Kasasi atas Vonis Bebas, Yurisprudensi yang Menerobos KUHAP
Fokus

Kasasi atas Vonis Bebas, Yurisprudensi yang Menerobos KUHAP

Pihak yang pertama kali menerobos pasal 244 KUHAP justru eksekutif, dalam hal ini Menteri Kehakiman. Menteri mengeluarkan pedoman KUHAP yang dalam lampirannya menyebut kasasi atas vonis bebas dapat diajukan demi hukum, keadilan dan kebenaran.

Mys/Mon/CR1
Bacaan 2 Menit

 

Pengamat hukum acara pidana, T. Nasrullah, juga memastikan istilah bebas murni dan bebas tidak murni tidak dikenal dalam KUHAP. Pasal 244 KUHAP pun hanya menggunakan kata ‘bebas'. KUHAP tidak mengenal putusan bebas murni atau tidak murni, ujarnya kepada hukumonline.

 

Lalu darimana jaksa mengartikan vonis bebas Muchdi adalah bukan bebas murni? Subjektivitas jaksa sangat berperan. JPU sering mengartikan sendiri suatu vonis bebas adalah bukan bebas murni tanpa argumentasi yang jelas dan kuat. Hanya sebagai tangga untuk mengajukan kasasi, kata Nasrullah.

 

Menurut Nasrullah, rezim bebas murni dan tidak bebas murni itu berasal dari yurisprudensi dan doktrin. Pada 15 Desember 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 275 K/Pid/1983 (dikenal sebagai kasus Natalegawa). Inilah yurisprudensi pertama yang menerobos larangan kasasi atas vonis bebas. Dalam putusan perkara ini, MA menerima permohonan kasasi jaksa atas vonis bebas terdakwa Natalegawa yang dijatuhkan PN Jakarta Pusat. Pertimbangan MA: demi hukum, keadilan dan kebenaran maka terhadap putusan bebas dapat dimintakan pemeriksaan pada tingkat kasasi. Nanti, MA-lah yang memutuskan apakah suatu putusan bebas murni atau bebas tidak murni.

 

Namun, menurut mantan hakim agung M. Yahya Harahap, penerobosan pasal 244 KUHAP pertama kali datang bukan dari MA, melainkan dari Pemerintah (eksekutif). MA justeru menyambut positif kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah kala itu. Dalam bukunya Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (edisi kedua), Yahya Harahap menunjuk Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: (i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.

 

Sebagaimana diketahui, lima hari setelah SK Menteri Kehakiman itu keluar, MA menyambutnya dengan menerima permohonan kasasi JPU dalam perkara Natalegawa. Berdasarkan yurisprudensi itulah muncul istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Suatu putusan ditafsirkan bebas murni jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak didukung alat bukti yang sah. Putusan bebas murni artinya sama sekali tidak terbukti tindak pidananya, jelas Nasrullah.

 

Sebaliknya, dijelaskan Yahya Harahap, suatu putusan dikatakan bebas tidak murni –lazim juga disebut pembebasan terselubung (verkapte vrispraak)—apabila suatu putusan bebas didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam dakwaan. Bisa juga kalau dalam menjatuhkan putusan pengadilan terbukti melampui wewenangnya.

 

Satu hal yang jelas, penuntut umum sudah mengajukan kasasi. Kini, semua pihak menunggu MA bekerja sesuai dengan wewenangnya. Apakah argumentasi JPU cukup kuat, tentu saja MA yang akan menilai.

Halaman Selanjutnya:
Tags: