Karyawan Chevron Ketiga yang Dinyatakan Bersalah
Berita

Karyawan Chevron Ketiga yang Dinyatakan Bersalah

Tidak ada suara dominan, pengacara pertanyakan mekanisme voting majelis.

NOV
Bacaan 2 Menit
Widodo (kiri) didampingi pengacaranya, Dasril Affandi. Foto: NOV
Widodo (kiri) didampingi pengacaranya, Dasril Affandi. Foto: NOV

Widodo, karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ketiga yang dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Jumat (19/7), Team Leader Waste Management Sumatera Light North (SLN) CPI itu dinyatakan bersalah melakukan perbuatan dalam dakwaan subsidair penuntut umum, Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP dalam pelaksanaan proyek bioremediasi CPI.

“Terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp200 juta subsidair tiga bulan kurungan,” kata Ketua Majelis Hakim, Sudharmawatiningsih.

Putusan ini diambil melalui suara terbanyak karena saat musyawarah, majelis tidak mencapai mufakat. Sudharmawatiningsih dan hakim anggota Antonius Widijantono sepakat Widodo dikenakan dakwaan subsidair, sedangkan tiga hakim anggota lainnya, Anas Mustaqim, Slamet Subagyo, dan Sofialdi menyatakan pendapat berbeda.

Dalam pertimbangannya, Sudharmawatiningsih dan Antonius menguraikan, pengadaan proyek bioremediasi CPI selaku KKKS BP Migas, harus mengacu pada Pedoman Tata Kerja (PTK) No.007/PTK/VI/2004 yang telah direvisi menjadi PTK No.007 Rev-1/IX/2009 tentang Pengelolaan Rantai Suplai KKKS.

Saat proses pengadaan, Widodo ikut memberikan penjelasan bersama panitia pengadaan mengenai kegiatan bioremediasi kepada peserta lelangdiantaranya PT Sumigita Jaya (SJ) dan PT Green Planet Indonesia (GPI). Padahal, sesuai Bab I huruf angka 2 huruf g angka 6 PTK No.007/PTK/VI/2004, Pre Bid Meeting (rapat penjelasan) merupakan tugas dan tanggung jawab panitia pengadaan.

Selain itu, Widodo selaku Field Construction Reprecentative di SLS dan unsur pengguna (user) untuk kegiatan bioremediasi di wilayah operasi SLS, bersama atasannya Damian Tice membuat dan menandatangani Harga Perkiraan Sendiri (HPS) senilai AS$7,296 juta pada 20 Februari 2008.

Menurut Sudharmawatiningsih, pembuatan HPS tersebut hanya mengacu pada HPS pekerjaan sebelumnya tanpa mempertimbangkan secara cermat ketentuan tata cara penyusunan HPS yang diatur dalam PTK 007/2004. Widodo membuat HPS setelah masuknya dokumen penawaran dari para peserta lelang.

Sementara, sesuai Surat BP Migas No.1246/BPD300/2007 tanggal 8 November 2007, HPS harus dibuat sebelum proses lelang. SJ memasukkan harga penawaran AS$6,248 juta pada 4 Februari 2008. Panitia pengadaan menetapkan SJ sebagai pemenang lelang karena memberikan penawaran terendah.

Untuk mewujudkan kerjasama pelaksanaan bioremediasi di SLS, perwakilan CPI, Jefrey Shelberger dan Direktur SJ Herland, menandatangani kontrak No.7861 OK senilai AS$6,872 juta untuk jangka waktu tiga tahun. Widodo kemudian berpindah tugas sebagai Team Leader Waste Management SLN pada 1 Agustus 2008.

Meski tidak lagi menjadi petugas lapangan SLS, Widodo tetap menjadi user untuk kegiatan di SLS. Saat Widodo bertugas sebagai Team Leader Waste Management SLN, CPI dan Direktur GPI Ricksy Prematuri menandatangani Kontrak No.6841-OK senilai AS$1,689 juta dan Kontrak Bridging No.C-905608 senilai AS$608,579 ribu.

Antonius menyatakan, selaku Team Leader Waste Management SLN sekaligus user, Widodo bertugas menangani operasional beberapa wilayah Soil Bioremediation Facility (SBF) SLN, termasuk di Libo, Pematang, dan Mutiara. Widodo bertanggung jawab terhadap pelaksanaan bioremediasi yang dilakukan GPI.

Sesuai akta pendirian perusahaan, GPI dan SJ hanya kontraktor umum yang menyediakan jasa konstruksi meliputi pekerjaan sipil, pengurukan tanah, bendungan, pemipaan, dan elektrikalsesuai akte perusahaan.Padahal, pengadaan kegiatan bioremediasi memerlukan persyaratan khusus, salah satunya izin dari Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen LH). GPI dan SJ tidak memiliki izin pengolahan limbah B3 sebagaimana dipersyaratkan PP No.18 Tahun 1999. Izin CPI juga telah berakhir dan belum mendapat perpanjangan dari Kemen LH.

Kedua rekanan CPI juga tidak mengikuti tata cara pengolahan tanah terkontaminasi minyak mentah sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (3) lampiran II Kepmen LH No.128 Tahun 2003. Keduanya tidak melakukan analisa untuk mengidentifikasi jumlah, jenis, dan sifat mikroorganisme pengurai kontaminan.

Sesuai hasil pengujian sampel yang dilakukan tim ahli bioremediasi, diantaranya Edison Effendi, disimpulkan bahwa kandungan Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) dari sampel tanah di SLS Minas 1,73 persen dan di SLN Duri 0,4783-0,5255 persen. Tanah tersebut tidak perlu dibioremediasi karena kadar TPH tidak lebih dari 15 persen.

Lebih dari itu, tim ahli bioremediasi tidak menemukan mikroorganisme pendegradasian minyak dan tidak terjadi penurunan TPH setelah 14 hari pada stock pile SLS. Dengan kata lain tanah pada tidak pernah terkontaminasi minyak, sehingga tak perlu bioremediasi.

Namun, CPI telah membayarkan semua biaya kegiatan bioremediasi kepada SJ dan GPI. Sesuai Production Sharing Contract (PSC) BP Migas dan CPI, pembebanan biaya bioremediasi diatur melalui cost recovery.  Biaya itu dimasukkan dalam financial quarterly report (FQR) ke BP Migas.

Akibat perbuatan Widodo yang memperkaya SJ dan GPI, BPKP menghitung kerugian negara AS$8,763 juta. “Biaya dari pekerjaan yang tidak sah dan melawan hukum itu, seharusnya menjadi hak bagi negara yang dipertimbangkan melalui mekanisme cost recovery antara CPI dengan negara,” ujar Antonius.

Keliru Tempus Delicti
Sedangkan hakim anggota Anas berpendapat, perbuatan Widodo memenuhi unsur-unsur dalam dakwaan primair, Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara, Slamet dan Sofialdi menganggap Widodo tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair maupun subsidair.

Slamet menyatakan, tempus delicti yang diuraikan penuntut umum tidak sesuai fakta-fakta di persidangan. Penuntut umum keliru menyebut tanggal pengumuman pemenang lelang dan periode jabatan Widodo.

Selain itu, pengumuman pemenang lelang ditandatangani panitia pengadaan. Widodo tidak terlibat dan tidak memiliki tanggung jawab apapun terkait pengumuman lelang. Mengenai penyusunan HPS pada 20 Februari 2008, posisi Widodo selaku Field Construction Reprecentative SLS hanya membantu memberikan informasi lapangan.

Saat tim manajer, Damian Tice menyusun HPS, Widodo masih sebagai Field Construction Reprecentative SLS dan bukan Team Leader Waste Management SLN. “Maka, sangat mustahil apabila terdakwa menyalahgunakan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukan”, kata Slamet.

Senada, Sofialdi mengungkapkan, saat panitia pengadaan menetapkan pemenang lelang untuk proyek SLS, Widodo telah dipindahkan ke SLN. Widodo sempat ikut memberikan penjelasan kepada peserta klelang karena diminta panitia. Selaku petugas lapangan, Widodo mengetahui situasi dan lokasi tanah terkontaminasi minyak.

Widodo juga menandatangani HPS atas permintaan atasannya, Damian Tice. Penandatangan dilakukan pula oleh pejabat berwenang sesuai PTK No.007/PTK/VI/2004. Kemudian, dalam pelaksanaan bioremediasi, tidak ada satu pasal pun dalam Kepmen LH No.128 Tahun 2008 yang mengatur pengawasan terhadap kontraktor.

Sofialdi melanjutkan, mengenai izin pengolahan limbah, PT CPI telah mengajukan perpanjangan sebelum izin berakhir. Terlepas perpanjangan belum diterbitkan Kemen LH, bukan kewenangan Widodo untuk memaksa Kemen LH segera menerbitkan izin, sehingga tidak ada dasar hukumnya mempersalahkan Widodo.

“Terkait hasil pengujian yang dilakukan Edison Effendi dkk adalah suat kesimpulan yang didasarkan pada pendapat ahli yang keliru, tidak independen, dan belum teruji keahliannya. Hasil itu telah terbantahkan pula oleh pendapat ahli bioremediasi yang dihadirkan penasihat hukum terdakwa,” ujarnya.

Sofialdi menambahkan, sesuai PSC, CPI dan BP Migas berlaku mekanisme audit apabila terjadi permasalahan, termasuk kemahalan harga. Sanksi yang berlaku hanyalah sanksi administrasi, sehingga sepanjangan perbuatan yang dilakukan Widodo terkait pedoman tata kerja, tidak dapat dituntut sebagai tindak pidana korupsi.

Namun, majelis hakim mengambil putusan dengan suara terbanyak (voting). Widodo tetap dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan subsidair. Menanggapi putusan majelis, Widodo menyatakan banding. Dia merasa tidak bersalah karena sudah melakukan pekerjaan sesuai ketentuan yang berlaku.

“Saya dan kawan-kawan hakul yakin tidak bersalah. Kami sudah melakukan pekerjaan sesuai dengan Kepmen LH No.128 Tahun maupun yang diatur BP Migas. Bukti-bukti sudah sangat jelas di persidangan. Misalkan saya dihukum memang kehendak Allah, saya akan jalani. Mungkin akan ada hikmahnya di balik ini semua,” tuturnya.

Pengacara Widodo, Dasril Affandi mempertanyakan mekanisme pengambilan keputusan dengan suara terbanyak. Pasalnya tidak ada suara yang mendominasi. Sesuai Pasal 182 ayat (6) huruf b KUHAP, apabila tidak ada suara terbanyak, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

Selain itu, Dasril meyakini pekerjaan bioremediasi yang dilakukan CPI sudah sesuai ketentuan, mulai dari penyusunan anggaran hingga pelaksanaan. Pekerjaan telah sesuai Kepmen LH No.128 Tahun 2003. Tidak seharusnya majelis menggantungkan pada pendapat ahli Edison Effendi yang penuh konflik kepentingan.

“Tidak tahu background-nya sebagai akademisi, praktisi, atau pengusaha yang kalah tender. Kita telah menguji keahlian Edison dengan ahli yang jelas integritasnya. Semua menjelaskan, proses bioremediasi secara teknis telah dilakukan sesuai Kepmen LH No.128 Tahun 2003 dan aturan-aturan lainnya,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait