Kandasnya Agenda Reformasi
Kolom

Kandasnya Agenda Reformasi

Enam poin gagasan besar Agenda Reformasi itu tinggal catatan sejarah; tidak bertemu ruas dengan buku.

Bacaan 5 Menit

Kemudian, jamak diketahui reformasi bukan hanya mengubah jalannya pengorganisasian negara, ia juga menghasilkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat. Salah satu perubahan besar yang mengubah lanskap sosio-politik Indonesia pascareformasi adalah penghapusan dwifungsi ABRI. Di atas kertas, fungsi rangkap ABRI sebagai kekuatan pertahanan-keamanan dan kekuatan sosial memang berakhir, dan menghasilkan aturan hukum di masing-masing institusi yang melarang personel aktifnya menduduki jabatan sipil. Hanya saja, kita tidak dapat menafikan keadaan bahwa normalisasi militer tersumbat akibat minimnya perbaikan tata kelola di tubuh TNI dan Polri.

Per tahun 2020 di Polri, terdapat kelebihan 213 Jenderal dan 288 Komisaris Besar. Surplus terjadi akibat pengelolaan rekrutmen Taruna Akademi Kepolisian yang melebihi kapasitas penugasan, dan dibiarkan berlarut. Pertumbuhan jumlah perwira dipertemukan dengan perpanjangan masa pensiun hingga usia 58 tahun. Semakin ruwet karena Polri menerapkan standar prestasi bagi lulusan Bintara untuk kenaikan pangkat hingga Komisaris Besar.

TNI mengalami nasib serupa. Surplus perwira sejatinya telah diketahui sejak tahun 2010, namun TNI memilih untuk menyimpannya sebagai bom waktu. Kelebihan ini ditenggarai kebiasaan Orde Baru yang mendudukkan militer dalam birokrasi sipil sebagai bentuk pembinaan personel. Seperti jabatan Direktorat Jenderal di kementerian untuk Jenderal bintang satu dan dua, Gubernur umumnya diduduki oleh Jenderal bintang dua, sedangkan menteri merupakan jatah Jenderal bintang tiga.

Sementara bom waktu lain bertajuk Reformasi keburu meledak dan tidak diiringi dengan kesiapsiagaan TNI membentuk pos-pos baru bagi perwiranya. Belum lagi perpanjangan masa pensiun juga terjadi di tubuh TNI yang menambah sengkarut surplus perwira tinggi. TNI bisa sedikit lega karena surplus perwiranya tidak sebesar Polri, namun per tahun 2020, angka 76 Jenderal dan 450 Kolonel non-job bukanlah jumlah main-main.

Merujuk UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Bagi personel TNI, misalnya, Pasal 47 UU TNI mengharuskan personel aktif terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun sebelum menduduki jabatan sipil. Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) UU TNI memang memperbolehkan personel aktif menduduki jabatan sipil, namun determinatif di bidang pertahanan dan keamanan, atau di Badan SAR Nasional, Badan Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung yang memiliki kamar militer. Jabatan itulah yang disebut sebagai tugas perbantuan TNI kepada pemerintahan sipil dalam kerangka operasi militer selain perang (OMSP).

Namun demikian, Menteri BUMN, Erick Thohir, menerobos aturan hukum tersebut dengan mendudukkan Laksamana Madya Achmad Djamaluddin sebagai Komisaris Utama dan Inpektur Jenderal Polisi Arman Depari yang didaulat sebagai Komisaris, keduanya menjabat di  PT. Pelindo I dalam status personel aktif.

Lantas, bagaimana dengan dua poin paralel; supremasi hukum dan pemberantasan KKN? Merujuk KBBI, “supremasi” berarti kekuasaan tertinggi. Sederhananya, negara berjalan dalam koridor yang dibangun produk hukum berkualitas baik dan penegakan hukum yang optimal. Buruknya kualitas produk hukum dapat diteropong dari rekapitulasi perkara MK, paling menarik ialah dua undang-undang yang perkaranya disorot publik, yakni UU Cipta Kerja yang simsalabim dan revisi UU KPK yang meluluhlantakkan itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait