Ke Mana Sebaiknya Ahli Waris Korban Kecelakaan Lion Air Menuntut Keadilan?
Berita

Ke Mana Sebaiknya Ahli Waris Korban Kecelakaan Lion Air Menuntut Keadilan?

Pengadilan berwenang menghitung kerugian materiil maupun immateriil yang berbeda-beda dari masing-masing ahli waris korban.

M-28
Bacaan 2 Menit
Polair saat patroli evakuasi di lokasi jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 di Tanjung Karawang, Jawa Barat. Foto: RES
Polair saat patroli evakuasi di lokasi jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 di Tanjung Karawang, Jawa Barat. Foto: RES

Duka mendalam masih dirasakan oleh keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 pada Senin (29/10). Sejumlah 182 penumpang dan 7 kru pesawat diperkirakan tewas oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Melansir Antara, pada Minggu malam (4/11) sebanyak 138 jenazah sudah berhasil ditemukan. Sebagai pihak konsumen yang ditimpa bencana, keluarga korban memiliki hak yang masih harus dipenuhi maskapai penerbangan. Bahkan dengan gugatan ke pengadilan jika diperlukan.

 

Pihak maskapai Lion Air selaku pengangkut wajib bertanggung jawab terhadap kerugian seluruh penumpangnya yang meninggal dunia dalam kecelakaan maut ini. Hal ini telah diatur dalam Pasal 141 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan). Pasal tersebut berbunyi, “pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.”

 

Sementara itu, nominal ganti kerugian yang wajib dibayarkan kepada ahli waris penumpang Lion Air JT-610 yang meninggal adalah masing-masing sebesar Rp1,25 miliar. Ketentuan ini dimuat dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (Permenhub 77/2011).

 

Bila jumlah penumpang Lion Air yang tewas sebanyak 182 orang, maka total ganti kerugian yang dibayarkan oleh pihak maskapai kepada ahli waris adalah senilai Rp227,5 miliar. Dengan catatan masing-masing ahli waris penumpang maskapai mendapat nominal ganti kerugian sesuai dengan besaran yang telah ditentukan di atas.

 

Dalam rilis yang disampaikan oleh David Tobing selaku Ketua Komunitas Konsumen Indonesia kepada Hukumonline, nominal ganti kerugian dalam Permenhub 77/2011 ini ditentukan berdasarkan kriteria tertentu. Dalam Pasal 15 Permenhub tersebut, kriteria ini terdiri dari tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia, kelangsungan hidup Badan Usaha Angkutan Udara, tingkat inflasi kumulatif, pendapatan perkapita, perkiraan usia harapan hidup, dan perkembangan nilai mata uang.

 

Meskipun penentuan nominal ganti kerugian kepada ahli waris penumpang ini ditetapkan berdasarkan sejumlah kriteria di atas, sangat mungkin ada ahli waris yang merasa kompensasi sebesar Rp1,25 miliar dianggap belum cukup adil untuk mengganti kerugian materiil maupun immateriil baginya. Oleh karena itu, ada mekanisme lebih lanjut yang telah ditentukan dalam Permenhub 77/2011 ini.

 

Permenhub 77/2011 Pasal 23

Besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada ahli waris untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Ketentuan di atas memberikan pilihan lain bagi ahli waris untuk menuntut keadilan dari pihak maskapai atas kematian penumpang yang merupakan anggota keluarganya. “Pilihan mekanisme hukum yang bisa ditempuh oleh ahli waris penumpang ini ada arbitrase, pengadilan negeri, dan lainnya. Sifat lembaga-lembaga di dalam ketentuan itu juga alternatif,” ujar David Tobing kepada Hukumonline, Senin (5/11).

 

Karena sifatnya sebagai alternatif, maka pihak ahli waris bisa memilih untuk mengajukan tuntutan ganti rugi ini ke salah satu lembaga yang telah ditentukan yang memiliki kewenangan menangani sengketa ini.

 

Baca:

 

BPSK atau Pengadilan?

Saat dihubungi Hukumonline, David Tobing memaparkan pendapatnya mengenai “jalan” yang sebaiknya ditempuh oleh pihak ahli waris penumpang. “Sebenarnya bisa digugat lewat BPSK, tetapi BPSK hanya mampu untuk menaksir angka kerugian materiil. Lebih baik jika gugatan diajukan langsung ke pengadilan negeri, karena kerugian materiil maupun immateriil terkait tewasnya penumpang ini bisa diperkirakan oleh hakim,” tuturnya.

 

Mengutip rilis yang disampaikan David, ia mencontohkan ada ahli waris yang kehilangan seorang suami sekaligus anak-anak pasti merasa kurang adil bila “hanya menerima” kompensasi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf a Permenhub 77/2011 ini. Hal ini menunjukan bahwa kerugian materiil dan immateriil yang dialami penumpang berbeda-beda.

 

Oleh sebab itu, David menilai penting bagi hakim untuk melihatnya secara kasuistik. “Lebih baik masing-masing individu ahli waris penumpang mengajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri, karena ada majelis hakim yang akan aktif membuktikan kerugian itu kasus per kasus,” tambahnya.

 

Terkait pengajuan sengketa antara ahli waris penumpang dengan maskapai Lion Air, Joko Kundaryo selaku anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta mengatakan bahwa kewenangan BPSK dalam hal penerbangan terbatas pada hal-hal tertentu.

 

“Sebatas wanprestasi yang dilakukan saat transaksi. Misalnya ada keterlambatan, gagalnya keberangkatan penumpang, kehilangan barang, atau hak-hak lain semisal adanya pertemuan keluarga yang gagal dihadiri atau klien, itu bisa dimintakan kompensasi,” kata Joko Kundaryo kapada Hukumonline saat dihubungi secara terpisah. Kompensasi ini hanya bisa diberikan bila ada pihak konsumen yang mengadu kepada BPSK.

 

Bila berkaitan dengan ganti kerugian yang dituntut oleh ahli waris penumpang, BPSK mengaku tidak memiliki kewenangan. “Ini karena domainnya sudah berbeda, domain terkait asuransi ini bukan kewenangan BPSK selama pemberian ganti kerugian ini berjalan dengan baik,” tambahnya. Ia juga mengamini keterangan David Tobing yang mengatakan bahwa BPSK tidak bisa menghitung kerugian immateriil, “BPSK tidak boleh meminta ganti kerugian immateriil kepada pelaku usaha sekalipun itu diadukan oleh pihak konsumen.”

 

Sementara itu, Sudaryatmo selaku Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berpendapat bahwa sejauh ini pengadilan lebih efektif bagi ahli waris penumpang untuk menuntut ganti kerugian. “BPSK tidak memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian immateriil yang dituntut ahli waris kepada pihak maskapai. Sehingga bila memang ingin menuntut ganti kerugian immateriil maka harus lewat pengadilan,” kata Sudaryatmo kepada Hukumonline.

 

Sudaryatmo juga menguraikan bahwa untuk kerugian immateriil ini, antara satu ahli waris dan lainnya tentu berbeda. Ia berpandangan bahwa pengadilan harus mampu mempertimbangkan mengenai besaran ganti kerugian immateriil antara korban yang belum berkeluarga dan yang sudah berkeluarga.

“Kerugian immateriil antara korban yang single dan yang sudah berkeluarga tentu berbeda. Bila yang menjadi korban adalah sosok suami atau kepala rumah tangga, otomatis seharusnya ada tanggungan untuk istri dan anak-anaknya,” ucap Sudaryatmo. Ia juga menambahkan bahwa kompensasi ini harus diberikan dengan memperhitungkan usia pensiun dan pendidikan anak-anak korban sampai mandiri.

Tags:

Berita Terkait