Keberhasilan Praperadilan Tipis, Pengacara Pilih Gugatan
Berita

Keberhasilan Praperadilan Tipis, Pengacara Pilih Gugatan

Tidak cukup bukti, polisi terbitkan SP3 kasus dugaan malpraktik dokter.

Rfq
Bacaan 2 Menit
Keberhasilan Praperadilan Tipis, Pengacara Pilih Gugatan
Hukumonline

Praperadilan terhadap polisi sangat jarang dimenangkan pemohon. Tipisnya harapan untuk menang membuat pihak yang merasa dirugikan lebih memilih melayangkan gugatan perdata terhadap lawan ketimbang mempersoalkan keputusan kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Langkah itulah yang coba disiapkan Mochammad Sentot. Pengacara keluarga Budi Katjana–Linda Kurniati ini lebih menyarankan kepada kliennya untuk menggugat perdata rumah sakit dan dokter daripada mempraperadilankan polisi. “Kalau praperadilan, untuk ke sana tipis. Kami  akan gugat perdata dan (gugatannya) masih kami susun,” kata Sentot kepada hukumonline.

Sentot menjadi kuasa hukum Budi dan Linda dalam kasus dugaan malpraktik terhadap Maureen Angela Gouw. Kasus ini ditangani Polres Tangerang Kota sejak 7 Februari 2011. Harapan Budi dan Linda bisa membuktikan dugaan mereka lewat jalur hukum terbuka setelah polisi menetapkan Robert Soetandio, dokter yang menangani Maureen di RS Global Medika –berubah nama menjadi RS Awal Bros--, ditetapkan sebagai tersangka.

Semula polisi akan menggunakan Pasal 79 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran  dan Pasal 360 KUHP untuk menjerat tersangka. Sang dokter diduga melakukan tindakan medis yang menyebabkan punggung telapak kanan pasien mengalami luka berat yaitu cacat permanen.

Tetapi harapan itu sirna setelah 12 Maret lalu, polisi menghentikan penyidikan kasus  itu dengan dalih ‘tidak terdapat cukup bukti’. Dalam surat perintah kepada penyidik disebutkan ‘tindakan dilakukan untuk penyelamatan nyawa pasien’.

Berdasarkan salinan yang diperoleh hukumonline, SP3 kasus ini langsung diteken Kapolres Tangerang Kota, Kombes (Pol) Wahyu Widada. Pada hari yang sama ia melayangkan surat kepada dua orang penyidik untuk tidak melanjutkan pemeriksaan. Masih pada hari yang sama, dengan nomor surat berbeda, Kapolres memberitahuan penghentian penyidikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang.

Keputusan polisi inilah yang disayangkan Sentot. Ia menilai keputusan polisi masih terlalu prematur, dan tidak cukup alasan untuk menghentikan proses penyidikan. Ia menduga polisi hanya berpatokan pada keterangan saksi meringankan. Seharusnya, kata Sentot, polisi bisa mencari saksi dan ahli yang bisa membuat terang perkara.

“Keterangan dokter jaga dan spesialis bedah yang serupa kepada orang tua Maureen mengenai sebab pembengkakan pada telapak dan jari tangan Maureen tidak diinvestigasi jauh oleh penyidik,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada
hukumonline.

Sentot mempersoalkan ketidakjelasan tentang bukti apa yang tidak mencukupi seperti tertera dalam SP3. Pasal 109 ayat (2) KUHAP seharusnya menjadi pegangan polisi untuk menerbitkan SP3 ini agar syarat formil terpenuhi. Ia tetap yakin dokter melakukan kelalaian sehingga pasien menderita. Kelalaian itu tampak pada kesalahan pemberian cairan infus kepada anak di bawah umur.

Ikatan Dokter Anak Indonesia, kata Sentot, juga memberikan pandangan bahwa pelepuhan pada kulit Maureen karena kelebihan cairan bicnat sehingga merembes ke pembuluh dana vena. Mengutip American Journal of Pediatrics, pemberian infus bicnat pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun adalah sebesar 4,2% dengan dosis tidak lebih dari 8 mEq/kg hari.

Tindakan inilah yang dinilai keluarga pasien sebagai ‘kesalahan’ pihak rumah sakit. Menurut Sentot, pihaknya akan melayangkan gugatan perdata, ketimbang ‘menggugat’ polisi lewat praperadilan.

Tags: