Pembuktian Masih Menjadi Momok Penanganan Kasus KDRT
Berita

Pembuktian Masih Menjadi Momok Penanganan Kasus KDRT

Bagaimana mendefinisikan kekerasan psikis, apakah dia harus depresi, atau cukup dia mulai gelisah?

CR-7
Bacaan 2 Menit

 

Pasal 55 UU PKDRT

Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

 

Yang juga menjadi masalah dalam perlindungan perempuan dari KDRT adalah antara satu regulasi dengan regulasi lain. Nursjahbani Katjasungkana, mantan Anggota DPR, mencontohkan pertentangan antara UU KDRT dan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Nursyahbani berpendapat prinsip UU Perkawinan banyak yang bertentangan dengan UU PKDRT. “Undang-undang Perkawinan harus direvisi,” tukasnya.

 

Di satu sisi, KDRT tidak dicantumkan secara tegas di dalam UU Perkawinan. Namun, di sisi lain, kekerasan itu sendiri dapat menjadi salah satu alasan perceraian. Makanya, kata Nursjahbani, seringkali Pengadilan Agama menemukan masalah-masalah KDRT. “Meskipun itu (KDRT-red) terkuak dengan sangat jelas dan bisa dirasakan oleh masyarakat, tetapi Pengadilan Agama tidak bisa mengadili karena merupakan wewenang pengadilan pidana,” terangnya.

 

Pengadilan keluarga

Masalah KDRT memperlihatkan adanya irisan yang jelas antara hukum pidana dan hukum perdata. Karenanya, Nursjahbani melihat bahwa sekat-sekat antara pengadilan pidana dan perdata sudah tidak relevan lagi. Menurutnya, masalah KDRT merupakan masalah yang spesifik, karena mengatur relasi keluarga. Nursjahbani mendukung dan turut mengusulkan dibentuknya pengadilan keluarga yang bersifat permanen dan berada di bawah peradilan umum.

 

“Kenapa untuk pengadilan pengadilan keluarga yang begitu penting bagi masyarakat Indonesia tidak bisa dibentuk,” tukasnya. Nusyahbani berharap pengadilan keluarga diisi oleh hakim-hakim khusus yang memiliki pemahaman terhadap masalah-masalah keluarga.

 

Pengajar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto mengatakan banyak sekali kasus kekerasan bersembunyi di dalam kasus-kasus perdata. “Ternyata terbongkar bahwa banyak kasus perceraian dikarenakan kekerasan,” ujarnya. Sayangnya, pengadilan agama tidak bisa memproses kasus kekerasan tersebut sehingga si korban harus berperkara di pengadilan dua kali. “Hanya dalam kondisi yang sangat khusus perempuan mau mengajukan perkara sampai dua kali,” tandasnya.

 

Tags: