Keadilan Restoratif dalam Putusan-Putusan MA
Berita

Keadilan Restoratif dalam Putusan-Putusan MA

MA beberapa kali memutus berdasarkan prinsip keadilan restoratif. Ada sejumlah hambatan dalam penerapannya.

IHW/Inu
Bacaan 2 Menit

Padahal fakta dalam BAP maupun di persidangan terungkap bahwa pelaku sebenarnya sedang atau selesai menggunakan narkotika dalam jumlah yang sangat kecil sehingga harusnya didakwa dengan Pasal 127 UU Narkotika. Pasal itu mengatur mengenai penyalahgunaan narkotika dimana hakim dibolehkan menjatuhkan sanksi berupa rehabilitasi medis. Dalam perkara seperti ini MA akhirnya memvonis pelaku dengan hukuman penjara yang ringan dikurangi masa rehabilitasi medis. Demikian terdapat dalam Pasal 566 K/Pid.Sus/2012.

Kasus terakhir yang dicontohkan Komariah menerapkan keadilan restoratif adalah perkara Nomor 2399K/Pid.Sus/2010. Dalam kasus ini Mahkamah Agung menyatakan bahwa terdakwa memang terbukti melakukan korupsi sesuai Pasal 2 UU Pemberantasan Korupsi.

Namun karena kerugian negara yang timbul dari uang yang dikorupsi terdakwa ‘hanya’ Rp2,9 juta, maka hakim hanya menghukum terdakwa selama setahun penjara. Padahal ancaman minimal hukuman adalah empat tahun penjara.

“Tindak pidana korupsi tidak boleh disikapi secara permisif berapapun nilai kerugian negara yang timbul karenanya, akan tetap sebaliknya penjatuhan pidana yang mencederai rasa keadilan juga harus dihindarkan,” kata Komariah mengutip pertimbangan hakim dalam putusan tersebut.

Pakar Hukum Pidana Andi Hamzah dalam kesempatan yang sama menjelaskan beberapa hambatan penerapan keadilan restoratif di Indonesia. Hambatan pertama adalah ketiadaan payung hukum yang mengaturnya. “Karena perkara kriminal diambil alih oleh negara yang diwakili jaksa. Maka walaupun para pihak berdamai, perkara jalan terus kecuali delik aduan.”

Hambatan lain muncul dari aspek kultural dimana masyarakat cenderung sulit memaafkan. Menurut Andi Hamzah, mengutip mantan gubernur jenderal Inggris di Indonesia Thomas Raffles, bangsa ini cenderung pendendam. “Lihat saja pernyataan tokoh masyarakat, hukum mati koruptor, miskinkan koruptor, bikin kebun koruptor, dll,” Andi Hamzah memberi contoh.

Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan di beberapa negara lain. Di Den Haag Belanda, kata Andi hamzah, 60 persen perkara pidana diselesaikan di luar pengadilan dengan ganti rugi dan denda. “Di Norwegia lebih tinggi lagi. Sekitar 74 persen.”

Halaman Selanjutnya:
Tags: