Kasus BLBI, KPK Dalami Surat Keputusan Dorodjatun Saat Jadi Ketua KKSK
Berita

Kasus BLBI, KPK Dalami Surat Keputusan Dorodjatun Saat Jadi Ketua KKSK

Dorodjatun enggan berbicara banyak soal pemeriksaannya.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Dorodjatun Kuntjoro-Jakti memenuhi panggilan sebagai saksi atas perkara dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Lukuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI). Ia diperiksa untuk tersangka Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). 

 

Mantan Menko Perekonomian ini diperiksa mulai pukul 10.00 WIB dan keluar pada pukul 11.30 WIB. Usai menjalani pemeriksaan, Dorodjatun enggan berbicara banyak. "Tanya KPK saja," ujarnya. 

 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya mendalami pengetahuan Dorodjatun pada saat menjabat Menko Perekonomian sekaligus Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) periode 2001-2004. "Di antaranya surat-surat yang dterbitkan KKSK saat itu," terang Febri. 

 

Dalam surat dakwaan mantan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung, nama Dorodjatun turut disebut melakukan perbuatan korupsi bersama-sama dengan Sjamsul dan Itjih Nursalim dalam kasus SKL BLBI yang merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. 

 

Terkait surat keputusan KKSK yang disinggung Febri, dalam dakwaan ini memang diterangkan selaku Ketua KKSK pada 13 Mei 2002, Dorodjatun menetapkan keputusan yang di antaranya mempercepat proses penanganan aset AMK (Aset Manajemen Kredit). Kemudian dalam rangka meningkatkan tingkat pengembalian BPPN, seluruh portofolio aset AMK yang masih dalam penanganan litigasi, tetapi belum masuk proses pengadilan wajib diserahkan kepada program penjualan aset AMK.

 

Pada 7 Oktober 2002, Dorodjatun kembali mengeluarkan penetapan yang memutuskan mengenai Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) milik Sjamsul Nursalim. Pertama, kewajiban Sjamsul untuk melakukan pembayaran dimuka sebesar Rp1 triliun. Sjamsul diminta untuk segera menyelesaikan kekurangan pembayaran kewajiban sebesar Rp428 miliar.

 

Selain itu Sjamsul juga diminta untuk segera melakukan penyempurnaan pengalihan aset yang telah diperjanjikan sesuai MSAA. Dan ketiga BPPN diminta untuk melaporkan rincian lebih lanjut mengenai PKPS Sjamsul termasuk pelaksanaan Financial Due Diligance (FDD) dan penyelesaian permasalahan PT Dipasena Citra Darmadja (DCD), perusahaan yang dipegang Sjamsul.

 

Baca:

 

Pada 19 Januari 2004, Syafruddin mengirim ringkasan eksekutif mengenai Penyelesaian Hutang Petambak Plasma kepada KKSK yang isinya meminta lembaga itu untuk memperhatikan sejumlah hal. Pertama, penghapusan porsi hutang unsustainable petambak plasma dengan memperhatikan ketentuan dalam PP 17 Tahun 1999. Kemudian BPPN berperan dalam hal memenuhi tanggung jawab sosial sekitar 11 ribu petambak plasma. Atas usulan BPPN tersebut, KKSK tidak membahas dan tidak mengeluarkan putusan.

 

Dorojatun juga hadir bersama Syafruddin dalam rapat terbatas (ratas) dengan Megawati Soekarnoputri yang ketika itu menjadi Presiden RI pada 11 Februari 2004. Dalam rapat tersebut, Syafruddin menerangkan hutang petambak sebesar Rp3,9 triliun, yang bisa dibayar adalah sebesar Rp1,1 triliun. Sisanya Rp2,8 triliun diusulkan untuk di-write off (dihapusbukukan).

 

Syafruddin kembali mengirimkan ringkasan eksekutif kepada KKSK yang pada pokoknya mengusulkan penghapusan hutang petambak plasma sebesar Rp2,8 triliun sesuai Sidang Kabinet Terbatas. Padahal, dalam sidang itu tidak ada kesimpulan untuk menghapuskan hutang.

 

Meskipun ia juga mengikuti sidang kabinet dan mengetahui tidak ada keputusan menghapus hutang, Dorojatun justru menyetujui nilai hutang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp100 juta. Nilai ini sama dengan angka Rp1,1 triliun yang dijelaskan Syafruddin dalam rapat terbatas dan juga hutang Rp2,8 triliun dihapuskan.

 

Dalam perkara ini hanya Dorojdatun yang masih berstatus sebagai saksi, sementara dua orang lain yang disebut bersama-sama dengan Syafruddin yaitu Sjamsul dan Itjih Nursalim telah ditetapkan sebagai tersangka. Syafruddin sendiri berstatus terdakwa setelah sebelumnya PT DKI Jakarta memperberat hukumannya dari 13 tahun denda Rp700 juta subsider 3 bulan menjadi 15 tahun denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan.

Tags:

Berita Terkait