Kasus JIS, Bukti Besarnya Pengaruh Opini Publik di Putusan Hakim
Berita

Kasus JIS, Bukti Besarnya Pengaruh Opini Publik di Putusan Hakim

Perkara guru JIS dibandingkan dengan kasus Emon.

RED
Bacaan 2 Menit
Sejumlah guru dan karyawan JIS menghadiri sidang pembacaan vonis terhadap rekan mereka Neil dan Ferdinant di PN Jaksel, Kamis (2/4). Foto: RES
Sejumlah guru dan karyawan JIS menghadiri sidang pembacaan vonis terhadap rekan mereka Neil dan Ferdinant di PN Jaksel, Kamis (2/4). Foto: RES

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Atmadjaya Jakarta Prof. Irwanto PhD menilai, kasus dugaan kekerasan seksual di JIS merupakan salah satu bukti bagaimana opini publik telah berhasil merekayasa fakta peristiwa yang sesungguhnya terjadi.

Akibatnya, pengungkapan kasus  ini menjadi tidak netral dan para guru serta pekerja kebersihan harus menanggung dampak hukum dari peristiwa yang tidak pernah mereka lakukan.

Menurut Irwanto, kasus JIS ini sangat aneh jika dibandingkan kasus pelecehan seksual lain yang damage-nya jauh lebih besar. Publik dan aparat penegak hukum diarahkan untuk menghakimi JIS secara cepat dengan opini yang terstruktur dan massif.

“Kondisi inilah yang tidak disadari oleh sebagian penegak hukum kita, mereka ikut terjebak dalam pusaran rekayasa. Targetnya adalah segera menemukan pelakunya, menghukumnya dan memenjarakannya. Opini publik yang begitu luarbiasa menghakimi JIS ikut menentukan putusan di dalam ruang sidang. Semoga majelis dapat mengungkapkan kebenaran, bukan mengikuti opini publik,” ujar Prof Irwanto sebagaimana siaran pers yang disampaikan oleh pihak JIS, Selasa (14/4).

Prof Irwanto lantas membandingkan kasus dugaan kekerasan seksual di JIS dengan kasus serupa yang melibatkan Andri Sobari alias Emon di Sukabumi Jawa Barat. Dalam kasus Emon, korbannya mencapai lebih dari 125 anak. Tapi pemberitaan kasus ini sangat terbatas, disamping itu pendampingan dari lembaga anak juga nyaris tak terdengar.

Sementara dengan posisi JIS yang dipersepsikan sebagai sekolah asing, sekolah anak orang kaya, bahkan disebutkan mewakili sekolah kapitalis, membuat pembelaan terhadap siswa terduga korban sungguh luarbiasa. Bahkan publik begitu mudah percaya ketika polisi mengabarkan seorang pekerja kebersihan PT ISS yang dijadikan tersangka kasus ini, meninggal bunuh diri akibat minum cairan pembersih lantai saat penyidikan di Polda Metro Jaya.

Belakangan bukti-bukti kuat menyebutkan bahwa Azwar, demikian nama pekerja kebersihan naas itu, menderita banyak luka di tubuh dan kepalanya. Azwar pun dinyatakan tidak sedang bekerja ketika tuduhan sodomi dialamatkan kepadanya.

“Bukti-bukti yang digunakan untuk menjerat pekerja kebersihan ISS dan dua guru JIS sangat lemah. Keterangan saksi korban yang masih di bawah 10 tahun harus diuji lagi. Anak itu harus didampingi psikolog dan hasilnya masih harus diuji lagi oleh seorang psikolog. Jadi, proses penyidikan dalam kasus ini yang demikian cepat menjadi tidak lazim dan sangat aneh,” jelasnya Irwanto.

Dengan melihat rekaman video saat rekonstruksi penyidik, saksi korban masih tetap bermain. Dia dengan ceria berlarian dan tidak terganggu saat polisi dan orang tuanya mencari TKP. Hal ini menunjukkan anak tidak trauma. "Saya sudah melihat rekaman videonya. Kalau anak korban sodomi berkali-kali akan sangat trauma bila datang ke tempat dia disakiti," tegasnya.

Kekecewaan juga diungkapkan Koordinator KontraS, Haris Azhar. Menurutnya, kepolisian telah menggunakan hukum untuk mengadudomba Kejaksaan Agung dan majelis hakim. Hal ini terbukti dari putusan hakim yang menggunakan seluruh materi BAP dalam memutuskan pidana kepada pekerja kebersihan ISS dan dua guru JIS.

"Tuduhan kekerasan seksual terhadap tiga siswa JIS adalah sebuah rekayasa sistematis. Prosesnya yang begitu singkat dan informasi yang berubah-ubah menjadi bukti bahwa kasus ini murni kriminalisasi dengan motif utama materi,” ujar Haris, masih berdasarkan siaran pers yang disampaikan oleh pihak JIS.

Menurut Haris, dari pantauan KontraS, persidangan terhadap pekerja kebersihan ISS dan dua guru JIS hanya menguatkan cerita dalam BAP. Sementara fakta-fakta lain dari saksi dan ahli selalu diabaikan. Bahkan, munculnya fakta media yang mengungkap tidak adanya sodomi pada salah satu korban juga diabaikan.

Seperti diketahui pada Kamis (2/4/), majelis hakim yang diketuai oleh Nuraslam Bustaman dengan anggota Achmad Rivai, SH. dan H. Baktar Jubri Nasution SH. telah menjatuhkan vonis bersalah kepada keduaanya. Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong masing-masing dihukum pidana penjara selama 10 tahun dan membayar denda senilai Rp 100 juta subsider 6 bulan masa tahanan.

Sementara kelima pekerja kebersihan PT ISS divonis 7-8 tahun penjara. Mereka adalah Agun Iskandar, Zainal Abidin, Syahrial, Afriska dan Virgiaman Amin. Orang-orang miskin ini juga diwajibkan membayar ganti rugi Rp 100 juta
sibsider 6 bulan penjara.

Dalam putusan perkara Neil, majelis hakim yang menangani perkara Neil justru berpendapat bahwa “gencarnya” bantahan pihak guru JIS itu bahwa mereka tidak bersalah justru menguatkan keyakinan majelis hakim bahwa mereka bersalah dalam kasus pencabulan. Majelis menyebut bantahan-bantahan itu sebagai bukti petunjuk.

Tags:

Berita Terkait