Keabsahan Alat Bukti Elektronik Bukan oleh Aparat
Utama

Keabsahan Alat Bukti Elektronik Bukan oleh Aparat

Indonesia masih mengalami kelangkaan ahli digital forensic.

KAR
Bacaan 2 Menit
Pelatihan hukumonline & Indonesia Cyber Law Community (ICLC), di Jakarta,Kamis (27/2). FOTO: RES
Pelatihan hukumonline & Indonesia Cyber Law Community (ICLC), di Jakarta,Kamis (27/2). FOTO: RES
Kemajuan teknologi telah menyusup hampir semua sendi kehidupan, tak terkecuali sistem penegakan hukum. Kehadiran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) telah memperkenalkan rezim alat bukti yang bersifat elektronik. Hanya saja, pengaturan itu belum diimbangi dengan pengetahuan aparat penegak hukum terkait kemajuan teknologi.

“Jaksa dan hakim saat ini mungkin belum banyak memiliki pengetahuan teori dan pengalaman terkait teknologi informasi. Mungkin yang memiliki pengetahuan dan pengalaman soal itu baru penyidik,” ujar Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Komunikasi dan Informatika, Josua Sitompul dalam Pelatihan hukumonline mengenai cyber law di Jakarta, Kamis (27/2).

Josua mengakui, para hakim di Indonesia memang lebih fokus pada struktur logika suatu kasus. Di sisi lain, kekurangan pengetahuan para penegak hukum terkait teknologi informasi berdampak pada penentuan keabsahan alat bukti yang bersifat digital. Menurutnya, di Indonesia terutama di daerah-daerah, masih banyak aparat yang belum mau masuk dalam rezim UUITE terkait penyediaan alat bukti.

“Kalau di kota-kota besar seperti Jakarta, mungkin sudah banyak yang menggunakan UUITE dalam merumuskan alat bukti,” katanya.

Kendati demikian, ia menegaskan bahwa keabsahan alat bukti digital bukan menjadi kewenangan aparat. Menurutnya, untuk menentukan suatu dokumen digital bisa menjadi alat bukti yang sah atau tidak membutuhkan keahlian dan kesaksian. Oleh karenanya, keterangan ahli lah yang menentukan alat bukti tersebut bisa memenuhi syarat formil dan materil atau tidak.

“Sebab ahli bisa membenarkan secara forensik. Ahli yang memastikan apakah bukti tersebut sesuai aslinya atau telah mengalami perubahan. Namun selain keterangan ahli, harus ada keterangan saksi pula yang mendukung bahwa memang bukti tersebut tidak mengalami perubahan apa-apa,” ujar pria yang juga mengajar cyber law di Universitas Pancasila, Jakarta ini.

Menurut Josua, penentuan keabsahan alat bukti digital sangat penting. Ia mengatakan, sudah kewajiban hakim, jaksa termasuk penasihat hukum untuk memastikan bahwa alat bukti digital yang diajukan benar-benar original. Kepastian itu harus didapat melalui proses digital forensic.

Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community, Teguh Ariyadi, mengatakan alat bukti digital yang diajukan dalam proses peradilan harus sah. Keabsahan tersebut harus memenuhi unsur sesuai peraturan (lawful). Pasalnya, bukti eletronik yang telah sulit didapatkan jika tidak sesuai ketentuan dalam peraturan bisa saja dibawa ke praperadilan.

“Itulah kenapa perkara terorisme jarang mengajukan bukti dari hasil penyadapan. Sebab, bukti hasil penyadapan cukup rentan. Dalam arti, prosedur penyadapan dalam kasus terorisme harus sesuai dengan undang-undang,” ujarnya.

Di dalam UU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diatur bahwa penyadapan hanya diperbolehkan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Selain itu, tindakan tersebut harus dilakukan atas izin ketua pengadilan. Teguh mengungkapkan, dalam praktiknya sering kali aparat kepolisian diburu waktu untuk menyadap teroris sebelum melakukan penggerebekan.

“Kalau penggerebekannya hari libur bagaimana mengajukan izin ke pengadilan? Kalau bukti dari hasil penyadapan yang seperti itu kan bisa saja dibawa ke praperadilan dan dianggap unlawful,” ujarnya.


Ralat:
Paragraf 8, tertulis:
Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community, Teguh Ariyadi, mengatakan alat bukti digital yang diajukan dalam proses peradilan harus sah.

Yang benar:
Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community, Teguh Arifiyadi, mengatakan alat bukti digital yang diajukan dalam proses peradilan harus sah.

@Redaksi
Tags:

Berita Terkait