Kandas Seleksi Pegawai BI, Advokat Ini Persoalkan UU Bank Indonesia
Terbaru

Kandas Seleksi Pegawai BI, Advokat Ini Persoalkan UU Bank Indonesia

Agar ke depannya sistem seleksi di BI tidak bergantung pada kehendak Gubernur BI, tapi menjamin seleksi yang terbuka dan transparan. Mahkamah meminta pemohon semestinya dapat menjelaskan pertentangan pasal yang diuji dengan pasal-pasal dalam UUD 1945.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Pemohon Rega Felix saat persidangan uji materi Pasal 44 ayat (1) UU Bank Indonesia Di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (30/7/2024). Foto Humas MK/Bayu
Pemohon Rega Felix saat persidangan uji materi Pasal 44 ayat (1) UU Bank Indonesia Di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (30/7/2024). Foto Humas MK/Bayu

Tak mampu menutupi kekecewaannya setelah dinyatakan kandas seleksi pegawai Bank Indonesia, namun tak menyurutkan untuk tetap berjuang mendapat keadilan. Rega Felix, pria yang berprofesi sebagai advokat itu berjuang di Gedung Mahkamah Konstitusi mengajukan permohonan uji materi Pasal 44 ayat (1) UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Kandas lolos dalam seleksi pegawai BI  dengan posisi sebagai ahli fikih (ekonomi syariah) menjadi pemicu Rega menguji Pasal 44 ayat (1) UU Bank Indonesia.  Harapan pemohon  dapat dikabulkannya permohonan uji materi Pasal 44 ayat (1) UU 23/1999 agar ke depannya sistem seleksi di BI tidak bergantung pada kehendak Gubernur BI semata, tetapi menjamin sistem seleksi yang terbuka dan transparan.

“Permohonan ini sebenarnya hanya untuk memberikan cantolan pada level undang-undang agar sistem seleksi di BI tidak bergantung kepada kehendak Gubernur BI semata, tetapi menjamin sistem seleksi yang terbuka dan transparan,” ujar Rega Felix dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 80/PUU-XXII/2024 sebagaimana dikutip dari laman MK, Selasa (30/7/2024).

Dalam permohonannya, Rega menilai rumusan norma Pasal 44 ayat (1) UU BI yang menyebutkan “Dewan Gubernur mengangkat dan memberhentikan pegawai Bank Indonesia” bertentangan dengan UUD 1945. Bagi pemohon, norma ketentuan tersebut menjadi dasar hukum bagi BI untuk menyelenggarakan sistem seleksi di lembaganya.

Baca juga:

Dalam permohonanya, pemohon berdalih telah mengikuti seleksi yang digelar  pihak ketiga yang independen (PPM Manajemen). Malahan pemohon telah dinyatakan lolos seleksi administrasi, kompetensi teknis, psikotes, wawancara psikologi, leaderless group discussion, person organization fit, hingga mengikuti seleksi tahap kesehatan dan psikiatri.

Namun, ternyata pemohon dinyatakan tidak memenuhi kualifikasi kesehatan dan psikiatri oleh BI. Tak terima, pemohon pun melayangkan surat yang intinya meminta informasi terkait pengumuman hasil seleksi. Seperti daftar nama peserta dan persyaratan kualifikasi minimum. Namun pemohon dijelaskan dan hanya diperlihatkan hasil tes kesehatan tanpa diberikan salinannya.

Selain itu pemohon tidak diberikan informasi yang diminta selebihnya. Seperti informasi standar kualifikasi kesehatan untuk bekerja sebagai ahli fikih di BI, daftar nama peserta yang lolos, hingga dokumen kebijakan seleksi BI.

Pemohon merasa heran karena tidak dipersyaratkan di awal, tetapi ternyata muncul penyakit-penyakit tertentu yang menjadi sebab penolakannya. Menurut pemohon, bila BI menggunakan parameter syarat kondisi fisik untuk jabatan ahli fikih, seharusnya persyaratan kualifikasi minimum itu dinyatakan dan diumumkan di awal. Setidaknya agar pemohon tahu diri dan tidak berharap banyak sehingga terjerumus pada ketidakpastian.

Rega Felix mengatakan, proses seleksi di BI tidak memiliki standar kelaziman seperti lembaga negara lainnya yang biasanya mengumumkan hasil seleksi kepada publik. Tapi BI justru menggunakan parameter best practice di luar negeri, yang seharusnya parameter utama yang didahulukan adalah UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional warga negara.

Bila menggunakan parameter seleksi yang fair, terbuka, dan akuntabel seperti CPNS, seleksi di BI sangat berbeda jauh. Pasalnya seleksi CPNS mengumumkan persyaratan kualifikasi minimum secara detail dan mengumumkan hasil seleksi (skor dan pengurutan) pada tiap tahapan seleksi serta memberikan hak sanggah.

Nah, kesemuanya tidak didapat pemohon sepanjang mengikuti tahapan seleksi di BI. Bagi pemohon kondisi tersebut diduga karena rumusan Pasal 44 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 44 ayat (1) UU 23/1999 mengatur terlalu ‘sederhana’ karena tidak mengamanatkan suatu sistem seleksi yang fair, transparan, dan akuntabel.

Hal ini tidak seperti Pasal 58 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menjadi dasar hukum pengadaan CPNS yang menjadi cantolan aturan turunan yang lebih fair, transparan, dan akuntabel.

Sementara dalam petitumnya, pemohon memohon kepada mahkamah untuk memaknai Pasal 44 ayat (1) UU 23/1999 menjadi “Dewan Gubernur mengangkat pegawai Bank Indonesia setelah melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, seleksi, dan pengumuman hasil seleksi, dan Dewan Gubernur melakukan penempatan dan mutasi baik diikuti dengan maupun tanpa promosi, serta memberhentikan pegawai Bank Indonesia.”

Harus menjelaskan pertentangan pasal

Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin hakim konstitusi Arief Hidayat didampingi Anwar Usman dan Arsul Sani. Arief menjelaskan, Pasal 44 terdapat tiga ayat, selain ayat (1) yang diuji. Kemudian terdapat ayat (2) yang menyebutkan, “Dewan Gubernur menetapkan peraturan kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Bank Indonesia”.

Serta ayat (3) menyebutkan, “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Dewan Gubernur”.

Arief mengatakan, pemohon semestinya dapat menjelaskan pertentangan pasal yang diuji dengan batu uji atau pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dimohonkan. Menurut Arief, jangan sampai apa yang dipersoalkan pemohon merupakan peraturan pelaksana dari UU 23/1999.  Seperti Peraturan Dewan Gubernur, bukan ketentuan norma undang-undang.

“Kalau Anda mempersoalkan Pasal 44 ayat (1) dan penjelasannya ini kelihatannya satu rangkaian ini apakah ini ada yang bertentangan dengan pasal-pasal yang Anda gunakan untuk pengujian (batu uji). Coba diuraikan di mana pertentangannya, mahkamah supaya diyakinkan ada pertentangannya,” jelas Arief.

Di penghujung persidangan, Arief menyampaikan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Selambatnya perbaikan permohonan diserahkan kepada Kepaniteraan MK pada Senin, 12 Agustus 2024

Tags:

Berita Terkait