Kampus Hukum Baru Juga Bisa Hasilkan Lawyer Berkualitas
Peringkat Kampus Hukum

Kampus Hukum Baru Juga Bisa Hasilkan Lawyer Berkualitas

Mencetak lulusan berkualitas untuk menjadi corporate lawyer andal bukan monopoli kampus hukum ternama. Kampus hukum baru pun punya peluang besar dengan syarat tertentu.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Masuk ke kampus terfavorit menjadi impian semua pelajar sekolah menengah atas. Termasuk juga kampus hukum terfavorit bagi mereka yang bercita-cita menjadi corporate lawyer. Sayangnya, tak semua impian ini terwujud karena ada seleksi ketat untuk masuk ke kampus hukum terfavorit. Banyak peserta ujian tidak berhasil lolos menjadi mahasiswa di kampus-kampus tersebut. Lalu masihkah ada peluang bagi mereka untuk kelak berkarier di berbagai firma hukum besar Indonesia?

 

Kuntum Apriella Irdam, partner pada firma hukum SIAR (Siahaan Irdamis Andarumi & Rekan), -salah satu firma hukum responden- mengatakan kepada Hukumonline bahwa pada dasarnya selalu ada peluang bagi lulusan dari kampus hukum manapun untuk berkarier di firma hukum besar.

 

Ia mengakui bahwa nama besar kampus dari almamater pelamar saat rekrutmen di firma hukum memang memiliki pengaruh. Kenyataan bahwa memasuki kampus terfavorit harus melewati saringan ketat membuat firma hukum besar memberikan poin tambahan bagi lulusannya. Terlebih lagi ada dukungan dari jaringan alumni kampus-kampus tersebut yang sudah lebih dulu berkarier di berbagai firma hukum besar.

 

“Di kampus-kampus besar beruntung karena ada jejaring alumni dan nama kampus, saringan input pun sudah ketat,” katanya yang akrab disapa Ella ini.

 

Namun begitu, nama besar kampus bukan menjadi parameter utama. Menurutnya kampus hukum baru sekalipun bisa menghasilkan lulusan yang memenuhi standar di firma hukum besar. “Banyak rekan saya di firma hukum sebelumnya lulusan dari kampus swasta, mereka juga bagus-bagus. Kampus baru juga punya peluang, di kantor saya ada mahasiswa magang yang bagus kualitasnya, dari kampus hukum Jentera,” kata Ella menyebutkan sebuah nama kampus hukum baru di Jakarta.

 

Menurut Ella, tantangan kampus hukum baru seperti Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera adalah membuktikan kualitas lulusannya tidak hanya dari nilai ijazah tinggi namun juga keterampilan praktik serta softskill. Tak boleh ketinggalan juga, salah satu syarat mutlak berkarier corporate lawyer yaitu penguasaan bahasa asing yang baik minimal bahasa Inggris.

 

“Peluang besar untuk masuk firma hukum itu saat wawancara, banyak lulusan dengan IPK tinggi gagal karena canggung saat wawancara studi kasus,” kata Ella melanjutkan.

 

Oleh karena itu, Ella mengusulkan, agar berbagai kampus hukum meningkatkan metode pembelajaran dengan studi kasus dan workshop. Tema seputar hukum bisnis pun harus diprioritaskan jika ingin membantu lulusannya untuk memiliki kualifikasi corporate lawyer.

 

Persaingan soal pengetahuan hukum bagi lulusan sarjana hukum menurut Ella sudah tidak lagi menjadi persoalan utama karena sumber ilmu pengetahuan hukum tidak bergantung dengan kampus hukum. Justru softskill seperti kemampuan berpikir kritis, kemampuan bekerjasama dalam tim yang menjadi nilai kompetitif. Kampus-kampus hukum baru bisa ikut bersaing untuk membekali lulusannya dengan softskill ini.

 

“Apalagi kelemahan millenial sekarang maunya instan, malas baca, riset lemah, padahal berbagai regulasi saling berkaitan, terlalu mengandalkan hasil googling singkat saja, perlu diperbaiki sikap ini,” jelas dia.

 

Ella menilai titik lemah kampus-kampus terfavorit yang sudah memiliki nama besar cenderung tidak memberi pembekalan softskill pada mahasiswanya secara terstruktur. “Makanya mahasiswa juga harus aktif di agenda-agenda pengembangan softskill,” pesannya.

 

Baca:

 

Wakil Rektor Universitas Presiden, Handa Abidin, yang juga dosen di Program Studi Ilmu Hukum kampus tersebut menjelaskan hal senada dengan Ella. Ia menilai, pada dasarnya selalu ada peluang besar bagi kampus hukum manapun untuk mencetak lulusan yang mampu berkarier di dunia hukum bisnis.

 

Menurut Handa, persaingannya bukan lagi soal pengetahuan hukum melainkan apa yang ia sebut emotional intelligence. “Kalau ditanya output untuk bersaing, pengetahuan dasar hukum sudah pasti. Nah, yang penting setelahnya itu emotional intelligence. Ini ada penelitiannya di Harvard, pentingnya kecerdasan emosional mulai dari secara personal sampai dengan komunitas,” kata Handa yang juga salah salah satu penasihat di firma hukum ini.

 

Handa menilai bahwa lawyering banyak berkaitan dengan kecerdasan emosional. Jika lulusan sarjana hukum hanya berbekal pengetahuan hukum dan kemampuan berbahasa asing saja, akan sulit bisa menembus rekrutmen firma hukum besar. Terlebih di era legal technology menjadi pesaing baru firma hukum.

 

“Sekarang law firm kalau mempromosikan diri, dalam tanda kutip, sudah agak mati-matian juga kan, makin kompetitif. Maka kemampuan lain non-hukum juga penting,” katanya merujuk perkembangan teknologi dan artificial intelligence yang dikembangkan untuk layanan jasa hukum.

 

Founding partner Walalangi & Partners, Luky I. Walalangi, -salah satu responden survei- juga mengatakan bahwa melibatkan kalangan profesional corporate lawyer menjadi pengajar tamu di kampus hukum sebagai strategi yang bisa dilakukan kampus hukum baru untuk bersaing. “Kalau di UI misalnya sudah rutin mengundang corporate lawyer ikut mengajar, jadi mahasiswanya sudah terbiasa dan punya persiapan,” ujarnya.

 

Belajar dari pengalamannya, kebanyakan dosen di kampus yang bukan praktisi di  corporate law firm ikut membuat pengenalan mahasiswa terhadap industri jasa hukum ini minim. “Karena itu kampus bisa bekerja sama dengan corporate law firm dalam pengajaran,” usulnya.

 

Baca:

 

Penalaran dan Hukum dalam Kenyataan

Sebagai corporate lawyer yang pernah menjadi pengajar tamu di STHI Jentera, Ella menyebut kampus hukum baru ini sangat berpeluang menghasilkan lawyer berkualitas karena diajar langsung oleh para profesional berpengalaman. Ella bahkan mengaku puas dengan mahasiswa magang dari kampus hukum Jentera di firma hukumnya.

 

Bivitri Susanti, Wakil Ketua STHI Jentera menjelaskan, soal konsep dan metode pembelajaran mahasiswa hukum di kampus yang dipimpinnya. “Yang berbeda, kami menanamkan nilai integritas lewat konten mata kuliah dan pengajaran. Cenderung dalam banyak studi kasus,” kata Bivitri yang juga dikenal sebagai peneliti hukum senior di Indonesia.

 

Bivitri menjelaskan, bahwa pelatihan berpikir kritis dalam berlogika hukum sudah diberikan sejak mahasiswa baru. Pada sesi orientasi kampus para mahasiswa baru sudah diajak mengakrabi berbagai produk hukum dengan penalaran kritis atas isinya. Misalnya mahasiswa dilatih untuk membaca isi logika hukum dalam putusan pengadilan dalam studi kasus.

 

“Di Jentera ada mata kuliah khusus penalaran hukum. Memahami logika putusan pengadilan dan undang-undang. Juga ada studi lapangan melihat langsung bagaimana hukum dalam kenyataan,” lanjutnya.

 

Ia mencontohkan bagaimana salah satu perkuliahan dilakukan dengan kunjungan ke lembaga pemasyarakatan untuk berinteraksi langsung dengan penguhuninya dan aparat terkait. “Banyak kampus lain kuliah dasarnya membedah undang-undang, kami menilai itu bisa dibaca, tapi kemampuan menalar dan memiliki nilai integritas itu yang perlu dibangun,” katanya lagi.

 

Hal lain lagi yang dilakukan di STHI Jentera adalah memilih pengajar dari kalangan profesional. Seringkali mengundang secara khusus dari berbagai lembaga penegak hukum agar bisa memberikan pengalaman profesionalnya. “Magang pun jadi mata kuliah dengan bobot 4 SKS, jadi dinilai. Dan bebas mau magang di mana,” lanjutnya.

 

Soal peluang STHI Jentera menghasilkan lawyer berkualitas, Bivitri mengatakan kampus bervisi pembaharuan hukum ini mendorong lulusannya untuk berkarier di sektor manapun. “Banyak yang mengira ini seperti sekolah NGO, tidak sama sekali. Banyak yang magang di firma hukum. Menjadi pembaharu hukum bisa juga kan dilakukan dengan menjadi corporate lawyer berintegritas,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait