Kasus Pemidanaan Peternak dan Dekriminalisasi dalam UU Cipta Kerja
Kolom

Kasus Pemidanaan Peternak dan Dekriminalisasi dalam UU Cipta Kerja

​​​​​​​Dekriminalisasi terhadap pelanggaran izin lingkungan yang bersifat formil menunjukkan adanya pembedaan secara ketat sanksi pidana administrasi (administrative penal law) dengan hukum pidana (criminal penal law) dalam penyelenggaraan perizinan berusaha.

Bacaan 4 Menit

Norma-norma pembebanan izin dalam kegiatan usaha yang disertai sanksi terlebih sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan seharusnya selalu disertai dengan norma pembinaan yang bersifat mandatory bagi pemangku kebijakan untuk mengedukasi, menumbuhkan kesadaran, dan peran aktif pelaku usaha. Selain itu, norma pembebanan izin harus disertai norma pengawasan untuk memantau dan mengevaluasi tingkat pemenuhan (compliance) pelaku usaha.

Seperti yang dikemukakan G. Peter Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan tidak semata-mata dengan penerapan hukum pidana (criminal law application), namun dapat melalui upaya lain seperti pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan (influencing views of society on crime and punishment).

Dampak UU Cipta Kerja

Dengan berlakunya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), Pasal 109 UU PPLH yang menjadi dasar penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana atas pelanggaran izin lingkungan yang dilakukan MS, mengalami reformulasi dan rekonseptualisasi menjadi delik materiil yang mensyaratkan pembuktian akibat dan prinsip kausalitas. Pasal 22 Angka 36 UU Cipta Kerja mengatur pemidanaan hanya dilakukan terhadap setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki perizinan berusaha yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan.

Adapun untuk usaha dan/atau kegiatan yang tanpa memiliki perizinan berusaha dan tidak menimbulkan akibat, berlaku ketentuan Pasal 22 Angka 32 UU Cipta Kerja yang memberlakukan sanksi administratif. Kedua ketentuan pasal ini pada dasarnya merupakan bentuk dekriminalisasi terhadap pelanggaran izin lingkungan yang bersifat formil. Sepanjang tidak menimbulkan korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, pelanggar izin lingkungan dikenakan sanksi administratif.

Kriteria Dekriminalisasi
Dekriminalisasi terhadap pelanggaran izin lingkungan yang bersifat formil menunjukkan adanya pembedaan secara ketat sanksi pidana administrasi (administrative penal law) dengan hukum pidana (criminal penal law) dalam penyelenggaraan perizinan berusaha dan pelaksanaan kegiatan berusaha. Namun hendaknya pilihan penegakan hukum dengan menggunakan saksi pidana atau sanksi administratif kedepan perlu lebih hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek.

Menurut N. Struiksma sebagaimana dikutip Andri G. Wibisana, pilihan penegakan hukum perlu mempertimbangan sejauhmana pelanggaran tersebut dapat diperbaiki, pemulihan akibat yang ditimbulkan, tingkat keseriusan kerusakan lingkungan, adanya keuntungan ekonomi bagi pelanggar, perencanaan atau pengulangan perbuatan, kesengajaan, dan efektivitas penegakan hukum administratif. Dengan demikian, dalam penegakan hukum lingkungan mampu menjamin terpenuhinya tiga tujuan utama hukum seperti dikemukakan Gustav Radburch: keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

*) Aji Kurnia Dermawan, S.H., M.H. adalah Perancang Peraturan Perundang-undangan Kementerian Pertanian dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Hukum Unpad (Pendapat Pribadi).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait