Kantor Pajak Ungkap Penyelewengan PPN Rp29 Miliar
Berita

Kantor Pajak Ungkap Penyelewengan PPN Rp29 Miliar

Fenomena ini sudah sangat marak terjadi.

MVT
Bacaan 2 Menit
Dirjen Pajak ungkap penyelewengan PPN Rp 29 Milyar.<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)
Dirjen Pajak ungkap penyelewengan PPN Rp 29 Milyar.<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Jakarta Utara berhasil mengungkap penyelewengan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp29 miliar oleh perusahaan berinisial PT LBC yang beroperasi di daerah Tanjung Priok. Dua pegawai perusahaaan itu, AGT dan DM, ditangkap berkat kerjasama dengan Polda Metro Jaya, Kamis (12/5).

 

Menurut Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak Kanwil Jakarta Utara, Edward Sianipar, perusahaan perdagangan ini beromset Rp290 miliar. Namun, ada ketidakwajaran dalam pembayaran Pajak Pertambahan Nilai perusahaan ini.

 

Dengan omzet sebesar itu, Edward mengatakan PT LBC seharusnya membayar PPN sebesar Rp29 miliar per tahunnya. Namun, selama periode 2007-2009, perusahaan ini hanya membayar sebesar Rp6 juta.

 

“Artinya kan sebulan pajak mereka hanya sekitar Rp500 ribu. Tidak wajar perusahaan besar bayar pajaknya segitu,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (13/5).

 

Ternyata, ungkap Edward, petugas penyidik pajak menemukan PT LBC menerbitkan faktur pajak fiktif sehingga dimanfaatkan untuk memanipulasi pajak pertambahan nilai yang harus dibayar ke negara.

 

Perusahaan tersebut hanya menerbitkan faktur pajak keluaran kepada pihak lain yang membutuhkan dan sebaliknya penyidik menemukan faktur masukan yang ke PT LBC tanpa ada transaksi bisnis yang sebenarnya. Faktur pajak fiktif itu dibukukan per bulan dan dibuatkan fisiknya atas nama PT LBC sehingga seolah-olah ada penjualan atau pembelian barang dagangan.

 

Atas perbuatannya ini, kata Edward, AGT dan DM terancam pidana sesuai UU Ketentuan Umum Perpajakan. Dalam Pasal 39 ayat (1) huruf f UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dipidana dengan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun.

 

Sanksi ini dtambah dengan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. “Artinya, Rp29 miliar dikali empat,” jelasnya.

 

Perusahaan tersebut, kata Edward, diduga telah melakukan tindakan penerbitan faktur pajak tidak sah mulai 2007 hingga awal 2011. Namun, jumlah kerugian negara senilai Rp29 miliar itu dihitung mulai tahun pajak 2007-2009 dan berdasarkan evaluasi sejak 2010.

 

Untuk memuluskan aksinya, AGT dan DM memalsukan alamat PT LBC sehingga ada perbedaan antara alamat resmi yang tertera dengan yang ditemukan petugas pajak.

“Ketika kami memeriksa, awalnya mereka mengaku berada di wilayah Tanjung Priok. Namun saat digeledah, ternyata mereka ada di Gading Nias Residence, Kelapa Gading,” ujar Edward.

 

Modus lama 

Menurut Pengamat Perpajakan Darussalam, faktur fiktif atas PPN memang salah satu kejahatan perpajakan yang banyak dilakukan pengusaha kena pajak. “Fenomena ini bukan hal baru, sudah sangat marak terjadi,” katanya.

 

Darussalam menjelaskan, rumus perhitungan PPN merupakan hasil pengurangan pajak keluaran dengan pajak masukan. Kebanyakan pengusaha kena pajak ‘bermain’ di faktur pajak masukan.

 

Modus paling sering adalah memperbesar pajak masukan atas pembelian barang tanpa ada transaksi sebenarnya. “Jadi perusahaan seolah-olah membeli barang dan sudah membayarkan PPN, sehingga mendapat faktur pajak masukan,” jelasnya.

 

Bahkan, Darussalam mengatakan ada orang atau perusahaan yang mengkhususkan diri untuk menjual faktur fiktif pajak masukan ini. Mereka menyediakan faktur pajak masukan untuk perusahaan yang ingin mendapat faktur fiktif. “Hal ini disebabkan sistem pajak di Indonesa self-assesment. Jadi kesempatan untuk itu sangat terbuka. Baru ketahuan jika diperiksa oleh petugas pajak dengan mendalam,” pungkasnya.

 

Bulan Maret lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat baru menghukum seorang terdakwa penerbitan faktur fiktif bernama Subandi Budiman alias Aban. Ia dihukum dua tahun penjara dan denda semiliar rupiah karena melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP (dakwaan primer), serta melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf a UU KUP sebagai dakwaan sekunder.

 

Penanganan perkara ini diawali dari hasil penyidikan PPNS DJP Kanwil Jakut, diketahui faktur pajak STSJ yang melaporkan pajak masukan dan keluaran ternyata bermasalah. Kemudian dilakukan pengembangan dari hasil pemeriksaan awal dalam proses penyidikan dan ditemukan dua dugaan tindak pidana.

 

Dugaan pertama, Aban melalui STSJ mengeluarkan faktur pajak lebih dari sepuluh perusahaan yang menjual produk-produk mereka pada perusahaan lain. Keberadaan perusahaan penjual maupun pembeli memang benar adanya. Tapi, Aban membuat faktur pajak transaksi jual beli oleh kedua pihak yang tak pernah diakui oleh perusahaan penyuplai dan pembeli.

 

Oleh Aban, sejumlah faktur pajak fiktif digunakan untuk restitusi PPN, sesuai UU No 49 Tahun 2009 tentang PPN. Namun, upaya Aban terendus pemeriksa pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pademangan, Jakarta Utara. Kemudian hal itu dilaporkan pada Kanwil DJP Jakarta Utara yang kemudian melakukan tindakan secara hukum sehingga Aban divonis dua tahun.

 

Sedangkan modus lain adalah menerbitkan faktur pajak bermasalah, atas nama perusahaan fiktif. Kemudian, faktur bodong itu dijual Aban pada pengguna faktur pajak bermasalah lain. “Sudah ada terdakwa yang kini menjalani proses penuntutan di PN Jakarta Utara,” sebut Edward. Kemudian, faktur pajak tersebut pengguna lain untuk meminta restitusi, mengurangi setoran PPN, dan digunakan pada pengguna lain.

Tags: