Kebijakan Ekspor Bijih Mineral Kemungkinan Ditunda
Berita

Kebijakan Ekspor Bijih Mineral Kemungkinan Ditunda

UU harus ditaati, tapi kepentingan nasional tetap diutamakan.

KAR
Bacaan 2 Menit
Kebijakan Ekspor Bijih Mineral Kemungkinan Ditunda
Hukumonline
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan jadi atau tidaknya larangan ekspor mineral masih dibahas hingga tahun 2014 mendatang. Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan, pelarangan ekspor mineral mentah yang sedianya berlaku pada 2014 ada kemungkinan ditunda. Jero mengungkapkan, pemerintah masih mungkin berubah sikap terkait kebijakan itu.

"Undang-undang harus ditaati, tapi kepentingan nasional juga harus diutamakan,” kata Wacik di Gedung DPR, Jakarta, Senin (16/12).

Dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, ekspor mineral mentah seharusnya dihentikan mulai 12 Januari 2014. Perusahaan tambang harus mengolah bijih mineral tersebut di pabrik pemurnian (smelter) sebelum mengekspornya. Namun, pengusaha bersikeras menolak larangan tersebut.

“Defisit neraca perdagangan yang semakin lebar dan belum siapnya pembangunan smelter kemungkinan membuat pemerintah berubah sikap. Besok kami akan membahasnya bersama Menteri Koordinator Perekonomian," tambahnya.

Di sisi lain, Komisi VII DPR menegaskan tidak akan melakukan revisi terhadap UU Minerba. Bahkan DPR menilai, UU Minerba sudah tidak perlu dibahas lagi. Anggota Komisi VII DPR, Bobby Rizaldi, mengatakan DPR akan konsisten untuk meningkatkan nilai ekspor untuk pemasukan dalam negeri.

"Kita tetap konsisten jalankan UU tersebut, UU Minerba tidak ada revisi, tidak ada amandemen dan tidak ada pelonggaran," Kata Bobby Rizaldi.

Bobby menambahkan, saat ini sudah bukan saatnya membahas UU Minerba melainkan melaksanakannya. Ia mengatakan, pihaknya sudah selesai melaksanakan tugas terkait dengan perumusan kebijakan mengenai larangan ekspor mineral mentah. Menurut Bobby, selanjutnya Komisi VII DPR tinggal memantau implementasi di lapangan terkait UU tersebut.

"Kita dari Komisi VII sudah final, sudah selesai," tandasnya.

Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), Poltak Sitanggang, menjelaskan bahwa para pengusaha mineral mendukung kebijakan pemerintah dengan penerapan hilirisasi di sektor pertambangan. Akan tetapi, kebijakan diundangkan tersebut seharusnya dibarengi dengan ketersediaan infrastruktur penunjang dalam membangun smelter. Dia mengingatkan, pihaknya belum bisa disamai dengan perusahaan kontrak karya yang sudah puluhan tahun berkembang.

“Kami ini masih baru 7-8 tahun memulai usaha pertambangan mineral, tidak bisa disamakan dengan perusahaan Kontrak Karya yang sudah 40 tahun menambang di Indonesia. Penyetopan ekspor akan menyebabkan beberapa smelter yang sedang dibangun terhenti karena tidak ada arus kas masuk untuk mendanai, sedangkan sulit mendapatkan pinjaman dari bank untuk proyek smelter,” kata Poltak. 

Poltak menambahkan, kebijakan pelarangan eksporini akan mengakibatkan sekitar 500 perusahaan tambang tutup. Menurut perhitungannya, kerugian investasi yang terjadi akibat penutupan massal itu bisa mencapai AS$40 milyar. Kerugian lainnya, sekitar tiga juta keluarga kehilangan pekerjaan, terhentinya program CSR, serta penurunan Pendapatan Asli Daerah beberapa provinsi.

Poltak juga merinci defisit perdagangan yang akan bertambah buruk pasca-penerapan larangan ekspor. Ia menyebutkan, selama empat triwulan 2012 sampai triwulan III tahun 2013, defisit perdagangan mencapai AS$9,7 miliar. Nilai tersebut setara dengan sekitar 1% pendapatan kotor negara.

Menurut poltak, pelarangan ekspor mineral akan mengurangi nilai ekspor Indonesia hingga AS$5 miliar tiap tahunnya. Dengan demikian, defisit perdagangan akan meningkat satu setengah kali lipat hingga hampir AS$15 miliar.

“Apemindo berharap lembaga legislatif dan eksekutif dapat mengkaji lebih dalam peraturan ini untuk memberikan jalan keluar bagi pengusaha tambang nasional,” tutur Poltak.

Tags:

Berita Terkait