​​​​​​​Kebijakan Antikorupsi dari Penguasa Militer
Senjakala Lembaga Antikorupsi di Indonesia

​​​​​​​Kebijakan Antikorupsi dari Penguasa Militer

​​​​​​​Status Staat van Oorlog en Beleg membuka pintu bagi militer untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi. Istilah korupsi pertama kali muncul dalam makna yuridis.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Diskursus tentang RUU Perampasan Aset atau pembalikan beban pembuktian yang marak beberapa tahun belakangan sebenarnya bukan sesuatu yang baru. RUU Antikorupsi yang digagas sejak era Boerhanuddin Harahap punya semangat yang sama. Seorang pejabat negara harus membuktikan asal usul harta kekayaannya. Semangat itupula yang tertuang dalam kebijakan pimpinan militer pasca Pemilu 1955.

 

Kabinet Ali Sastroamidjojo II menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno pada 14 Maret 1957. Perpecahan antar partai politik semakin sengit sehingga mengganggu jalannya pemerintahan. Dalam hitungan jam setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar, Presiden Soekarno menetapkan negara dalam keadaan perang dan darurat. Keadaan ini lazim disebut SOB, singkatan dari Staat van Oorlog en Beleg. Presiden Soekarno menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1957 tentang Pengubahan Peraturan Pemerintah tentang Penunjukan Penguasa-Penguasa Militer.

 

(Baca juga: Staatsnoodrecht dalam Pandangan Tiga Tokoh Hukum)

 

Demokrasi parlementer berakhir, dan sebaliknya membuka ruang masuknya militer (khususnya Angkatan Darat) ke panggung politik, dan memasuki persoalan-persoalan sipil. Persoalan korupsi menjadi salah satu yang mendapat perhatian kalangan militer. Kepala Staf Angkatan Darat, AH Nasution, mengambil peran dalam pemberantasan korupsi. Langkah pemberantasan korupsi itu merupakan hasil rapat pimpinan Angkatan Darat, Maret 1957. Tentara diberi kewenangan antara lain menyita aset tersangka tetapi terbatas pada tindak pidana korupsi.

 

Nasution menerbitkan Peraturan Penguasa Darurat Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Denny Indrayana mencatat dalam bukunya ‘Jangan Bunuh KPK: Kajian Hukum Tata Negara Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi’ (2016), inilah pertama kalinya lema ‘korupsi’ muncul sebagai istilah yuridis. Istilah ini kemudian terus dipakai dalam perundang-undangan hingga sekarang.

 

Beleid Nasution tadi disusul pula Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/08/1957 tentang Penilikan Harta Benda; dan Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Barang-Barang. Kedua peraturan ini dimaksudkan untuk membuat upaya pemberantasan korupsi lebih efektif.

 

Selain membuat regulasi, penguasa militer membentuk lembaga yang disebut Badan Koordinasi Penilik Harta Benda (BKPHB). Badan ini dibentuk melalui Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. PRT/Perpu 013/1958 tertanggal 16 April 1958. Ada beberapa bagian dari Peraturan Pemberantasan Korupsi melalui BKPHB.

 

Pertama, BKPHB dibentuk di setiap wilayah Pengadilan Tinggi. Badan Koordinasi di tiap provinsi itu dipimpin Kepala Kejaksaan setempat. Pejabat ini berwenang menilik harta benda setiap orang dan badan untuk memeriksa apakah ada petunjuk harta itu diperoleh dari hasil korupsi. Kedua, BKPHB berwenang menyita harta benda yang meliputi: (i) harta benda seseorang atau suatu badan  yang dengan sengaja tidak diterangkan oleh pemilik atau pengurus badan; dan (ii) harta benda seseorang yang setelah penyelidikan ternyata tidak seimbang dengan penghasilan mata pencahariannya.

 

Ketiga, Pengadilan Tinggi diberi wewenang untuk memeriksa harta benda seseorang. Ini adalah upaya untuk mengembalikan kerugian negara melalui jalur perdata. Caranya ada dua: Badan Penilik Harta Benda berhak menilik harta seseorang atau badan jika menduga harta itu diperoleh dari hasil korupsi; dan badan Penilik Harta Benda dapat menyita dan merampas harta benda seseorang  yang kekayaannya berdasarkan penyelidikan Badan, tidak seimbang dengan penghasilannya.

 

Beberapa Peraturan Antikorupsi yang Diterbitkan Militer Indonesia (1957-1958)

  • Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi
  • Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM-08/1957 tentang Penilikan Harta Benda.
  • Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM-011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Benda yang Asal Mulanya Diperoleh dengan Perbuatan yang Melawan Hukum.
  • Peraturan Penguasa Militer No. PRT/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Korupsi dan Penilikan Harta Benda.

 

Bapekan

Untuk mencegah korupsi di lingkungan birokrasi, Nasution mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk suatu badan yang bertugas mengawasi kinerja aparatur negara. Presiden setuju usul Nasution dan pada 28 September 1958 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1959 tentang Pelaksanaan Tugas Badan Pengawasan Kegiatan Aparatur Negara, disingkat Bapekan.

 

Selain itu diterbitkan Perpres No. 1 Tahun 1959, Keputusan Presiden No. 230 Tahun 1959 tentang Sekretariat Bapekan. Nama-nama tokoh nasional seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, Letkol Soedirgo, dan Selo Soemardjan ada di lembaga ini. Selo Soemardjan yang kemudian dikenal sebagai sosiolog adalah Sekretaris Bapekan. Keputusan Presiden No. 178 Tahun 1959  menempatkan Ketua Bapekan berkedudukan setingkat menteri.

 

Bapekan bertugas menerima pengaduan masyarakat atas penyimpangan yang dilakukan aparatur negara. Nasution menjelaskan dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama (1989) Bapekan juga bertugas mengawasi, meneliti, dan mengajukan pertimbangan kepada Presiden mengenai kegiatan aparatur negara. Termasuk pula menerima dan menyelesaikan pengaduan atas penyimpangan yang dilakukan aparatur negara.

 

Pembentukan Badan ini mendapat respons positif dari masyarakat. Buktinya, banyak laporan yang masuk ke Tromol Pos 8. Baru setahun berdiri, Bapekan sudah menerima tak kurang dari 912 berkas pengaduan. Beberapa kasus yang dilaporkan adalah kekayaan aparatur negara yang tidak wajar, penyimpangan di instansi militer, dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang gubernur di Kalimantan. Termasuk juga pencurian uang Rp40 juta dari kantor Bea Cukai Jakarta sepanjang 1950-1960, dan pencurian uang koperasi di Bank Aparatur Negara di Karo.

 

Usia Bapekan hanya sampai 1962. Presiden Soekarno membubarkan Bapekan melalui Peraturan Presiden No. 3 Tahun 1962. Sebelumnya Presiden memberhentikan dengan hormat Ketua Bapekan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan pengurus lain Samadikoen dan Semaun. Saat dibubarkan, usia Bapekan belum genap tiga tahun. Salah satu yang membuat Bapekan dibubarkan adalah ketika badan ini ingin ‘menyelidiki’ dugaan korupsi dalam proyek pembangunan fasilitas olahraga menjelang Asian Games 1962.

 

Baca:

 

Paran I

Pembubaran Bapekan tak lepas dari gesekan antar lembaga yang fungsinya beririsan. Ketika Bapekan baru berusia setahun, Presiden Soekarno –melalui Kepres No. 10 Tahun 1960—membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Paran dipimpin oleh AH Nasution dibantu dua anggota: M. Yamin dan Roeslan Abdulgani.

 

Dituliskan Vishnu Juwono dalam bukunya, Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014, Soekarno menghendaki agar Paran fokus pada indoktrinasi gegap gempita revolusioner, sedangkan Nasution  ingin fokus pada  reformasi tata kelola pemerintahan terutama reorganisasi, manajemen personel, dan pemberantasan korupsi.

 

Paran berada di balik lahirnya Perpres No. 5 Tahun 1962 tentang Peraturan Tata Tertib Aparatur Pemerintah Negara Tingkat Tinggi. Paran juga mewajibkan para pejabat negara mengisi formulir berisi data kekayaan.

 

Irisan tugas dengan Bapekan membuat gesekan antara kedua lembaga. Presiden Soekarno memilih membubarkan Bapekan pada 1962. Tetapi Paran I juga tak berusia panjang. Sebagian pejabat negara menolak mengisi formulir daftar kekayaan. Mereka beralasan para pejabat tinggi negara bertanggung jawab langsung ke Presiden. Kalaupun formulir diisi, tak selayaknya diserahkan ke Paran, melainkan kepada Presiden.

 

Gesekan kelembagaan tak terhindarkan ketika Paran secara terbuka menyebut ingin meretooling Bapekan. Lagipula, Paran akhirnya lebih fokus pada indoktrinasi, dan Presiden lebih memberikan kepercayaan kepada Roeslan Abdulgani sebagai juru bicara. Beberapa usulan Nasution ditolak kabinet. Secara personal, Nasution juga diserang oleh kelompok PKI dengan menyebarkan tuduhan bahwa Nasution ingin menyaingi Presiden Soekarno. Lambat laun posisi dan kewenangan Nasution mulai dipreteli.

 

Salah satu payung hukum yang dihasilkan pada era ini adalah Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

 

Paran II/Operasi Budhi

Meskipun dilucuti, Nasution masih bersemangat untuk melakukan pemberantasan korupsi, melalui operasi militer yang bernama Operasi Budhi. Selain merujuk pada UU No. 24 Prp Tahun 1960, payung hukum Operasi Budhi dalah Keputusan Presiden No. 277 Tahun 1963 tentang Gugus Tugas Operasi Budhi. Sebelumnya, operasi Budhi hanya diatur melalui SK Wakil Menteri Pertama Bidang Hankam. Misi operasi ini adalah mencegah dan menindak pelaku korupsi di perusahaan neegara dan lembaga pemerintah. Untuk mendukung tugas-tugas operasional, Nasution membentuk komite ahli. Komite ini menyusun daftar pertanyaan untuk dijawab para direksi perusahaan negara, menanyakan kinerja keuangan perusahaan, dan mewajibkan para direksi melaporkan kekayaan.

 

Dibantu Prof. Wirjono Prodjodikoro, Nasution dibebani tugas untuk membawa kasus-kasus korupsi ke pengadilan. Nasution menyebutkan Operasi Budhi berhasil menyelamatkan 11 miliar rupiah uang negara, suatu jumlah yang sangat besar untuk ukuran saat itu. Temuan Operasi Budhi dikategorikan menjadi temuan pidana dan temuan administratif. Temuan pidana akan disampaikan ke aparat penegak hukum, sedangkan temuan administratif ditindaklanjuti dengan memberikan bukti dan saran kepada pemerintahy untuk membenahinya. Tercatat ada sekitar 49 perusahaan yang diselidiki lewat Operasi Budhi.

 

Kelompok PKI berusaha meyakinkan Presiden Soekarno untuk membubarkan Operasi Budhi. Ditambahkan lahir friksi di Angkatan Darat, salah satu berkaitan dengan kekhawatiran operasi Budhi akan sampai ke para petinggi militer. Akhirnya, Paran generasi kedua ini resmi dibubarkan melalui Keppres No. 117 Tahun 1965 tentang Pembubaran Panitia Retooling Aparatur Negara.

 

Kontrar

Melalui Keppres No. 98 Tahun 1964, Presiden Soekarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi (Kontrar). Dilihat dari waktu pembentukannya, Kontrar sudah dibentuk sebelum Paran II resmi dibubarkan pada Mei 1964. Lembaga baru ini juga berperan sebagai lembaga antikorupsi meskipun tidak ada disebutkan dalam pembentukannya. Tetapi jika dibaca secara saksama dalam Keppres pembubaran Paran II, maka dapat diketahui semua tugas-tugas Paran II yang belum selesai ditangani oleh Kontrar. Dengan kata lain, Kontrar juga bertugas memberantas korupsi.

 

Menariknya, Presiden Soekarno menunjuk dirinya sendiri sebagai Ketua Kontrar. Ia dibantu oleh Soebandrio, Ahmad Yani, dan Wiriadinata. Langkah ini sejalan dengan pandangan bahwa Paran telah melewati prestise tugas-tugas presiden. Denny Indrayana berpendapat bahwa penjabaran tugas yang tidak jelas, turut andil pada mandulnya Kontrar dalam tugas pemberantasan korupsi. Komando ini lebih digunakan untuk menyingkirkan pejabat yang tidak sejalan dengan pemerintahan revolusioner.

Tags:

Berita Terkait