Gita berpandangan praktik penanganan kasus dugaan penghinaan agama sesuai Pasal 156a KUHP dalam sidang kerap mengabaikan bukti-bukti persidangan seperti terjadi dalam kasus Meliana yang luput dari konteks dinamika masyarakat yang plural. Karena itu, kasus Meilina, tambah Gita, menjadi momentum pemerintah dan DPR yang tengah membahas draf RKUHP sebagai refleksi bagaimana sebenarnya penggunaan pasal ini oleh aparat penegak hukum.
Pengaturan tindak pidana penodaan agama di KUHP dan RKUHP
KUHP | RKUHP |
Pasal 156 a ‘Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa’. | Pasal 326 Setiap Orang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V. Pasal 327 (1) Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar,atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V. (2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan Tindak Pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf h. Pasal 328 Setiap Orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. |
Dirumuskan hati-hati
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju berpandangan pengaturan norma pasal penistaan agama memang perlu dirumuskan secara hati-hati karena penerapannya cenderung subjektif mayoritas (agama). Menurutnya, praktiknya penerapan pasal penghinaan terhadap agama dalam KUHP ini sering menyerang kelompok minoritas (agama).
Terlebih, pengaturan Pasal 326, 327 dan 328 dinilai jauh lebih karet dan sumir ketimbang rumusan pasal penodaan agama dalam KUHP. Sebab, unsur “dengan sengaja melakukan penghasutan untuk permusuhan” yang menjadi safeguard dan syarat pengaturan hukum yang mengatur penistaan agama, justru dihilangkan. “Diganti hanya dengan unsur ‘penghinaan terhadap agama’ dengan definsi yang sangat sumir dan karet,” ujarnya.
Padahal, kata Anggara, dalam konteks jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dijamin dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Menurut Anggara, dalam Komentar Umum Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik No. 34, telah diserukan delik penghinaan bukan merupakan ranah hukum pidana.
“Hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak, dan suatu konsep seperti negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik,” katanya.