Kasus Suap-Gratifikasi Mendominasi di Sidang-Sidang MKH
Berita

Kasus Suap-Gratifikasi Mendominasi di Sidang-Sidang MKH

KY berharap agar MA lebih tegas terhadap oknum yang telah menciderai kemuliaan lembaga peradilan.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Praktik suap dan gratifikasi terkait jual beli perkara di pengadilan masih menjadi persoalan serius dan catatan kelam dunia peradilan Indonesia. Sebab, kasus-kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan hakim dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) masih mendominasi. Dari 49 kasus yang disidangkan MKH, terdapat 22 kasus praktik suap dan gratifikasi atau sekitar 44,9 persen sepanjang 2009-2017.   

 

“Sejak sidang MKH digelar oleh Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) pertama kali tahun 2009, kasus suap dan gratifikasi cukup mendominasi hingga saat ini. Praktik suap dan isu jual beli perkara selalu menghiasi sidang MKH setiap tahunnya,” ujar Juru Bicara KY Farid Wajdi dalam keterangan tertulisnya yang diterima Hukumonline, Kamis (4/1/2018).  (Baca juga: Terbukti Terima Suap 1 Miliar, MKH Pecat Hakim Ini)

 

Selain kedua kasus tersebut, Farid mengungkapkan kasus perselingkuhan atau pelecehan termasuk kasus yang cukup banyak disidangkan MKH sebanyak 17 kasus atau sekitar 34,6 persen. “Pada tahun 2009 dan 2010 kasus perselingkuhan belum pernah digelar disidang MKH. Namun, pada tahun 2011-2017 laporan terkait kasus ini selalu ada. Bahkan tahun 2013 dan 2014 laporan ini mendominasi,” ungkapnya.

 

Menurut dia, banyaknya jumlah kasus pelanggaran kode etik berupa perselingkuhan di kalangan para hakim disebabkan jauhnya penempatan tugas seorang hakim dari kediaman keluarganya. Karena itu, pola mutasi dan promosi hakim sebaiknya mempertimbangkan kebutuhan agar tidak terlalu jauh dari keluarganya. Selain itu, kenaikan tunjangan dan fasilitas para hakim diduga menjadi sebab meningkatnya kasus perselingkuhan.

 

Kasus lain yang disidangkan di MKH, antara lain bersikap indisipliner terdapat 5 laporan; mengkonsumsi narkoba terdapat 3 laporan; memanipulasi putusan kasasi terdapat 1 laporan; dan pemalsuan dokumen terdapat 1 laporan. Khusus di tahun 2017, KY dan MA menggelar 3 kali sidang MKH karena kasus penyuapan terdapat 1 laporan dan perselingkuhan terdapat 2 laporan.

 

Fakta itu tentu menjadi keprihatinan dan pembelajaran bagi semua pihak. KY mengimbau agar para hakim senantiasa memegang teguh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) terutama menjauhi perilaku suap dan gratifikasi. Dengan sendirinya dapat mengembalikan kepercayaan publik demi terwujudnya peradilan bersih, bermartabat, dan agung.

 

“Sebagai mitra kerja, KY juga mengapresiasi langkah dan upaya pembinaan dan pembenahan yang telah dilakukan MA. Namun, KY berharap agar MA lebih tegas terhadap oknum yang telah menciderai kemuliaan lembaga peradilan,” harapnya.

 

Akibat dari pelanggaran KEPPH sepanjang tahun 2009-2017, sebanyak 31 orang hakim telah dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian atas dasar hasil pemeriksaan sidang MKH. Selain itu, sebanyak 16 hakim dijatuhi sanksi berat/sedang berupa nonpalu 3 bulan sampai 2 tahun; 1 hakim dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis dengan akibat pengurangan tunjangan kinerja sebesar 75 persen selama 3 bulan; dan 1 orang mengundurkan diri sebelum dilaksanakan sidang MKH.

 

“Penjatuhan sanksi itu sebagai upaya menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim,” lanjutnya. (Baca Juga: Diduga Terima Suap, Hakim Ini Minta Tidak Dipecat)

 

Perlu sinergitas

Bagi KY, kasus suap di lingkungan peradilan bukan hanya persoalan klasik yang penyelesaiannya hanya dengan menjatuhkan sanksi etik dan pidana, tetapi dibutuhkan pembinaan simultan dan siraman rohani guna menghidupkan hati nurani hakim yang kadang kalau jauh dari nilai-nilai etis. Sebab, hakim tidak hanya didorong untuk meningkatkan keilmuan, tetapi juga perlu menyeimbangkan kekuatan nilai dan etika profesi hukum atau transfer of value.

 

“Independensi peradilan harus diikat dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas pekerjaanya secara profesional menurut kebenaran ilmu pengetahuan, institusi, publik, hati nurani, dan kepada Allah SWT,” sarannya.  

 

Karena itu, menurutnya pengawasan dapat lebih efektif apabila MA bersinergi dengan KY dalam upaya menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. “Pembinaan dan pengawasan yang efektif adanya sinergisitas antara MA dan KY dapat menjadi pintu masuk terwujudnya akuntabilitas publik tanpa mengganggu independensi hakim.”  (Baca Juga: MA Sebut Tahun 2017 sebagai Pembersihan Oknum Peradilan)

 

KY juga mengusulkan langkah pencegahan harus terus digalakkan dalam rangka menjaga kemuliaan profesi hakim agar setiap hakim dapat menerapkan nilai-nilai yang termuat dalam KEPPH sekaligus sebagai norma. “Maka, perlu ada pelatihan yang tujuannya membentuk karakter hakim, salah satunya melalui pelatihan KEPPH,” sarannya.

Tags:

Berita Terkait