Kasus SKL BLBI Segera Disidangkan
Berita

Kasus SKL BLBI Segera Disidangkan

KPK telah melakukan pelimpahan dari penyidik ke penuntut umum atas nama tersangka Mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung untuk segera disidangkan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merampungkan berkas pemeriksaan dugaan kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi tersangka dalam perkara ini pun akan segera disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.  

 

"Penyidik hari ini telah menyerahkan barang bukti dan tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) kepada penuntut umum, dalam perkara dugaan korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangannya, Rabu (18/4/2018).

 

Menurut Febri, dalam proses penyidikan KPK telah memeriksa 72 orang saksi dari berbagai unsur. Seperti, staf dan direksi PT Gajah Tunggal, advokat, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Ketua KKSK, pegawai dan Ketua BPPN, DJKN Kanwil Jawa Tengah, Tim Bantuan Hukum, staf khusus Wakil Presiden, Komisaris PT Kasongan dan beberapa pihak swasta lainnya. 

 

Sebelum dilakukan pelimpahan, kata Febri, KPK telah tiga kali memeriksa Syafruddin sebagai tersangka yaitu pada 5 September 2017, 3 Januari 2018 dan 9 Januari 2018. Sedangkan upaya paksa berupa penahanan dilakukan pada 21 Desember 2017.

 

Dengan pelimpahan ini, hanya menunggu waktu bagi Syafruddin untuk duduk di kursi Terdakwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. "Maksimal menyusun surat dakwaan dalam 14 hari," kata Direktur Penuntutan KPK Supardi kepada Hukumonline. Baca Juga: KPK: Kerugian Negara SKL BLBI Rp4,58 Triliun

 

Dilansir Antara, Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, menyatakan terjadi error in persona dalam kasus BLBI yang menjerat kliennya yang mantan Kepala BPPN itu.

 

"Tuntutan terhadap Syafruddin ini error in persona, jadi salah orang sebenarnya karena ini sangat penting diketahui oleh masyarakat ya, yang seharusnya dibawa ke pemeriksaan, tahanan dan ke penuntutan bukan beliau, bukan Pak Syafruddin Temenggung ini," kata Yusril di gedung KPK, Jakarta, Rabu.

 

Namun, Yusril tidak mau membeberkan siapa yang seharusnya ditetapkan sebagai tersangka. "Kan tuduhannya Pak Syafruddin ini mengapa menerbitkan SKL kepada Sjamsul (Nursalim). Beliau diperiksa kemudian ditahan dan akan dibawa ke pengadilan. Padahal kasusnya tidak seperti itu. Beliau telah menjalankan segala tanggung jawabnya sesuai dengan keputusan KKSK dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku pada waktu itu," papar Yusril.

 

KPK telah menetapkan Syafruddin sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim yang menjadi pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

 

"Persoalan Pak Sjamsul Nursalim dengan kasusnya sekarang ini diperiksa sebenarnya dua hal yang sama sekali berbeda. Jadi kalau Pak Sjamsul Nursalim itu sebagai shareholder dari BDNI itu sudah melakukan segala kewajibannya untuk melunasi hutang-hutangnya," dalih Yusril.

 

Persoalan kedua, Yusril menyatakan KPK keliru menafsirkan bahwa utang petambak plasma PT Disapena Citra Darmaja dijamin oleh mantan pemegang saham Bank BDNI atau Sjamsul Nursalim. "Jadi, sebagai petani plasma yang dijamin oleh PT Dipasena dan yang mana itu ada satu perjanjian penjaminan antara PT Dipasena dengan para petani tambak dan BDNI. Jadi, kalau misalnya petani tidak dapat membayar utang-utangnya kepada BDNI, maka yang membayar adalah PT Dipasena sebagai penjamin, bukan Sjamsul Nursalim sebagai stakeholder dari BDNI," lanjutnya.

 

Dari hasil audit BPK, disimpulkan ada indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL kepada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan seluruh kewajibannya. Dari hasil audit investigatif BPK tertanggal 25 Agustus 2017 terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

 

Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun. Nilai Rp4,8 triliun itu terdiri dari Rp1,1 triliun yang dinilai sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan.

Tags:

Berita Terkait