Kalangan Parlemen Minta Syarat Perjalanan Udara Wajib PCR Dikaji Ulang
Terbaru

Kalangan Parlemen Minta Syarat Perjalanan Udara Wajib PCR Dikaji Ulang

Selain memberatkan masyarakat, keberadaan aplikasi Pedulilindungi semestinya bisa menggantikan PCR. Atau bila tetap ingin diberlakukan, tarif PCR ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) terus mengalami penurunan di sejumlah wilayah. Tapi, syarat perjalanan udara nampaknya masih ketat, salah satunya harus menunjukan negatif Covid-19 melalui hasil swab Polymerase Chain Reaction (PCR). Bagi sebagian masyarakat, PCR sebagai syarat perjalanan udara menjadi langkah mundur dalam mendorong perbaikan perekonomian di Tanah Air dan memberatkan masyarakat.

“Kami minta pemerintah pusat mengkaji ulang kebijakan yang mengharuskan masyarakat yang hendak bepergian dengan pesawat terbang harus menunjukan hasil swab PCR negatif Covid-19," ujar anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Hasan Basri melalui keterangan tertulis, Senin (25/10/2021).

Seperti diketahui, syarat perjalanan diatur lebih rinci dalam Surat Edaran (SE) No.21 Tahun 2021 yang dikeluarkan Satgas Covid-19 dan SE Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri pada Masa Pandemi Covid-19. Hal ini merujuk Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, Level 2, dan Level 1 Covid-19 di Wilayah Jawa dan Bali.

Dalam aturan yang berlaku hingga 1 November 2021, surat keterangan negatif PCR maksimal 2x24 jam sebelum keberangkatan menjadi syarat wajib perjalanan dari dan ke wilayah Jawa-Bali serta di daerah yang masuk kategori PPKM level 3 dan 4. Dia meminta syarat wajib PCR untuk perjalanan udara mesti dikaji ulang. Apalagi, sebaran laboratorium yang mampu melakukan PCR belum merata di seluruh kota atau kabupaten di Indonesia. Selain itu, harga yang ditetapkan untuk pelaksanaan tes PCR masih terbilang mahal.

“Masyarakat yang sudah melakukan vaksin kedua, seharusnya cukup memperlihatkan antigen atau sertifikat vaksin yang ada dalam aplikasi PeduliLindungi. Janganlah Pemerintah mempersulit masyarakat,” kata dia.

Menurutnya, tes PCR semestinya digunakan sebatas instrumen pemeriksaan bagi suspect Covid-19. Bila ketentuan tersebut tetap diberlakukan bakal makin menyulitkan masyarakat yang hendak bepergian dengan transportasi udara. Dia meminta pemerintah mendengarkan keluhan masyarakat. Bila alasan kebijakan mobilitas diperbaharui karena semakin luasnya pembukaan operasional sektor sosial kemasyarakatan, maka seharusnya dikeluarkan dengan tupoksi kewenangannya (masing-masing daerah, red).

Anggota Komisi V DPR, Neng Eem Marhamah Zulfah menilai pembatasan ketat selama pandemi Covid-19 dalam 1,5 tahun terakhir memukul industri penerbangan global termasuk di Tanah Air. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mencatat industri penerbangan global mengalami kerugian Rp2.867 triliun selama 1,5 tahun terakhir. Nilai kerugian tersebut setara dengan 9 tahun pendapatan kolektif industri penerbangan global.

Dengan melandainya kasus Covid-19, menjadi momentum kebangkitan industri penerbangan di Tanah Air. Apalagi, masifnya vaksinasi serta adanya aplikasi peduli lindungi yang semestinya bisa menggantikan persyaratan tes PCR bagi calon penumpang pesawat terbang. Menurutnya, tes PCR menjadi salah satu hambatan peningkatan jumlah penumpang pesawat sepanjang pandemi Covid-19. “Bahkan kami mendapatkan banyak informasi, kalau tiket penumpang terpaksa hangus karena harus menunggu hasil tes PCR,” bebernya.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mempertanyakan munculnya persyaratan tes PCR dalam Inmendagri 53/2021. Sebab, dalam Inmendagri 47/2021, persyaratan calon penumpang pesawat hanya berupa tes antigen (H-1) dengan syarat sudah memperoleh vaksinasi dosis kedua dan hasil negatif PCR (H-2) jika baru memperoleh vaksin dosis pertama. Namun, dalam pada Inmendagri 53/2021 poin tersebut dihilangkan.

“Kami tidak ingin aturan baru wajib tes PCR ini dipersepsikan publik sebagai bentuk keberpihakan pemerintah kepada penyelenggara tes-tes PCR yang saat ini memang tumbuh di lapangan. Jangan sampai unsur kepentingan bisnis mengemuka dalam urusan PCR untuk penumpang pesawat ini,” katanya.

Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah menjelaskan dasar penetapan kebijakan mewajibkan test PCR bagi calon penumpang pesawat di dalam negeri. Menurutnya, kebijakan tersebut mesti dibuat berdasarkan hasil kajian ilmiah. Dengan begitu, masyarakat dapat mengetahui kebijakan tersebut dibuat setelah adanya kajian. Sebab, masyarakat sudah memahami bahwa kasus Covid-19 sudah melandai.

“Kebijakan melonggarkan mobilitas tetap mengedepankan pantauan agar tidak kebobolan kasus baru. Cara memantaunya tidak harus dengan tes PCR yang berbiaya tinggi. Kebijakan ini tak boleh diskriminatif,” kata Netty.  

Menurutnya, bila transportasi udara dianggap memiliki risiko lebih tinggi seharusnya ada afirmasi harga tes PCR yang terjangkau bagi semua kalangan masyarakat. “Prinsipnya, jangan sampai membebani masyarakat, karena saat ini harga tes PCR masih tinggi. Kimia Farma sebagai BUMN saja mematok harga Rp495 ribu. Angka ini jauh lebih mahal ketimbang harga tiket ekonomi pesawat Jakarta-Surabaya," katanya.

Tanggung jawab pemerintah

Anggota Komisi V DPR Irwan menilai aturan tersebut memberatkan masyarakat yang sudah terpukul akibat pandemic Covid-19. Justru semestinya, kata Irwan, biaya tes PCR sebaiknya ditanggung pemerintah. Sejak awal, DPR sudah meminta pemerintah mengambil alih tanggung jawab terkait biaya PCR. “Jangan rakyat yang sudah susah, harus menanggung lagi beban ini. Atau menurunkan harga PCR ini menjadi terjangkau,” ujarnya.

Menurutnya, rendahnya realisasi vaksinasi menjadikan PCR menjadi alat menekan penyebaran Covid-19. Tetapi, pemerintah harus bijak dan tidak menambah beban masyarakat. "Saya sepakat jika masih rendahnya persentase realisasi vaksinasi, wajib PCR menjadi salah satu kunci menekan kenaikan angka Covid-19 di Tanah Air. Tetapi yang utama adalah pemerintah harus punya solusi yang bijaksana dan bukan justru menambah derita rakyat."

Karena itu, jika pemerintah tidak mampu menanggung biaya PCR, maka setidaknya pemerintah bisa menurunkan kembali standar biaya PCR karena nominal Rp 450.000-Rp 550.000 masih tinggi. “Tentu harga PCR ini harus bisa diturunkan ke harga yang terjangkau oleh seluruh pengguna transportasi udara,” ujar politisi Partai Demokrat itu.

Sementara itu Anggota Tim Advokasi Supremasi Hukum (TASH), Johan Imanuel berpandangan PCR semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah. Merujuk Pasal 82 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan, “Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.”

Sementara PCR merupakan bagian pelayanan kesehatan akibat pandemi Covid-19 sebagai kondisi darurat kesehatan. Status Indonesia masih situasi pandemi Covid-19 sebagai kategori bencana non alam sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No.12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencanan Non Alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional.

“Seyogyanya pemerintah kali ini tanggung dong 100 persen pelayanan PCR untuk masyarakat. Toh ini kan masih dalam situasi bencana non alam,” kata dia mengingatkan.

Anggota TASH lain, Richan Simanjuntak menerangkan bila polemik tarif PCR tidak kunjung diselesaikan, pihaknya bakal menggugat SE Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/I/2845/2021 Tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reserve Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) ke Mahkamah Agung. 

Menurutnya, kebijakan tersebut menjadi polemik akibat terjadinya perbedaan harga yang berujung ketidakpastian hukum. Oleh karenanya, patut ditinjau kembali atau ditanggung seluruhnya oleh pemerintah demi kepentingan umum. Pihaknya paham kalau SE bukan masuk kategori peraturan perundang-undangan, tapi faktanya SE tersebut mengikat dan berlaku umum bagi masyarakat, sehingga mau tidak mau.

“Jadi, menurut kami uji materiil terhadap SE tersebut adalah jalan keluarnya. Harapannya PCR ditanggung 100 persen oleh pemerintah.”

Tags:

Berita Terkait