Kebijakan Bank Dunia Ancam Kedaulatan Pangan Nasional
Utama

Kebijakan Bank Dunia Ancam Kedaulatan Pangan Nasional

Penguasaan sektor pangan oleh korporasi besar membuat harga pangan melonjak.

Ady
Bacaan 2 Menit
Kebijakan Bank Dunia ancam kedaulatan pangan nasional. Foto: Sgp
Kebijakan Bank Dunia ancam kedaulatan pangan nasional. Foto: Sgp

Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mengkritik kebijakan Bank Dunia yang dinilai mengancam kedaulatan pangan nasional. Menurut koordintor program Koalisi Anti Utang (KAU), Yuyun Harmono, penguasaan sektor pangan oleh korporasi besar menimbulkan monopoli harga pangan. Akibatnya, harga pangan meningkat.

Bagi Yuyun, hal itu terkait dengan kebijakan Bank Dunia yang mendorong penggiatan investasi di sektor pangan. Kebijakan itu mengarahkan pada pengendalian pangan oleh korporasi besar. Secara umum arah kebijakan itu dapat dilihat dalam pertemuan antara Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) yang berlangsung pada 9–14 Oktober 2012.

Yuyun menilai kebijakan itu adalah dampak dari krisis keuangan di negara maju seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa. Di tengah kondisi spekulasi pasar keuangan yang hancur akibat krisis itu, korporasi beralih bisnis ke sektor pangan. Hal itu dipicu juga oleh meningkatnya harga pangan di dunia. Yuyun mencatat dari tahun 2002-2008 harga pangan dunia meningkat 85 persen.

Alih-alih mencegah agar harga pangan tidak semakin mahal akibat spekulasi, Bank Dunia malah bersikap sebaliknya. Yuyun menilai rekomendasi yang diterbitkan Bank Dunia mendorong investasi besar-besaran di sektor pangan. Alhasil, terjadi aksi borong tanah dan mendorong terjadinya perampasan tanah. Dari data yang diperoleh, jumlah tanah yang dirampas secara internasional mencapai 203 juta hektar lahan.

Searah dengan kebijakan itu, Bank Dunia menggandeng korporasi multinasional, JP Morgan untuk menerbitkan instrumen pendanaan baru yang dikhususkan bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Instrumen itu ditujukan untuk lindung nilai (hedging) komoditas pertanian. Kedua lembaga itu menurut Yuyun menyiapkan dana sebesar AS$ 400. Dana itu akan disalurkan ke negara berkembang lewat lembaga di bawah naungan Bank Dunia, International Finance Corporation (IFC) dan JP Morgan.

Yuyun menilai instrumen itu merugikan petani, khususnya yang memiliki lahan kecil. Pasalnya, instrumen itu memberi keuntungan lebih kepada para lembaga penyedia dana lindung nilai ketimbang petani. Karena, ketika sebuah lahan pertanian yang dikelola petani menerapkan instrumen itu, maka ketika hasil panen bagus, maka keuntungan diperoleh petani dan lembaga lindung nilai yang bersangkutan.

Tapi, ketika mengalami gagal panen, maka seluruh kerugian ditanggung petani. Bagi Yuyun mekanisme lindung nilai itu bentuk dari spekulasi. "Kalau di Indonesia itu mirip sistem ijon," kata dia kepada wartawan dalam jumpa pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Jumat (11/10).

Melihat pengalaman di negara maju yang dilanda krisis keuangan akibat mekanisme lindung nilai itu, bagi Yuyun mekanisme tersebut tidak akan tepat digunakan di negara berkembang termasuk Indonesia. Jika meknisme itu tetap digunakan, maka Indonesia akan mengalami krisis yang sama seperti dialami negara maju.

Atas dasar itu Yuyun berharap agar pemerintah tidak mendengarkan arahan dari Bank Dunia. Menurutnya yang harus diatur adalah memperketat regulasi yang ada agar spekulasi terhadap pangan itu tidak terjadi. Pasalnya, spekulasi itu mengakibatkan harga pangan menjadi tinggi. Dari pantauannya, Yuyun menyebut banyak organisasi masyarakat sipil di dunia yang mengkritik rekomendasi Bank Dunia itu agar dimoratorium. Sayangnya, Bank Dunia menolaknya. Bagi Yuyun hal tersebut menunjukan bahwa Bank Dunia hanya mengakomodir kepentingan negara maju dan korporasi.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI), Ahmad Yakub, menyebut berbagai korporasi sektor keuangan yang bangkrut akibat krisis keuangan 2007 - 2008 mengalihkan bisnisnya ke sektor pangan. Yakub menyebut karakter petani Indonesia adalah keluarga tani, yang mengelola lahan kecil dan cenderung melakukan kerjanya secara berkelompok.

Yakub berpendapat ketika investasi di sektor pangan itu didorong, maka produk pangan akan dikuasai korporasi. Akibatnya, posisi petani tergeser dan para petani akan beralih menjadi buruh tani. Menurut Yakub hal itu sudah terjadi di Indonesia ketika investasi di sektor perkebunan kelapa sawit, gencar.

Selain itu, Yakub melanjutkan, jika produk pangan pokok masyarakat dikuasai oleh korporasi, maka harga pangan berpotensi besar melonjak tinggi. Contohnya, pada tahun 2008 rata-rata harga beras internasional mencapai Rp 10 ribu/kg, namun di Indonesia harganya hanya Rp 8 ribu/kg. Melihat tingginya harga beras di tingkat internasional maka korporsi lebih mengutamakan menjual produknya ke luar negeri ketimbang di Indonesia.

Akhirnya, ketersediaaan pangan untuk rakyat terancam, harganya pun berpotensi besar melonjak. Dari pantauannya, Yakub menilai hal serupa pernah terjdi di sektor crude palm oil (CPO). "Pasti korporasi itu akan penuhi permintaan internasional karena harganya lebih tinggi," ujarnya.

Yakub menduga penguasaan oleh korporasi itu bukan hanya di sektor lahan pertanian, tapi juga sumber air. Pasalnya, untuk memproduksi produk pangan, seperti padi, dibutuhkan pasokan air yang cukup. Mengacu peraturan yang ada, seperti UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Yakub mengatakan petani punya kesempatan untuk mengakses sumber air. Ironisnya, dalam praktik penguasaan atas sumber air dikuasai oleh korporasi.

Bagi Yakub, negara wajib memberi pelayanan dan perlindungn terhadap rakyatnya. Menurutnya, hal itu termaktub dan dilindungi dalam konstitusi. Jika negara tidak memenuhi kewajiban itu, khususnya di bidang pemenuhan pangan, maka pemerintah selaku penyelenggara negara, telah melanggar konstitusi.

Sementara Direktur Program IHCS, Dhona El Furqon, mengatakan jika terjadi kelaparan seperti yang kerap terjadi di wilayah timur Indonesia, negara harus bertanggung jawab. Menurutnya, negara wajib menjamin pemenuhan hak rakyat atas pangan. Mengingat terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang dinilai mengancam kedaulatan pangan, Dhona menyebut IHCS dalam proses mengajukan judicial review. Misalnya terhadap UU No.2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dan UU Sistem Budidaya Tanaman.

Terkait UU Pengadaan Tanah, Dhona mengatakan istilah kepentingan umum dalam UU tersebut bias. Sehingga berpotensi besar untuk mengambil alih tanah rakyat, khususnya tanah petani atas nama kepentingan umum. Proses judicial review itu menurut Dhona tinggal menunggu putusan. Selain itu, sejumlah pasal lainnya yang dinilai merugikan rakyat juga ikut di-judicial review. "Pasal yang melegalkan perampasan tanah," tuturnya.

Untuk UU Sistem Budidya Tanaman, Dhona menyebut regulasi itu mengebiri hak petani untuk melakukan proses pemuliaan tanaman. Menurutnya, petani berhak atas proses itu karena petani adalah pihak utama yang menjalankan proses bercocok tanam untuk menghasilkan produk pangan. Namun, saat ini petani dibatasi secara ketat untuk melkukan proses tersebut. Bahkan, ketika petani melanggar aturan yang ditentukan dalam peraturan itu, maka petani dapat dikriminalisasi. Alhasil, alih-alih melindungi petani, UU tersebut malah melindungi korporasi yang memproduksi benih dan kebutuhan pertanian lainnya.

Tags: