu kenaikan suku bunga secara agresif. Konsumen ibaratnya akan jatuh tertimpa tangga berkali kali, belum sembuh pendapatan dari pandemi, kini sudah dihadapkan pada naiknya biaya hidup dan suku bunga pinjaman.

Di sisi lain, masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan sekalipun, akan mengurangi konsumsi barang lainnya.

“Karena BBM ini kebutuhan mendasar, ketika harganya naik maka pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan minuman, hingga logistik semuanya akan terdampak. Pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan, tentu risiko ambil jalan pintas dengan lakukan PHK massal. Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya biaya. Ekspansi sektor usaha bisa macet, nanti efeknya ke PMI manufaktur kontraksi kembali dibawah 50,” ujarnya.

Sementara itu bansos yang digelontorkan pemerintah hanya melindungi orang miskin dalam waktu 4 bulan. Hal tersebut dinilai tidak akan cukup dalam mengkompensasi efek kenaikan harga BBM.  

“Misalnya ada kelas menengah rentan, sebelum kenaikan harga Pertalite masih sanggup membeli di harga 7.650 per liter, sekarang harga Rp10.000 per liter mereka turun kelas jadi orang miskin. Data orang rentan miskin ini sangat mungkin tidak tercover dalam BLT BBM karena adanya penambahan orang miskin paska kebijakan BBM subsidi naik. Sehingga pemerintah perlu mempersiapkan efek berantai naiknya jumlah orang miskin baru dalam waktu dekat,” jelasnya.

Alih-alih melakukan pembatasan dengan menyasar pengguna solar misalnya yang selama ini dinikmati industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar tapi cara pemerintah justru mengambil langkah naikkan harga BBM subsidi. Bima menilai kenaikan harga merupakan mekanisme yang paling tidak kreatif!

“Tujuan utama untuk membatasi konsumsi Pertalite subsidi juga tidak akan tercapai, ketika disaat bersamaan harga Pertamax ikut naik menjadi 14.500 per liter. Akibatnya pengguna Pertamax akan tetap bergeser ke Pertalite,” pungkasnya.

Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri ESDM Arifin Tasrif mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi jenis pertalite dari Rp7.650,00 per liter menjadi Rp10 ribu/liter; solar bersubsidi dari Rp5.150,00/liter menjadi Rp6.800,00/liter; dan pertamax nonsubsidi dari Rp12.500,00/liter menjadi Rp14.500,00/liter yang berlaku sejak Sabtu, 3 September 2022, pukul 14.30 WIB.

“Ini berlaku satu jam sejak saat diumumkannya penyesuaian harga ini jadi akan berlaku pukul 14.30 WIB,” kata kata Menteri ESDM Arifin Tasrif. Menteri Arifin dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (3/9/2022) seperti dikutip dari Antara.

Pemerintah memutuskan skema mengalihkan subsidi BBM menjadi bantuan sosial, sehingga harga BBM mengalami penyesuaian. Saat ini besaran subsidi dan kompensasi energi telah mencapai Rp502,4 triliun di APBN 2022, yang terdiri dari subsidi energi Rp208,9 triliun dan kompensasi energi sebesar Rp293,5 triliun.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam keterangan persnya menyebutkan pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia. Pemerintah, kata Jokowi, telah meningkatkan hingga tiga kali lipat besaran subsidi dan kompensasi energi di APBN 2022.

Nilai subsidi BBM tersebut, kata Presiden Jokowi, juga terus meningkat. "Dan lagi lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi," kata Presiden.

Tags:

Berita Terkait