Kali Kedua, Ketua MK Dijatuhi Sanksi Etik
Utama

Kali Kedua, Ketua MK Dijatuhi Sanksi Etik

Dewan Etik berharap semoga sanksi ini menjadi pelanggaran etik yang terakhir bagi Arief Hidayat. Sebab, apabila Arief melakukan pelanggaran lagi yang ketiga kalinya, maka akan diperiksa dan diputuskan oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH).

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ketua MK, Arief Hidayat. Foto: RES
Ketua MK, Arief Hidayat. Foto: RES

Akhirnya, Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Ketua MK Arief Hidayat terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi dan dijatuhi sanksi ringan. Arief dinilai terbukti melakukan pertemuan (lobi-lobi politik) dengan memberi janji terkait pengujian Pasal 79 ayat (3) UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) mengenai hak angket DPR terkait keberadaan Pansus Angket KPK.      

 

Sanksi ini merupakan untuk kedua kalinya Arief Hidayat (hakim terlapor) dijatuhi sanksi ringan berupa teguran lisan secara tertulis. Sebelumnya, dia pernah dijatuhi sanksi ringan lantaran memberi memo katebelece alias “memo sakti” kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Widyo Pramono untuk “menitipkan” Jaksa pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Trenggalek, M. Zainur Rochman.

 

“Pada tanggal 11 Januari 2018 kemarin, Dewan Etik menuntaskan laporan pelanggaran etik. Hasilnya hakim terlapor (Arief Hidayat) terbukti melakukan pelanggaran ringan. Karena itu, hakim terlapor dijatuhi sanksi ringan, berupa teguran lisan dalam bentuk tertulis,” kata Juru Bicara MK, Fajar Laksono Suroso, di Gedung MK, Jakarta, (16/1/2018). (Baca juga: Diduga Lobi DPR, Dewan Etik Segera Periksa Arief Hidayat)

 

Ia menjelaskan Dewan Etik telah melakukan serangkaian pemeriksaan guna mendapatkan penjelasan pelapor, memeriksa bukti-bukti, baik yang disampaikan hakim terlapor dan keterangan saksi-saksi atas laporan Koalisi Masyarakat Selamatkan MK pada 6 Desember 2017, lalu.

 

Hal yang dianggap melanggar etik, Fajar mengungkapkan karena adanya dua pertemuan yang dilakukan oleh hakim terlapor. Pertama, pertemuan di DPR dan setelah itu ada pertemuan kedua di Ayana Midpalza tanpa undangan resmi dan hanya melalui telepon. “Yang menjadi pertimbangan Dewan Etik, hakim terlapor dijatuhi sanksi ringan karena adanya pertemuan dengan Komisi III DPR di Ayana Midplaza,” ungkapnya.

 

“Padahal, seharusnya ketua MK tidak boleh menghadiri pertemuan di Ayana Midplaza. Sebab, menurut Dewan Etik itu pertemuan tidak resmi.”

 

Dia menjelaskan latar belakang mengapa hakim terlapor diduga melakukan lobi-lobi politik karena sebelumnya ada surat dari MK yang memberitahukan kepada DPR bahwa terdapat hakim konstitusi yang masa jabatanya ingin habis.

 

Lalu, DPR mengundang ketua MK terkait pencalonan hakim MK. Tetapi, DPR tidak secara eksplisit dalam suratnya ditujukan kepada Arief, tetapi pada institusi. Makanya, seharusnya tidak harus ketua MK yang hadir (karena yang bersangkutan sendiri yang akan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi), tetapi seharunya Wakil Ketua MK yang dapat hadir pertemuan tersebut.

 

Dalam pertemuan yang sama, Ketua Dewan Etik, Ahmad Rustandi mengatakan memang ada beberapa yang tidak dapat diungkapkan secara bebas karena dibatasi hal-hal yang diamanatkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang sifatnya tertutup. Sebab, akan berdampak pada marwah hakim konstitusi dan batas-batas MK yang lain.

 

Rustandi juga mempertimbangkan ada beberapa anggota Dewan Etik yang menilai bahwa perbuatan hakim terlapor ini sebagai pelanggaran berat, ringan, dan tidak ada pelanggaran. “Tetapi, satu keputusan diambil Dewan Etik bahwa hakim terlapor dijatuhi pelanggaran ringan,” tegasnya.

 

Anggota Dewan Etik, Solahudin Wahid mengatakan dalam pemeriksaan pihaknya meminta keterangan dari hakim terlapor, anggota Komisi III DPR yaitu Trimedya Panjaitan, Arsul Sani, dan Desmon Mahesa. Namun, ada beberapa yang tidak bisa menghadiri panggilan yakni Bambang Soesatyo, Benny K Harman dan Mulfahri Harahap.

 

“Arsul Sani dan Trimedya Panjaitan berkesimpulan tidak terjadi lobi-lobi dan adanya transaksi yang menyangkut kasus yang telah ditangani MK,” kata dia.

 

Solahudin pun menilai secara pribadi tindakan hakim terlapor merupakan pelanggaran ringan. Sebab, ada undangan tertulis dari DPR yang tidak menunjukkan waktunya dan ditunjukkan secara pasti kepada institusi. Selain itu, undangan DPR tersebut mengenai perpanjangan masa jabatan Arief Hidayat sendiri.

 

“Sebaiknya ketua MK tidak hadir dalam undangan pertama di DPR, tetapi seharusnya Wakil Ketua MK yang hadir,” kata dia.

 

Solahudin berharap semoga sanksi ini menjadi pelanggaran etik yang terakhir bagi Arief Hidayat. Sebab, apabila Arief melakukan pelanggaran lagi yang ketiga kalinya, maka akan diperiksa oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH).  

 

“Ini sesuai dengan PMK No. 2 Tahun 2014 bahwa apabila hakim konstitusi terbukti melakukan pelanggaran apapun hingga dua kali, maka ketiga kalinya akan langsung dikategorikan pelanggaran berat dan mekanisme keputusannya melalui MKH. Jadi, kita berharap tidak ada lagi pelanggaran ketiga.” (Baca juga: Gara-Gara ‘Memo Sakti’, Ketua MK Dijatuhi Sanksi Etik)

Tags:

Berita Terkait