Karyawan Chevron Terbukti Rugikan Negara
Berita

Karyawan Chevron Terbukti Rugikan Negara

Hakim anggota dua menyatakan tak sependapat dengan dakwaan penuntut umum.

INU
Bacaan 2 Menit
Kukuh Kertasafari (kiri) bersama pengacaranya, Maqdir Ismail (kanan) usai sidang pembacaan vonis. Foto: SGP
Kukuh Kertasafari (kiri) bersama pengacaranya, Maqdir Ismail (kanan) usai sidang pembacaan vonis. Foto: SGP

“Kami pikir-pikir,” kata Jaksa Surma ketika ditanya wartawan akan putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (17/7) dengan terdakwa Kukuh Kertasafari. Terdakwa adalah Team Leader Produksi di Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pacific Indonesia.

Majelis hakim terpaksa mengambil keputusan secara voting berdasarkan Pasal 182 KUHAP untuk menjatuhkan hukuman dua tahun penjara bagi terdakwa. Ditambah denda Rp100 juta subsider tiga bulan kurungan. Lantaran, anggota hakim dua, Slamet Subagyo berbeda pendapat dengan Ketua Majelis Sudharmawatinigsih dan anggota hakim satu Antonius Widiantoro.

Dua hakim menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan seperti dakwaan subsidair penuntut umum. Yaitu, Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) kesatu jo Pasal 64 KUHP.

Menurut dua hakim, selain sebagai team leader produksi SLS, Kukuh diangkat sebagai koordinator tim penanganan isu sosial/lingkungan (Environmental Isues Settlement Team/EIST) SLS Minas PT CPI. Tugas tim tersebut diantaranya mengoordinir departemen di SLS tentang klaim tanah yang diduga terkontaminasi akibat kegiatan produksi masa lalu.

Periode Oktober 2009-2012, terdakwa menetapkan 28 lahan terkontaminasi minyak sebagai tanah terkontaminasi limbah minyak (COCS). Penetapan itu dilakukan tanpa pengujian secara benar terhadap konsentrasi tanah tercemar, Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) yang tidak sesuai dengan Kepmen LH No. 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis. Pada peraturan tersebut tertulis, konsentrasi maksimum TPH awal sebelum proses pengolahan biologis tidak lebih dari 15 persen.

Setelah penetapan 28 lokasi itu, Kukuh menghubungi Herland, direktur PT Sumigita Jaya (PTSJ). Kemudian, bersama-sama Tim IMS-REM melakukan pembersihan/pengangkatan tanah menggunakan dump truck milik PTSJ dari beberapa sumber di tiga titik. Kemudian, PTSJ melakukan pekerjaan bioremediasi yang diperoleh dari CPI.

Proyek tersebut, menurut dua hakim seharusnya tak dilakukan. Apalagi diperkuat oleh pengujian sampling tanah terkontaminasi minyak bumi CPI, pada 25 Juli 2012 oleh tim ahli bioremediasi yaitu Edison Effendi, Bambang Iswanto, dan Prayitno. Temuan tim menunjukkan bahwa tanah yang dijadikan sampel dinyatakan terpapar minyak mentah tidaklah benar. Kukuh dan Herland tetap menjalankan proyek bioremediasi. Apalagi, PTSJ tak memiliki kompetensi teknis mengelola limbah.

Kukuh mengetahui izin CPI melaksanakan pekerjaan bioremediasi berakhir setelah penetapan 28 menjadi COCS. Bahkan terdakwa melaporkan pada Tim Teknis Penanganan Lahan Terkena Tumpahan Minyak Mentah yang dipimpin Endah Rumbiyanti, bahwa pekerjaan dilakukan dengan baik dan secara benar.

Laporan tersebut tidak ditindaklanjuti Endah dengan pemeriksaan lapangan. Alhasil, proyek yang diberikan PTSJ dinilai fiktif karena tidak ada pekerjaan namun tetap dibayar CPI.

Semua biaya ganti rugi pembebasan tanah terkontaminasi dibebankan pada negara, melalui cost recovery sebesar Rp5.405.128.828. Hal itu tertuang dalam Production Sharing Contract (PSC) 15 Oktober 1992. Tersebut pembebanan cost recovery kegiatan bioremediasi termasuk dalam golongan biaya noncapital, yaitu pembayaran seketika jika vendor atau rekanan sudah menerima pembayaran dari CPI.

Tapi, hakim ad hoc Slamet Subagyo berpendapat lain. Dia menyatakan sependapat tidak menggunakan dakwaan primair untuk menghukum terdakwa seperti sikap dua hakim lain. Menyoal dakwaan subsidair, dia menekankan pendapatnya tentang unsur menyalahgunakan wewenang.

Menurutnya, di persidangan, para saksi maupun terdakwa menerangkan, terdakwa tidak ikut menetapkan 28 lahan tanah terpapar. “Melainkan ditetapkan tim IMS-REM dan tanpa perintah terdakwa,” urainya.

Begitu pula tak ada kewenangan terdakwa dalam proses bioremediasi karena yang melakukan adalah tim IMS-REM. Menurut Slamet, kewenangan terdakwa hanya sampai pembayaran ganti rugi pada 28 pemilik lahan yang terkontaminasi limbah minyak. “Pembayaran lahan dan proses bioremediasi adalah dua hal berbeda,” imbuhnya.

Sehingga, lanjut Slamet, tak ada kewenangan yang dilanggar terdakwa. Karena pertimbangan itu lanjut hakim anggota tiga ini, dia menyatakan tak sependapat dengan surat dakwaan maupun surat tuntutan penuntut umum.

Sedangkan Kukuh dan tim pengacara menyatakan tegas, “Kami banding.”

Tags:

Berita Terkait