Kandidat Menkumham Sebaiknya Kalangan Profesional
Utama

Kandidat Menkumham Sebaiknya Kalangan Profesional

Sudah seharusnya Jokowi mengutamakan kandidat Menkumham dari unsur nonparpol agar terbebas dari kepentingan politik dalam proses penyusunan/penataan regulasi. Kalaupun Menkumham dari parpol, tetapi harus memenuhi kriteria profesional di bidang hukum, memiliki rekam jejak yang baik, dan kriteria lainnya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Pertengahan Agustus lalu di Istana Kepresidenan, Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) mengaku telah menyusun desain kabinetnya periode kedua 2019-2024. Komposisi menteri dalam kabinet mendatang 55 persen dari kalangan profesional, sisanya 45 persen dari kalangan partai politik (parpol) yang diantaranya berusia muda, kisaran 25-35 tahun. Selain itu, Jaksa Agung yang saat ini diisi M Prasetyo, yang sebelumnya diketahui kader Partai NasDem, tapi kursi Jaksa Agung dalam kabinet mendatang bakal diisi orang nonparpol.

 

Terlebih, salah satu rekomendasi dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) VI pada Rabu (4/9/2019) lalu, pentingnya membatasi jumlah menteri dari parpol demi memiliki desain kabinet yang lebih efektif dan profesional. Hak prerogatif presiden ini harus dimaknai mutlak pada kriteria/kualifikasi menteri, seperti memiliki pemahaman administrasi negara, kapabilitas, integritas, akseptabilitas, kemampuan penghubung dalam birokrasi, standarisasi proses kerja dan output, dan membangun budaya organisasi.

 

Meski demikian, parpol koalisi bisa atau boleh menyodorkan kader parpol terbaik atau profesional yang terafiliasi dengan parpol untuk menduduki jabatan menteri, namun kriteria itu harus menjadi ukuran pemilihan atau evaluasi menteri oleh presiden. Tak hanya itu, perlu dipikirkan pula adanya pembatasan yang jelas tentang jabatan menteri mana saja yang mesti diisi kalangan profesional atau boleh dimasuki parpol.

 

Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz berharap Jokowi tidak tersandera dengan kepentingan parpol koalisi dalam menentukan kabinet mendatang. Donal mengapresiasi sikap Jokowi yang menyatakan tidak akan memilih Jaksa Agung yang berlatar belakang parpol. Sikap ini, menurut Donal sangat baik agar kebijakan yang dijalankan Jaksa Agung tidak bias kepentingan politik. 

 

Namun, Donal mengusulkan agar Jokowi juga mengambil sikap serupa untuk menteri lain seperti Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) dan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) yang keduanya saat ini dijabat kader parpol. “Jangan sampai ketika nanti Jokowi tidak memilih orang parpol untuk jabatan Jaksa Agung, tapi nanti malah masalahnya pindah ke Menkumham dan Menkopolhukam,” sindirnya. Baca Juga: Tiga Prinsip Penting Presiden Pilih Kabinet

 

Menurut Donal, sudah seharusnya Jokowi mengutamakan kandidat Menkumham dari unsur nonparpol agar terbebas dari kepentingan-kepentingan politik dalam proses penyusunan/penataan regulasi. “Sebaiknya, memang kalangan profesional yang berintegritas, mempunyai track record yang baik, memahami isu hukum dan HAM. Diharapkan, kebijakan-kebijakan Menkumham objektif tanpa tendensi politik.Yang terpenting kriteria Menkumham memiliki kemampuan, kapasitas, integritas yang antikorupsi. Ini menjadi syarat dasar,” katanya.

 

Menkumham butuh relasi DPR

Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menilai secara normatif dalam Pasal 17 UUD 1945 jo Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak mensyaratkan jabatan menteri itu harus dari kalangan parpol politik, profesional, atau karier. Asalkan, ia memenuhi syarat yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan, misalnya figur yang memiliki kemampuan, keilmuan, pengalaman, rekam jejak yang baik.

 

“Tidak semua menteri sumbernya harus dari parpol, tetapi bukan berarti tidak boleh dari unsur parpol. Kuncinya, profesionalitas sesuai kebutuhan kementerian tertentu terlepas apakah menterinya berasal dari parpol atau nonparpol,” ujar Bayu. Baca Juga: Rekomendasi KNHTN ke-6 untuk Presiden, Salah Satunya Terkait Syarat Menteri

 

Meski begitu, dia menilai ada pos kementerian yang potensi konflik kepentingannya sangat tinggi yang sebaiknya tidak diisi kader parpol. Seperti posisi Jaksa Agung, yang seharusnya diisi kalangan nonparpol karena menyangkut aspek penegakan hukum. Berbeda dengan jabatan Menkumham, yang bisa berasal dari kader parpol atau nonparpol karena Kemenkumham mengurusi persoalan hukum di luar penegakan hukum. “Keduanya memiliki plus dan minusnya,” kata dia.

 

Ia beralasan kalau Menkumham berasal dari unsur parpol, dalam hal proses pembentukan Undang-Undang (UU) diperkirakan bakal jauh lebih mulus dukungan politiknya ketimbang nonparpol karena dia sudah memiliki akseptabilitas di DPR. Apalagi, kalau parpolnya dominan di DPR. Artinya, Menkumham butuh relasi dengan parpol di DPR, sehingga jika jabatan Menkumham diduduki orang nonparpol kemungkinan dapat mengalami kesulitan.  

 

Terlepas nantinya Presiden Jokowi memilih Menkumham dari kalangan parpol lagi atau nonparpol, namun baginya terpenting kandidat Menkumham mendatang harus orang profesional yang mempunyai kompetensi di bidang hukum dan HAM. Sebab, jika tidak tentu akan kaget melihat tugas dan fungsi Kemenkumham yang cukup luas hingga membawahi Kanwil Kemenkumham di seluruh Indonesia.

 

“Sosok Menkumham yang baru sebaiknya kalangan profesional baik dari unsur parpol maupun nonparpol dan memiliki rekam jejak yang baik,” sarannya.  

 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indoensia Prof Topo Santoso menilai ruang lingkup tugas Kemenkumham cukup luas, sehingga permasalahan yang ada sangat beragam di masing-masing direktorat, sehingga Menkumham Kabinet Jokowi Jilid II memiliki tantangan tersendiri. Tentunya, kriteria pokok Menkumham Kabinet Jokowi jilid II harus memahami ruang lingkup organisasi dan tata kerja Kemenkumham dengan beragam persoalannya.

 

“Banyak persoalan yang harus dibenahi oleh Menkumham yang baru. Saya lebih berharap Menkumham dari unsur profesional. Misalnya, akademisi bidang hukum, tetapi harus yang mumpuni dan bukan akademisi yang hanya memahami teori saja, tetapi juga memahami tupoksi kelembagaan terutama Kemenkumham,” saran dia.

 

“Kalau bisa Menkumham dari kalangan profesional agar mendapat dukungan luas dari masyarakat, tidak mempunyai kasus atau terlibat masalah hukum, dan betul-betul mendapatkan legitimasi dari publik.”

 

Dia mengakui kelemahan Menkumham dari kalangan profesional terkadang minim akses ke DPR, sehingga dikhawatirkan ada kebuntuan dalam hal komunikasi. Namun, dia melihat banyak tokoh dan profesional dari kalangan akademisi yang “jago” (mampu) melakukan komunikasi dengan DPR.

 

“Jadi, bukan berarti yang mampu berkomunikasi dengan DPR hanyalah menteri dari kalangan parpol,” kata mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini. 

 

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Prof Yuliandri menilai pemilihan Menkumham menjadi hak prerogratif presiden yang tentunya Presiden punya kriteria tersendiri sesuai visi dan misinya. “Siapapun yang ditunjuk menjadi Menkumham, orientasinya harus memperhatikan problem perkembangan hukum menjadi prioritas utama,” pesan dia.

 

Dia mengingatkan dalam lingkup organisasi Kemenkumham terdapat dua direktorat/organ yang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) membenahi peraturan perundang-undangan yakni Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP) dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). 

 

Kemenkumham kerap menjadi koordinator di instansi pemerintah pusat dan daerah dalam hal penyusunan peraturan perundang-undangan di bawah UU serta hal-hal berhubungan dengan penyusunan UU bersama DPR yang juga melibatkan sektor instansi/kementerian terkait. Tak hanya itu, Kemenkumham memiliki tupoksi membenahi persoalan lembaga pemasyarakatan (Ditjen Pemasyarakatan) yang hingga saat ini, persoalan klasik over kapasitas lapas dan pengelolaan lapas di Indonesia belum dapat diatasi sepenuhnya.

 

“Saya melihat ke depan pengelolaan Ditjen Pemasyarakatan sangat berat dan harus menjadi prioritas. Jadi, Menkumham harus memiliki kapasitas dan kompetensi sesuai tupoksi Kemenkumham, pandai melihat kondisi hukum ke depan, saling bersinergi dengan kementerian atau lembaga negara lain.”  

Tags:

Berita Terkait