Kalangan Pengusaha Minta Pergub DKI UMSP Dikaji Ulang
Berita

Kalangan Pengusaha Minta Pergub DKI UMSP Dikaji Ulang

Proses penetapan UMSP dirasa tidak sesuai dengan amanat Permenaker No.15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum. Namun, ke depan Dewan Pengupahan Jakarta sepakat untuk mengkaji ulang komponen UMP dan UMSP agar penetapannya tak menuai polemik.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Demo buruh di Jakarta. Foto: RES
Demo buruh di Jakarta. Foto: RES

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) No.6 Tahun 2019 tentang Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) Tahun 2019. Beleid yang ditetapkan 22 Januari 2019 oleh Gubernur Anies Baswedan itu menuai kritik dari kalangan pengusaha dan pekerja.

 

Ketua Bidang Pengupahan Apindo Jakarta, Nurjaman menilai kenaikan UMSP 2019 tergolong besar bagi kalangan pengusaha. Selain itu, Pergub ini diterbitkan tanpa kesepakatan antara asosiasi pengusaha dan serikat pekerja di sektor terkait.

 

Ada 11 sektor dan sub sektor unggulan yang masuk UMSP Jakarta 2019 meliputi sektor bangunan dan pekerjaan umum; kimia, energi dan pertambangan; logam, elektronik dan mesin; otomotif; asuransi dan perbankan; makanan dan minuman; farmasi dan kesehatan; tekstil, sandang dan kulit; pariwisata; telekomunikasi; dan ritel.

 

“Tapi dari seluruh sektor itu hanya sebagian yang melalui proses kesepakatan antara asosiasi pengusaha dan serikat pekerja di sektor yang bersangkutan,” kritik Nurjaman. Baca Juga: Permenaker Upah Minimum Telah Terbit, Begini Isinya

 

Berikut contoh nilai UMSP untuk sektor tekstil, sandang, kulit dan pariwisata

Hukumonline.com

 

Mengacu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum, Nurjaman mengingatkan UMSP ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan asoisasi pengusaha dan serikat pekerja di sektor yang bersangkutan. “Dari 11 sektor ini hanya 2 sektor yang sepakat,” kata dia dalam diskusi yang digelar stasiun radio di Jakarta, Rabu (13/2/2019).

 

Nurjaman menyebut tidak semua pengusaha mampu memenuhi aturan UMSP itu. Sebagian pengusaha merasa keberatan karena UMSP menambah ongkos produksi menjadi lebih besar. Sampai saat ini kalangan pengusaha di Jakarta masih memikirkan upaya yang akan dilakukan untuk menindaklanjuti Pergub UMSP Jakarta Tahun 2019 itu. Salah satu langkah yang bisa ditempuh yakni menggugat peraturan ini ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).

 

Senada, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo), Roy Nicolas Mandey, menyayangkan terbitnya Pergub UMSP Jakarta Tahun 2019 itu. Sebelum peraturan itu diterbitkan, Roy mengaku organisasinya telah melayangkan surat kepada seluruh kepala daerah. Surat itu intinya menjelaskan sektor retail untuk saat ini tidak bisa dikategorikan sektor unggulan. Bahkan Aprindo mengusulkan sektornya untuk masuk kategori padat karya.

 

Namun, Roy yakin semangat UMP dan UMSP ditujukan untuk memperhatikan kesejahteraan pekerja dan mempertahankan berjalannya industri. “Kami sudah bicarakan ini dengan serikat pekerja, memang sektor retail belum bisa mengikuti UMSP,” ujar Roy.

 

Wakil Ketua Umum Kadin Jakarta, Sarman Simanjorang mengusulkan pemerintah untuk mengkaji kembali UMSP. Jika UMSP dirasa masih diperlukan, harus ada kebijakan yang jelas dan tegas agar proses penetapannya tidak menimbulkan polemik. Banyak hal yang layak diperhatikan dalam menentukan besaran UMSP antara lain jumlah perusahaan di sektor yang bersangkutan dan produktivitasnya.

 

Dia merasa pengusaha harus menanggung beban dua kali karena harus memenuhi ketentuan UMP yang ditetapkan sebesar Rp3,940 juta dan UMSP yang besarannya bervariasi. Tapi praktiknya, sebagian pengusaha sektor unggulan tidak mampu membayar UMSP, sehingga yang digunakan sebagai acuan yakni UMP. “Kami usul agar pemerintah mengkaji kembali UMSP ini,” usulnya.

 

Selain kerap menimbulkan polemik antara pengusaha dan pekerja, Sarman melihat penetapan UMSP menyulitkan pemerintah daerah. Tak jarang Gubernur serba salah dalam menetapkan UMSP, misalnya belum semua sektor sepakat, tapi ada batas waktu penetapan UMSP. “Pemerintah perlu mengevaluasi agar penetapan UMP dan UMSP kondusif, sehingga peluang investasi yang masuk ke Indonesia lebih besar,” bebernya.

 

Sarman melihat ada beberapa sektor yang perlu dicermati apakah layak atau tidak untuk dijadikan unggulan, seperti tekstil dan retail. Dia mencatat sekitar 24 ribu pekerja di Jawa Barat harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pabrik tekstil tempat mereka bekerja tutup atau relokasi. Begitu pula di sektor retail, ada sekitar 500 pekerja yang terkena PHK.

 

Tempuh jalur hukum

Sementara Sekjen OPSI, Timboel Siregar berpendapat kalangan pengusaha bisa menempuh upaya hukum untuk menggugat Pergub UMSP ini. Sesuai aturan yang berlaku, penetapan Pergub UMSP harus mengacu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Permenaker No. 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum.  

 

Meski demikian, Timboel menilai Pemprov Jakarta sudah menerbitkan kebijakan yang cukup baik untuk membantu kalangan buruh dengan menerbitkan Kartu Pekerja. Melalui Kartu Pekerja ini buruh di Jakarta bisa menikmati subsidi yang dialokasikan dari APBD. Menurut Timboel soal pengupahan bukan lagi sekedar kewajiban pengusaha, tapi juga pemerintah berperan meningkatkan kesejahteraan buruh melalui kebijakannya.

 

Selain itu, Timboel menghitung jumlah buruh yang menerima upah minimum sangat sedikit. Seperti diketahui, upah minimum termasuk UMSP ditujukan bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun. Untuk buruh dengan masa kerja lebih dari 1 tahun, besaran upahnya harus diatas upah minimum, mengacu struktur dan skala upah. “Saya yakin 90 persen jumlah buruh itu masa kerjanya di atas 1 tahun,” ujarnya.

 

Timboel juga menyoroti soal lemahnya pengawas ketenagakerjaan. Berapa pun besaran upah minimum yang ditetapkan selama pengawas ketenagakerjaan belum bekerja optimal, maka yang terjadi yaitu pembiaran atas pelanggaran hak normatif pekerja/buruh.

 

Sudah diingatkan

Kepala Dinas Ketenagakerjaan Pemprov Jakarta, Andri Yansyah berdalih beberapa bulan sebelum UMSP ditetapkan, Pemprov sudah mengingatkan asosisasi pengusaha dan serikat pekerja sektor untuk segera melakukan perundingan. Hal itu sudah disampaikan secara tertulis melalui surat yang dilayangkan lebih dari 2 kali.

 

Andri menghitung di Jakarta ada 10 sektor dan 81 sub sektor. Dari berbagai sektor dan sub sektor itu 2 sub sektor mencapai kesepakatan dalam perundingan UMSP. 24 sub sektor telah melakukan proses perundingan, tapi berakhir deadlock. Kemudian serikat buruh di 34 sub sektor sudah menginisiasi perundingan UMSP, tapi tidak ditanggapi asosiasi pengusaha. Terakhir, 20 sub sektor tidak melakukan perundingan.

 

Di tengah proses perundingan UMSP itu, menurut Andri para pihak dikagetkan dengan terbitnya Permenaker No.15 Tahun 2018. Permenaker itu mengubah beberapa ketentuan Permenaker No.7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum. Misalnya penetapan UMSP harus dilakukan berdasarkan kesepakatan asosiasi pengusaha dan serikat pekerja pada sektor yang bersangkutan.

 

"Kalau ketentuan sebelumnya (Permenaker No.7 Tahun 2013) kan tegas, jika tidak ada kesepakatan Gubernur dapat menetapkan UMSP," lanjutnya.

 

Andri tak mempersoalkan jika ada pihak yang menilai Pergub UMSP ini “menabrak” peraturan yang lebih tinggi. Paling penting, Pergub ini diterbitkan dengan tujuan untuk menjaga iklim hubungan industrial yang kondusif. Namun, ke depan Dewan Pengupahan Jakarta sepakat untuk mengkaji ulang komponen UMP dan UMSP agar penetapannya tak menuai polemik.

Tags:

Berita Terkait