Kebijakan Kartu Pra Kerja Berisiko Tak Tepat Sasaran
Berita

Kebijakan Kartu Pra Kerja Berisiko Tak Tepat Sasaran

​​​​​​​Tidak ada basis data angkatan kerja yang kuat menjadi persoalan program Kartu Pra Kerja. Berisiko tidak tepat sasaran hingga moral hazard.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Jokowi menunjukkan kartu pra kerja saat debat Pilpres 2019 lalu. Foto: RES
Jokowi menunjukkan kartu pra kerja saat debat Pilpres 2019 lalu. Foto: RES

Salah satu perbedaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 dibandingkan periode lalu yaitu munculnya pengalokasian dana untuk program Kartu Pra Kerja. APBN mengalokasikan anggaran mencapai Rp10 triliun untuk diberikan kepada 2 juta penerima manfaat. Program ini dianggap sebagai salah satu cara peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

 

Sayangnya, program kartu pra kerja tersebut dianggap masih belum jelas sehingga berisiko tidak tepat sasaran. Hingga saat ini, pemerintah belum menentukan kriteria masyarakat yang berhak menerima manfaat tersebut. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad dalam diskusi "RAPBN 2020: Solusi atas Perlambatan Ekonomi?" di Jakarta, Senin (19/8).

 

Dia menjelaskan, ketersediaan data menjadi permasalahan dalam penggunaan anggaran karena pemerintah belum memiliki basis data pekerja nasional. “Kartu Pra Kerja ini siapa yang berhak menerima? Persoalannya pertama, tiada ada basis data yang kuat. Kalau masyarakat miskin bisa di TNP2K (Tim Nasional Penanggulangan Percepatan Kemisikinan). Sehingga, kalau dananya diberikan kepada masyarakat secara tidak adil maka akan timbul kecemburuan dan moral hazard,” jelas Tauhid.

 

Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dihasilkan Subdirektorat Statistik Ketenagakerjaan Badan Pusat Statistik (BPS) juga dinilai tidak mencakup keseluruhan angkatan kerja di Indonesia. “Data Sakernas statistik ketenagakerjaan ini hanya sample. Implementasi Kartu Pra Kerja ini sangat terbatas. Harus dibereskan persoalan data ini,” tambah Tauhid.

 

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, belanja negara berbentuk program pra kerja tersebut akan digunakan untuk memperbaiki kualitas SDM dan melanjutkan program perlindungan sosial untuk menjawab tantangan demografi. “Untuk meningkatkan akses keterampilan bagi anak-anak muda, para pencari kerja, dan mereka yang mau berganti pekerjaan, Pemerintah pada tahun 2020 akan menginisiasi program kartu Pra Kerja,” katanya saat menyampaikan Pengantar RAPBN Tahun Anggaran 2020 Beserta Nota Keuangannya Jumat (16/8) pekan lalu.

 

Dalam Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2020 disebutkan, kehadiran Kartu Pra Kerja selain dilatarbelakangi oleh adanya keluhan dari para pencari kerja yang mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan, juga dikarenakan kompetensi yang didapat dari lembaga pendidikan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.

 

Kartu Pra Kerja pada dianggap dapat menghilangkan kesenjangan antara kompetensi SDM dan kebutuhan dunia kerja. Selain itu, kebijakan pemberian Kartu Pra Kerja juga akan diarahkan untuk mendorong peningkatan keterampilan yang dibutuhkan saat ini dan masa mendatang terutama dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 dan teknologi digital.

 

Melalui program Kartu Pra Kerja diharapkan kompetensi, baik para pencari kerja baru, pencari kerja yang alih profesi, atau korban PHK dapat mengisi kebutuhan dunia kerja, sehingga masalah pengangguran di Indonesia dapat diatasi.

 

Baca:

 

Menurut buku tersebut, Kartu Pra Kerja tahun 2020 akan diberikan kepada dua juta penerima manfaat. Adapun mekanisme penyaluran Kartu Pra Kerja akan dilaksanakan dalam dua bentuk, pertama: Kartu Pra Kerja akses Reguler, dengan target sasaran sebanyak 500 ribu orang.

 

“Akses ini merupakan lanjutan dan perluasan kegiatan yang sudah berjalan, yaitu pemberian pelatihan dan sertifikasi kompetensi kerja kepada pencari kerja melalui LPK Pemerintah termasuk BLK, LPK Swasta, dan Training Center Industri, dimana pelatihan dilakukan melalui tatap muka. Sasaran dari skema ini adalah pencari kerja baru (skilling) dan pencari kerja yang alih profesi atau korban PHK (re-skilling),” bunyi buku tersebut.

 

Kedua, Kartu Pra Kerja akses Digital dengan target sasaran 1,5 juta orang utamanya untuk kelompok usia muda (skilling dan re-skilling). Ditegaskan dalam buku ini, untuk mendukung pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun, penduduk usia 15-18 tahun tidak termasuk dalam target.

 

Melalui mekanisme ini, penerima manfaat dapat memilih jenis, tempat, dan waktu pelatihan melalui platform digital seperti: GoJek, Tokopedia, dan lainnya. “Pelatihan dapat dilaksanakan secara online maupun tatap muka. Penyedia pelatihan merupakan lembaga pelatihan sesuai kriteria yang telah ditentukan oleh pemerintah,” tegas buku tersebut. Untuk menjalankan program tersebut pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp8 triliun–Rp10 triliun.

 

Sementara agar dapat memberikan efek sosial ekonomi yang maksimal, menurut buku ini, pelaksanaan Program Kartu Pra Kerja didesain dengan mempertimbangkan berbagai aspek dengan tetap memperhatikan prinsip efektivitas dan efisiensi anggaran. Menurut pemerintah, program ini akan melibatkan berbagai pihak seperti Kementerian/Lembaga (K/L), lembaga pelatihan negeri maupun swasta, perusahaan pencari tenaga kerja, platform digital, dan juga penerima manfaat itu sendiri.

 

Di samping itu, dalam rangka menghadapi perubahan struktur ekonomi menuju revolusi Industri 4.0, implementasi program Kartu Pra Kerja perlu dikembangkan dan didesain secara digital untuk melengkapi format yang selama ini sudah dijalankan. Oleh karena itu, untuk menjalankan program ini, diperlukan satu lembaga pengelola atau Project Management Office (PMO) yang akan menangani implementasi program Kartu Pra Kerja baik akses regular maupun digital.

Tags:

Berita Terkait