Kasus Meiliana dan Ketentuan Pengeras Suara Masjid Sesuai Instruksi Dirjen Bimas Islam
Berita

Kasus Meiliana dan Ketentuan Pengeras Suara Masjid Sesuai Instruksi Dirjen Bimas Islam

Vonis terhadap Meiliana menuai kritik. Pada dasarnya penggunaan pengeras suara masjid telah diatur dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Meiliana, perempuan asal Tanjung Balai, Sumatera Utara divonis 18 bulan penjara oleh Majelis Hakim PN Medan karena dinilai terbukti melakukan ujaran kebencian dan penodaan agama. Foto: youtube
Meiliana, perempuan asal Tanjung Balai, Sumatera Utara divonis 18 bulan penjara oleh Majelis Hakim PN Medan karena dinilai terbukti melakukan ujaran kebencian dan penodaan agama. Foto: youtube

Kasus Meiliana asal Tanjung Balai, Sumatera Utara, cukup menyita perhatian masyarakat. Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Balai, menjatuhkan vonis kepada perempuan berusia 44 tahun itu selama 18 bulan penjara. Dia dinilai terbukti melakukan ujaran kebencian dan penodaan agama karena melanggar Pasal 156a KUHP. Meski demikian, kuasa hukum Meiliana akan mengajukan banding atas vonis tersebut.

 

Hal ini bermula dari keluhan Meiliana terkait kerasnya suara adzan di lingkungan dia tinggal. Akibat keluhannya itu memicu terjadinya kerusuhan, di mana sekelompok orang membakar dan merusak Wihara dan Klenteng di Tanjung Balai. Kejadian ini terjadi pada 29 Juli 2016 silam.

 

Sebagaimana dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Medan, perkara bernomor registrasi: PDM-05/TBALAI/05/2018 itu menyebutkan, bahwa Meiliana telah ditahan sejak 30 Mei 2018 hingga sekarang.

 

(Baca Juga: Vonis Meiliana, Perempuan yang Minta Kecilkan Suara Adzan Menuai Kritik)

 

Lantas, apakah penggunaan pengeras suara masjid selama ini sudah ada aturannya? Pada dasarnya penggunaan pengeras suara masjid telah diatur dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla. Hal ini seperti pernah diulas rubrik klinik hukumonline dengan judul Menghadapi Pengeras Suara yang Mengganggu.

 

Dalam lampiran Instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut, yang dimaksud pengeras suara adalah perlengkapan teknik yang terdiri dari mikropon, amplifier, loud speaker, dan kabel-kabel tempat mengalirnya arus listrik.

 

Di dalam lampiran instruksi tersebut juga dikatakan bahwa syarat-syarat penggunaan pengeras suara antara lain adalah tidak boleh terlalu meninggikan suara do’a, dzikir, dan sholat karena pelanggaran seperti ini bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan bahwa umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya. Lebih lanjut dikatakan juga bahwa pada dasarnya, suara yang disalurkan ke luar masjid hanyalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu shalat.

 

Berpedoman pada Instruksi Direktur Jenderal Bimas 101/1978, penggunaan pengeras suara masjid pada waktu tertentu secara terperinci adalah sebagai berikut:

  1. Waktu Subuh
    1. Sebelum waktu subuh, dapat dilakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktunya. Kesempatan ini digunakan untuk membangunkan kaum muslimin yang masih tidur, guna persiapan shalat, membersihkan diri, dan lain-lain
    1. Kegiatan pembacaan ayat suci Al-Qur’an dapat menggunakan pengeras suara ke luar. Sedangkan ke dalam tidak disalurkan agar tidak mengganggu orang yang sedang beribadah di masjid. 
    1. Adzan waktu subuh menggunakan pengeras suara ke luar
    1. Shalat subuh, kuliah subuh, dan semacamnya menggunakan pengeras suara (bila diperlukan untuk kepentingan jama’ah) dan hanya ditujukan ke dalam saja
  1. Waktu Dzuhur dan Jum’at
    1. Lima menit menjelang dzuhur dan 15 menit menjelang waktu dzuhur dan Jum’at diisi dengan bacaan Al-Qur’an yang ditujukan ke luar
    1. Demikian juga suara adzan bilamana telah tiba waktunya
    1. Bacaan ahalat, do’a pengumuman, khutbah dan lain-lain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam
  1. Ashar, Maghrib, dan Isya
    1. Lima menit sebelum adzan dianjurkan membaca Al-Qur’an
    1. Saat datang waktu shalat, dilakukan adzan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam
    1. Sesudah adzan, sebagaimana lain-lain waktu hanya menggunakan pengeras suara ke dalam
  1. Takbir, Tarhim, dan Ramadhan
    1. Takbir Idul Fitri, Idul Adha dilakukan dengan pengeras suara ke luar
    1. Tarhim yang berupa do’a menggunakan pengeras suara ke dalam dan tarhim dzikir tidak menggunakan pengeras suara
    1. Pada bulan Ramadhan di siang dan malam hari, bacaan Al-Qur’an menggunakan pengeras suara ke dalam
  1. Upacara hari besar Islam dan Pengajian

Tabligh/pengajian hanya menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam dan tidak untuk ke luar, kecuali hari besar Islam memang menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke luar.

 

Sayangnya, instruksi ini hanya memberikan pedoman dasar penggunaan pengeras suara masjid, akan tetapi tidak memuat sanksi di dalamnya.

 

Hukumonline.com

 

Sekadar catatan, kasus Meiliana bukanlah kasus yang baru. Sebelumnya, dalam artikel Gugat Pengeras Suara Masjid, Sayed Hasan Nyaris diamuk Massa di laman merdeka.com diberitakan bahwa Sayed Hasan mempermasalahkan pengeras suara di sebuah masjid dan menggugat Kepala Kantor Kementerian Agama Banda Aceh (tergugat I), Ketua MPU Aceh (tergugat II), Ketua MPU Banda Aceh (tergugat III), Kadis Syariat Islam (tergugat IV), Kepala Desa Gampong Jawa (tergugat V), Imam Masjid (tergugat VI) dan Ketua Pengurus masjid (tergugat VII). Sayed Hasan menggugat 10 toa masjid yang menyajikan ceramah atau bacaan Alquran 30 menit sebelum azan maghrib dan subuh.

 

Lebih lanjut diberitakan pula bahwa Sayed Hasan menyatakan akan mencabut gugatannya di Pengadilan Negeri Banda Aceh yang dibuktikan dengan surat pernyataan di atas materai.  Dalam artikel Tuntutan Sayed Soal Pengeras Suara Masjid Terpenuhi dari laman indonesiarayanews.com diberitakan bahwa Sayed Hasan mencabut gugatannya tersebut setelah mendapat protes keras dari masyarakat. Namun setelah gugatan dicabut, volume pengeras suara masjid tersebut kabarnya diturunkan.

 

Vonis terhadap Meliana sempat mengundang kritik. Salah satunya datang dari Ketua PBNU bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan, Robikin Emhas. Menurutnya, seseorang yang mengatakan suara adzan terlalu keras tidak dapat disebut telah menista agama. "Saya tidak melihat ungkapan suara adzan terlalu keras sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu," kata Robikin sebagaimana dikutip dari Antara, Selasa (21/8).

 

Sebagai muslim, lanjut Robikin, pendapat seperti itu sewajarnya ditempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural. Menurut dia, lahirnya pasal penodaan agama antara lain untuk menjaga harmoni sosial yang disebabkan karena perbedaan golongan atau perbedaan agama/keyakinan yang dianut.

 

"Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," kata Robikin yang juga advokat konstitusi itu.

 

Hal sama diutarakan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla. Dia menilai warga yang menyampaikan kritik atas terlalu kerasnya pengeras suara masjid tidak seharusnya dijatuhi hukuman tindak pidana, seperti yang dialami Meiliana.

 

"Tentu apabila ada masyarakat yang meminta begitu, ya tidak seharusnya dipidana, itu kita akan melihat kejadian sebenarnya apa. Apakah hanya meminta agar jangan diperkeras, itu wajar saja (karena) DMI saja meminta jangan terlalu keras dan jangan terlalu lama," kata Wapres Jusuf Kalla, seperti dilansir Antara, Kamis (23/8).

 

Wapres mengingatkan kembali bahwa DMI telah mengeluarkan imbauan kepada seluruh masjid untuk tidak terlalu keras membunyikan pengeras suara. "Intinya adalah bahwa memang kita sudah meminta masjid itu jangan terlalu keras suara adzannya, jangan melampaui masjid yang satu dan lainnya karena jarak antarmasjid itu rata-rata 500 meter. Oleh karena itu, jangan terlalu keras," tegasnya.

 

Dalam kasus Meiliana tersebut, Wapres Kalla mengatakan belum mengetahui secara rinci awal mula kasus tersebut. Wapres Kalla mengatakan perlu ada penjelasan dari pihak-pihak terkait.

 

"Adzan itu cuma tiga menit, tidak lebih dari itu. Sudah berkali-kali Dewan Masjid menyerukan dan meminta kepada masjid-masjid untuk membatasi waktu pengajian, jangan lebih dari lima menit. Jadi semuanya delapan sampai 10 menit lah," jelas Wapres. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait