Kapolri Siap Memidanakan Orang yang Menghalangi Pemeriksaan Ombudsman
Berita

Kapolri Siap Memidanakan Orang yang Menghalangi Pemeriksaan Ombudsman

Polri bisa terapkan ketentuan pidana dalam Pasal 44 UU No.37 Tahun 2008.

NOV
Bacaan 2 Menit
Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana dan Kapolri Jenderal Pol Sutarman menandatangani nota kesepahaman di Gedung Ombudsman, Jakarta, Selasa (9/9).  Foto: RES
Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana dan Kapolri Jenderal Pol Sutarman menandatangani nota kesepahaman di Gedung Ombudsman, Jakarta, Selasa (9/9). Foto: RES
Kapolri Sutarman mengatakan Polri bersedia memberikan pendampingan, bahkan memidanakan siapapun yang menghalang-halangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan. Hal ini dilakukan dalam rangka kerja sama Ombudsman dan Polri, serta menjalankan ketentuan UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.

Ia menyebut ketentuan pidana tersebut diatur dalam Pasal 44 UU No.37 Tahun 2008. Sesuai ketentuan Pasal 44, setiap orang yang menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar.

“Jadi, kalau Polri melakukan penegakan hukum terhadap Pasal 44 adalah menjalankan undang-undang. Jangan disebut mengkriminalisasi. Ini kerja sama sekaligus bantuan teknis Polri terhadap Ombudsman apabila ada saksi atau terlapor yang diundang atau dipanggil, tapi tidak datang. Itu ada ancaman pidananya,” katanya, Selasa (9/9).

Menurut Sutarman, bantuan teknis itu merupakan tindak lanjut untuk memenuhi kesepakatan yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Ombudsman dan Polri. Dalam menjalankan tugasnya, Ombudsman kerap dihadapkan pada para terlapor dan saksi yang tidak mengindahkan panggilan Ombudsman.

Oleh karena itu, dalam MoU kali ini, selain mengatur kerja sama dalam penyelesaian laporan dan pengaduan masyarakat, juga mengatur pemberian bantuan teknis dari kepolisian untuk menghadirkan terlapor atau saksi secara paksa, apabila terlapor atau saksi tersebut tidak memenuhi panggilan Ombudsman tiga kali berturut-turut.

Sutarman menyatakan dalam kondisi seperti itu, Polri akan menyiapkan sepenuhnya bantuan teknis untuk mendampingi petugas Ombudsman. Namun, Polri tidak bisa melakukan pemanggilan paksa sebagaimana layaknya pemanggilan paksa dalam upaya penanganan perkara tindak pidana di kepolisian.

Seperti pengalaman Polri sebelumnya. Polri juga tidak bisa melakukan pemanggilan paksa terhadap sejumlah pihak yang dipanggil DPR untuk didengar keterangannya, walau DPR beberapa kali mengirimkan surat kepada Polri untuk menghadirkan secara paksa. Pasalnya, jika Polri melakukan hal itu, maka Polri akan melanggar undang-undang.

Sutarman menjelaskan, pemanggilan paksa yang dikenal Polri adalah tindakan proyustisia untuk kepentingan penyidikan. Berbeda dengan pemanggilan paksa yang dilakukan petugas Ombudsman. Dalam situasi itu, Polri hanya bisa memberikan pendampingan jika petugas Ombudsman membutuhkan untuk pemanggilan seseorang.

“Kalau seandainya dalam pemanggilan itu dikhawatirkan akan terjadi perlawanan dan menimbulkan masalah, baru kita dampingi. Kalau sudah didampingi, bukan kami yang membawa. Itu melanggar undang-undang. Tapi, kalau sudah tiga kali tidak hadir, mungkin Ombudsman melaporkan kepada kami,” ujarnya.

Dengan demikian, Sutarman berpendapat, apabila seorang terlapor atau saksi tidak mengindahkan panggilan Ombudsman tiga kali berturut-turut, perbuatan itu bisa dikategorikan melanggar Pasal 44. Ombudsman dapat melaporkan kepada Polri, sehingga Polri akan melakukan penyidikan terhadap dugaan pidana tersebut.

Sutarman juga tidak mau tebang pilih dalam menerapkan ketentuan Pasal 44. Ia memastikan Polri akan memberikan sikap yang sama apabila terlapor atau saksi itu adalah salah satu anggota Polri. Sejauh ini, jika ada anggota Polri yang dipanggil Ombudsman, Polri langsung menyelesaikan dan melakukan klarifikasi.

Di lain pihak, Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana mengapresiasi Polri yang selalu cepat memberikan respon terhadap pemanggilan Ombudsman. Ia mengungkapkan bahwa Polri merupakan salah satu institusi yang paling cepat memberikan respon atas aduan masyarakat, yaitu 14 hari sesuai ketentuan undang-undang.

Terkait kerja sama bantuan teknis, Danang mengatakan, walau bantuan teknis Polri tidak dapat dilakukan sebagaiman layaknya pemanggilan paksa dalam upaya penyidikan, setidaknya aparat kepolisian dapat memberikan pendampingan bagi petugas Ombudsman dalam rangka menghadirkan terlapor atau saksi.

Ia berharap Polri dan Ombudsman dapat bersinergi untuk melaksanakan kewenangan-kewenanga yang diatur dalam ketentuan UU No.32 Tahun 2008. Ia mengakui dalam ketentuan pidana, tidak dikenal sebutan “terlapor” dalam konteks administrasi pelayanan publik. Yang dikenal hanya sebutan “tersangka” dan “terdakwa”.

Untuk itu, Danang mengajak Polri membangun suatu mekanisme pendampingan.  “Kewenangan itu tidak bisa berjalan dengan baik apabila kami tidak dibantu oleh kepolisian. Paling tidak mendampingi petugas kami dalam dalam rangka menghadirkan si terlapor yang terus-menerus ngeyel. Ini susah sekali,” tuturnya.

Danang menegaskan, sudah saatnya republik ini menghargai masyarakatnya. Keluhan masyarakat merupakan bagian penting untuk menyelenggarakan perbaikan kualitas layanan publik. Semakin keluhan masyarakat diabaikan, penyelenggara pelayanan publik akan semakin jumawa dan merasa tidak perlu mendengarkan aspirasi publik.
Tags:

Berita Terkait