Kalangan Parlemen Kritik Perpres Kemudahan Masuknya TKA
Berita

Kalangan Parlemen Kritik Perpres Kemudahan Masuknya TKA

Terpenting, Perpres ini dinilai bakal lebih mempersempit lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja lokal di tengah sulitnya mencari pekerjaan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Foto: RES
Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Foto: RES

Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) kembali mendapat kritikan. Setelah dari kalangan serikat buruh, kali ini kritikan datang dari kalangan parlemen sebagai pengawas kebijakan pemerintah. Perpres yang diteken Presiden Joko Widodo pada 29 Maret 2018 ini dinilai tidak berpihak kepada rakyatnya sendiri. Sebab, Perpres ini justru dinilai mempermudah masuknya TKA, sementara tenaga kerja lokal masih kesulitan mendapatkan pekerjaan.     

 

“Ini salah satu kebijakan yang sangat ironis,” ujar Wakil Ketua DPR Fadli Zon di Komplek Gedung DPR, Senin (9/4/2018). Baca Juga: Serikat Buruh Soroti 6 Ketentuan dalam Perpres Penggunaan Tenaga Kerja Asing

 

Fadli Zon menilai kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan ini justru membuka “kran” bagi TKA. Namun, akibatnya justru bisa menutup peluang hak masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan meskipun di level manager. Karenanya, wajar ada sebagian serikat pekerja melakukan protes terhadap Perpres No. 20 Tahun 2018.

 

“Melihat kondisi perekonomian yang sedang tidak baik, semestinya pemerintah tidak boleh melakukan ekspansi kebijakan seperti ini,” kata Fadli Zon.  

 

Sebaliknya bila perekonomian negara dalam kondisi stabil, menurutnya ekspansi kebijakan seperti ini diperbolehkan. “Masyarakat yang mengkritik kebijakan tersebut dapat dibenarkan. Sebab, dengan kritikan ini sebagai check and balances terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla,” katanya.

 

Wakil Ketua Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay punya pandangan yang sama. Komisi yang membidangi ketenagakerjaan yang dipimpinnya itu menilai kebijakan Perpres No. 20 Tahun 2018 dapat mengancam kesejahteraan tenaga kerja lokal. Terlebih, jumlah pengangguran di dalam negeri pun belum dapat tertangani dengan serius oleh pemerintah.

 

Karena itu, dia meminta agar Perpres No. 20 Tahun 2018 semestinya direnungi dan dikritisi secara seksama, khususnya aspek keberpihakan pemerintahan Joko Widodo terhadap pekerja lokal. Baginya, kekhawatiran tenaga kerja lokal bakal sulit untuk mendapat pekerjaan adalah hal wajar dan masuk akal. Terlebih, masuknya TKA bukan tidak mungkin dapat menyebarkan paham selain ideologi Pancasila.

 

“Bukan tidak mungkin masuknya barang haram seperti narkoba makin bertambah. Saya khawatir justru kemudahan masuknya TKA berdampak negatif,” ujarnya.

 

Politisi Partai Amanat Nasional itu tak sependapat dengan alasan pemerintah menerbitkan Perpres ini untuk meningkatkan dan mempermudah masuknya investor asing demi perbaikan perekonomian. Faktanya, banyak investasi yang masuk memang sudah dipermudah, bahkan mendapat perlindungan. Demikian pula, (proses perizinan) perusahaan-perusahaan asing yang bakal beroperasi tidaklah dipersulit.

 

Menurutnya, kebijakan ini semestinya mewajibkan investor asing yang masuk dan membuka usahanya di Indonesia merekrut tenaga kerja lokal. Sebab, selain investor asing mendapatkan untung, tenaga kerja lokal pun mendapat keuntungan dengan menerima hasil pekerjaannya di perusahaan atau penanaman modal asing tersebut.

 

Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Rofi’ Munawar menilai pemerintah dalam menerbitkan Perpres No. 20 Tahun 2018 menggunakan kaca mata tunggal dan pola pikir eksternalitas. Menurutnya, pemerintah tidak cukup mencermati faktor tertentu sebagai dasar menerbitkan kebijakan ini.

 

“Seharusnya, pemerintah melakukan inventarisasi terhadap sejumlah persoalan hubungan industrial jika membuka ‘kran’ mempermudah masuknya TKA ini,” kata dia.

 

Selain itu, kebijakan tersebut semestinya mempertimbangkan pada fakta minimnya jumlah pengawas TKA. Berdasarkan data Kemenakertrans hanya bekisar 1.200 orang. “Tentunya, jumlah personil pengawas TKA itu tidak berbanding lurus dengan jumlah TKA yang bakal masuk dan beroperasi di seluruh wilayah Indonesia.”

 

Bisa dipermainkan

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga menilai Perpres No. 20 Tahun 2018 membuka celah bagi TKA untuk mempermainkan izin masa tinggal di Indonesia. Pasal 22 Perpres No. 20 Tahun 2018 menyebutkan, Dalam melaksanakan pekerjaan yang bersifat darurat dan mendesak, TKA dapat menggunakan jenis visa dan izin tinggal yang diperuntukkan bagi kegiatan dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

 

“Sayangnya, beleid tersebut tidak menguraikan secara gamblang frasa ‘darurat dan mendesak’,” kritiknya.

 

Menurut Rofi’, bila diabaikan frasa “darurat dan mendesak”, tidak menutup kemungkinan bisa dipermainkan sejumlah oknum TKA. Menurutnya, Visa Tinggal Terbatas (Vitas) sejatinya menjadi syarat mutlak terhadap TKA dalam rangka untuk mendapat Izin Tinggal Sementara (Itas). Sementara izinnya pun diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), bukan Kemenaker.

 

Sementara, bila menilik UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang dapat memberi izin bekerja di Indonesia. Karena itu, pemerintah mestinya teliti dalam menentukan kebijakan melalui regulasi yang dibuatnya. Dengan begitu, pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara tenaga keja lokal dengan TKA. Bukan sebaliknya malah memberikan peluang besar bagi TKA guna meraup keuntungan. “Sementara pekerja lokal gigit jari.”

 

Semestinya, Jokowi sebelum menerbitkan kebijakan ini melakukan kajian dan penelitian terhadap kebutuhan dan permintaan TKA di Tanah Air. Termasuk menyesuaikan dengan ketersediaan sumber daya manusia yang ada di Indonesia. Sebab, Rofi’ yakin masih banyak putra-putri Indonesia yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang mumpuni termasuk di level manajer sekalipun.

 

Seperti diketahui, akhir Maret 2018, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Perpres No.20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Perpres No. 20 Tahun 2018 itu banyak memuat ketentuan baru yang berbeda dari peraturan sebelumnya yakni Perpres No. 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan TKA Serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping. Misalnya, sekarang pengesahan Rencana Penggunaan TKA (RPTKA) sekaligus dianggap sebagai izin mempekerjakan TKA (IMTA). Di aturan sebelumnya, RPTKA digunakan sebagai dasar untuk memperoleh atau menerbitkan IMTA.

 

Perpres No. 72 Tahun 2014 mewajibkan pemberi kerja TKA mengantongi IMTA, kecuali bagi perwakilan negara asing yang menggunakan TKA sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. Sekarang ketentuan itu diubah, pemberi kerja tidak wajib memiliki RPTKA untuk mempekerjakan TKA dengan jabatan direksi atau komisaris pada pemberi Kerja TKA, pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing atau TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah.

 

Perpres No. 20 Tahun 2018 juga mengatur untuk keadaan mendesak dan darurat, pemberi kerja bisa langsung mempekerjakan TKA tanpa terlebih dulu mendapat pengesahan RPTKA. Permohonan pengesahan RPTKA bisa diajukan paling lambat 2 hari kerja setelah TKA yang bersangkutan bekerja.

Tags:

Berita Terkait