Kebebasan Beragama di Era Jokowi Belum Terjamin
Berita

Kebebasan Beragama di Era Jokowi Belum Terjamin

Negara kadang masih absen dalam aksi kekerasan atas nama agama.

FNH
Bacaan 2 Menit
Kebebasan Beragama di Era Jokowi Belum Terjamin
Hukumonline
Satu tahun sudah Presiden Joko Widodo menjadi  pemimpin Republik Indonesia. Sejak dilantik pada 20 Oktober 2014 lalu, Jokowi mendengungkan program-program yang akan dijalankan selama lima tahun masa pemerintahannya. Program tersebut dirangkum dalam Nawacita, dengan slogan Membangun dari Pinggiran.

Catatan-catatan penting pun mulai bermunculan sebagai bentuk kritik terhadap Presiden Jokowi. Mulai dari korupsi, kondisi ekonomi, hingga politik. Tapi bagaimana dengan kebebasan beragama di Indonesia yang selama ini belum terjamin?

Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina (PUSAD Paramadina) Ihsan Ali Fauzi mengatakan Jokowi gagal menjamin kebebasan beragama pada satu tahun pemerintahannya. Peristiwa pembakaran mushalla di Tolikara dan pembakaran gereja di Singkil Aceh merupakan bukti yang tak bisa dibantah. “Hak sebagai warga negara dan hak untuk beribadah itu didiskriminasi,” kata Ihsan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (21/10).

Ihsan mengingat, dalam Nawacita Presiden Jokowi tertuang bahwa negara akan hadir kembali peduli tentang pluralisme. Namun hingga kini cita-cita itu belum sepenuhnya terjaga dengan baik. Ihsan menilai mungkin isu HAM ini tidaklah begitu penting di awal pemerintahan Presiden Jokowi. Namun jika negara membiarkan hal tersebut dan aparat turut melakukan pembubaran gereja, ini menjadi kegagalan di satu tahun Jokowi. Rasa toleransi semakin merosot. Meski peraturan dibuat sedemikian rupa jika tak ada toleransi dan kebersamaan, artinya adalah sia-sia.

Melihat kondisi ini maka Ihsan menilai pentingnya menanamkan toleransi pada tiap diri pribadi. Selain itu, diperlukan penegakan hukum yang tidak setengah-setengah bagi oknum yang terbukti melakukan pelanggaran HAM, khususnya kebebasan beragama. Diharapkan, pada tahun kedua dan selanjutnya dalam pemerintahan Jokowi, persoalan HAM dapat segera diperhatikan.

Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte menilai ini menjadi momentum penting dari reformasi di Indonesia. Jokowi dipilih sebagai pemimpin negara Indonesia karena terlepas dari sejarah Orde Baru. Meskipun pada dasarnya tetap mendapatkan tekanan politik dari partai pengusungnya, PDI Perjuangan.

Terpilihnya Jokowi menjadi Presiden kemudian menumbuhkan kepedulian politik masyarakat di daerah terhadap politik negara. Dahulu, lanjutnya, masyarakat daerah tak peduli akan situasi politik di pusat, namun dengan terpilihnya Jokowi, masyarakat daerah saat ini turut mengikuti perkembangan politik.

Tekanan dari partai pengusung memang menjadi permasalahan dalam pemerintahan Jokowi di satu tahun pertama. Kendati demikian, Jokowi tetap memiliki area yang tidak dapat diganggu oleh pihak manapun, yakni terkait portofolio ekonomi. Jokowi memilih sendiri siapa menteri yang akan mengurusi persoalan ekonomi bangsa. “Jokowi melakukan reshuffle taktikal. Menteri-menteri yang berasal dari portofolio ekonomi berasal dari pilihan sendiri. Message politisnya baik,” ujar Philips pada acara yang sama.

Tetapi, pemerintahan Jokowi-JK dalam satu tahun ini memang berjalan dengan lambat. Menurut Philips, ini disebabkan oleh pengalaman Jokowi dalam karir politik yang belumm lama layaknya orang-orang Orde Baru.

Di balik itu semua, Ihsan mencatat ada tiga keberhasilan Jokowi yang tidak ditangkap oleh publik. Pertama, penghapusan subsidi BBM. Kebijakan yang tidak popular ini memang sempat mendapat kritik dari beberapa pihak, namun tidak begitu mengkhawatirkan dan relatif smooth. Kedua, terkait UU Pilkada yang sempat ramai membahas pilkada tidak langsung. Tetapi pada akhirnya, pilkada tetap dilakukan secara langsung tanpa adanya keributan. Ketiga, terkait rotasi Panglima TNI yang juga tidak ribut-ribut. “Dalam tiga hal ini Jokowi mendapatkan apa yang dia mau,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait