Kebijakan Ketenagakerjaan Pengaruhi Kesinambungan BPJS
Berita

Kebijakan Ketenagakerjaan Pengaruhi Kesinambungan BPJS

Upah digunakan sebagai dasar untuk menghitung iuran program BPJS.

ADY
Bacaan 2 Menit
Kebijakan Ketenagakerjaan Pengaruhi Kesinambungan BPJS
Hukumonline

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Publik, Fiskal dan Moneter sekaligus Ketua Apindo bidang Pengupahan, Hariyadi B Sukamdani, mengatakan kebijakan ketenagakerjaan pemerintah mempengaruhi kelancaran dan keberlanjutan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Semakin banyak pekerja sektor formal, potensi kepesertaan SJSN semakin akan meningkat.

SJSN mulai bergulir tahun depan lewat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Menurut Hariyadi, sistem jaminan itu bisa dibangun lebih kuat asalkan kebijakan ketenagakerjaan benar. Jika kebijakan ketenagakerjaan tidak tepat, misalnya upah yang terlalu tinggi, pengusaha akan kesulitan menjalankan sistem jaminan tersebut.

Ujungnya, Hariyadi melanjutkan, kesulitan itu akan membuat pengusaha mengurangi jumlah pekerja. Lalu, jumlah peserta BPJS ikut berkurang. Pengupahan juga berpengaruh terhadap besaran iuran BPJS yang ditanggung pengusaha. Sebab, upah menjadi basis utama penghitungan iuran BPJS. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah perlu mengubah kebijakan ketenagakerjaan dan mengikuti mekanisme yang ada demi keberlangsungan SJSN. Misalnya di bidang pengupahan, pengusaha membutuhkan mekanisme kenaikan upah minimum yang stabil dan cenderung moderat sehingga tidak memberatkan dunia usaha.

Kondisi itu menurut Hariyadi dibutuhkan agar pengusaha mampu menakar berapa biaya yang harus disiapkan untuk pekerjanya dalam rangka memenuhi kewajiban menjadi peserta BPJS. Terkait program Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan, ia memantau belum ada pembahasan yang intensif di kalangan pemangku kepentingan, khususnya di Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional (Tripnas). Namun sejumlah pihak sudah mengajukan tawaran besaran iuran. Seperti PT Jamsostek, yang tahun depan beralih menjadi BPJS Ketenagakerjaan, menghitung secara ideal iuran program JP besarannya 15 persen dari upah pekerja sebulan.

Namun dengan iuran 15 persen Hariyadi tidak yakin program JP akan berjalan baik. Pasalnya, program serupa yang diselengarakan PT Jamsostek saat ini yaitu Jaminan Hari Tua (JHT), hanya mampu menggaet 12 juta peserta untuk aktif mengiur. Padahal, iuran JHT yang diselengarakan PT Jamsostek itu 5,7 persen, lebih kecil ketimbang JP BPJS Ketenagakerjaan.

Demi kelancaran pelaksanaan BPJS dan mendorong semua peserta mengiur secara rutin, Hariyadi mengusulkan agar program JP dan JHT BPJS Ketenagakerjaan disinergiskan. Misalnya, apakah manfaat JP lebih besar dari JHT atau sebaliknya. Selain itu yang terpenting, pemerintah dituntut menerbitkan kebijakan ketenagakerjaan yang mendukung agar SJSN dapat diselenggarkan secara berkelanjutan. “Kebijakan ketenagakerjaan yang kaku dan populis tidak bisa menjaga keberlangsungan SJSN,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Rabu (13/11).

Hariyadi juga menyoroti prinsip manfaat pasti yang digelar BPJS Ketenagakerjaan. Di negara lain prinsip manfaat sudah mulai ditinggalkan dan beralih ke iuran pasti. Menurutnya, ini penting diperhatikan agar BPJS Ketenagakerjaan tidak kewalahan ketika pesertanya banyak yang mengajukan klaim pada 20-30 tahun ke depan. Jika BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa mengatasi, ada kemungkinan gejolak ekonomi terjadi. “Prinsip manfaat pasti itu akan menimbulkan kerawanan fiskal jangka panjang,” ucapnya.

Anggota Presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Timboel Siregar, mengkritik proses penyusunan aturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan tanpa melibatkan pemangku kepentingan, terutama serikat pekerja. Dalam salah satu rancangan peraturan pelaksana (RPP) itu, khususnya tentang JP, ada ketentuan yang mengatur besaran iuran jumlahnya 8 persen. Dari jumlah iuran itu 5 persen ditanggung pemberi kerja dan 3 persen pekerja.

Timboel menjelaskan dengan iuran 8 persen, pekerja hanya menerima manfaat yang besarannya hanya 21-25 persen dari upah terakhir. Oleh karenanya, besaran iuran JP BPJS Ketenagakerjaan harusnya 15 persen dari upah sebulan yang 10 persen ditanggung pemberi kerja dan sisanya pekerja. “Dengan begitu pekerja akan memperoleh upah pensiun yang layak,” paparnya.

Bagi Timboel, iuran 15 persen itu tidak memberatkan pengusaha karena beban yang ditanggung hanya 10 persen. Apalagi ongkos tenaga kerja di Indonesia tergolong rendah, sekitar 15 persen dari total biaya produksi. Jika pemberi kerja menanggung iuran 10 persen untuk JP, 3,7 persen JHT, 0,3 persen Jaminan Kematian dan 0,24-1,74 persen Jaminan Kecelakaan Kerja maka total iuran Jaminan Sosial yang dikeluarkan dalam satu bulan hanya sekitar 15 persen dari upah pekerja.

Kemudian, dengan iuran JP sebesar 10 persen yang ditanggung, maka pengusaha akan terbantu saat pekerja masuk masa pensiun. Sebab iuran JP akan dibandingkan dengan kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pensiun yang besarnya dua kali pesangon. Kalau pengusaha hanya menanggung iuran JP BPJS Ketenagakerjaan sebesar 5 persen maka total manfaat pensiun yang nanti diterima pekerja akan kurang dari perhitungan dua kali pesangon. Sehingga, pemberi kerja harus membayar kekurangan tersebut. “Pengusaha tidak diberatkan dengan mengiur JP BPJS Ketenagakerjaan 10 persen, tapi malah diuntungkan di masa depan,” urainya.

Direktur Harmonisasi Ditjen PP Kementerian Hukum dan HAM, Nasrudin, mengatakan belasan peraturan pelaksana BPJS sebagaimana diamanatkan UU SJSN dan BPJS sedang diharmonisasi. Ditargetkan pekan depan sejumlah peraturan teknis selesai diharmonisasi dan siap disahkan. Mengacu kedua UU itu, seharusnya peraturan pelaksana BPJS, terutama Kesehatan sudah selesai pada November tahun lalu dan ketenagakerjaan pada bulan ini.  “Amanat UU, semua peraturan pelaksana BPJS itu harus diselesaikan 23 November 2013,” tandas Nasrudin.

Nasrudin mengatakan pembahasan iuran dilakukan secara cermat. Sebab, program JP berlaku untuk jangka panjang dan bersinggungan dengan APBN. Oleh karenanya, Kemenkeu meminta agar pembahasan RPP tentang JP dilakukan secara cermat dan teliti. Tak ketinggalan, dalam mengharmonisasi bermacam RPP pemerintah butuh masukan dari pemangku kepentingan. “Dalam membuat peraturan itu harus transparan dan melibatkan stakeholder karena mereka yang bakal terkena aturan itu,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait